FGD Terungkap Wakatobi Tidak Masuk 5 Super Prioritas Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

FGD Terungkap Wakatobi Hilang di 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Kadis Perhubungan Sultra Hado Hasina bersama Dirut PT Marwan Bersaudara Sukses Anton Suseno (kanan) saat menandatangani naskah perjanjian kerja sama

Focus Group Discussion (FGD), yang diprakarsai Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) membahas pembangunan sektor pariwisata. Kenapa…? sektor ini kian menggetarkan potensi pariwisata Indonesia ketika Presiden Joko Widodo menetapkan 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) awal November 2015. Kegiatan FGD digelar di Hotel Horison Kendari, Kamis 7 November 2019.

Hal ini bertujuan untuk mendorong provinsi maupun kabupaten lokasi KSPN agar melakukan langkah-langkah nyata dalam upaya pengembangan potensi kawasan strategis tersebut yang sasarannya meliputi atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. pariwisata merupakan sumber ekonomi yang tidak akan pernah habis sebagai aset di setiap daerah.  

Iklan ARS

Salah satu pandangan yang mengemuka dalam FGD terfokus yang diikuti unsur pemerintah provinsi, kabupaten/kota, pengusaha dan masyarakat. Ada 10 KSPN yang sering dipopulerkan sebagai Bali Kedua atau Ten Bali Baru. Ke 10 itu yakni, KSPN Boromo, Tengger, Semeru (juga Jateng), KSPN Mandalika (NTB), KSPN Komodo Labuan Bajo (NTT), KSPN Morotai (Maluku Utara), KSPN Tanjung Kelayang di Provinsi Bangka Belitung, KSPN Danau Toba (Sumut), KSPN Tanjung Lesung (Banten), KSPN Kepulauan Seribu (DKI), KSPN Borobudur di Magelang (Jateng), dan Wakatobi (Sultra).

Kadis Perhubungan Sultra Hado Hasina merasa risau sehingga dirinya memprakarsai kegiatan FGD yang khusus membahas masalah KSPN Wakatobi. KSPN ini mati langkah dan akhirnya disalib Likupang di Kabupaten Minahasa Utara (Sulut).  Likupang dengan atraksi inti Bunaken menjadi salah satu dari 5 destinasi pariwisata super prioritas. Padahal, semula dia tidak masuk Ten Bali Baru. “Sesungguhnya kita merasa terhina karena Wakatobi seprti hilang dari 10 KSPN”, ujar Hado.

 Sementara itu, empat destinasi pariwisata super prioritas lainnya adalah Badan Otorita Pengelola (BOP) Danau Toba, BOP Borobdur, BOP Labuan Bajo, dan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Manadlika. Ke-5 super prioritas tersebut akan dikebut pembangunannya hingga 2021.

FGD Terungkap Wakatobi Hilang di 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Kadis Perhubungan Sultra Hado Hasina bersama Dirut PT Marwan Bersaudara Sukses Anton Suseno (kanan) saat menandatangani naskah perjanjian kerja sama

Umumnya peserta kegiatan FGD terpancing persoalan “mati suri” Wakatobi. Tadjuddin, mantan Kadis Pariwisata Kolaka dan terakhir menjabat Ketua DPRD Kolaka dua periode setelah pensiun, menyatakan sangat menyesalkan Wakatobi tidak masuk 5 super prioritas. Ia menyebut, penanganan Wakatobi selama ini tidak serius

Terungkap juga dalam diskusi itu bahwa Kementerian Pariwisata sebetulnya cukup serius mendorong KSPN Wakatobi agar tidak tertinggal dari yang lain. Bupati Wakatobi Arhawi pernah dipanggil ke Kementerian Pariwisata terkait progres KSPN Wakatobi yang terlihat lamban atau jalan di tempat.

Sebelumnya, bupati tersebut  mengusulkan agar KSPN Wakatobi dikelola dalam bentuk BOP.  Akan tetapi syarat yang dibutuhkan antara lain penyiapan lahan 200 hektar untuk lokasi pembangunan sarana dan prasarana parawisata, tidak direalisasikan.

Kewajiban pemda hanyalah menyiapkan lahan sesuai peruntukkannya berdasarkan RTRW Wakatobi. Soal pembebasan lahan bukan urusan pemda. Namun demikian, hingga Renstra (rencana strategis) Pariwisata Nasional tutup buku 10 Oktober 2018, KSPN Wakatobi tetap tidak ada kemajuan.

Kadis Perhubungan Sultra Hado Hasina sebagai penyaji tunggal di FGD yang dipandu La Djusmani (dari unsur masyarakat) menyatakan, kondisi mati suri KSPN Wakatobi lebih disebabkan faktor sosialisasi program itu yang belum maksimal. Namun ia menyebut, tanggung jawab masalah Wakatobi merupakan tanggung jawab bersama pemda kabupaten, pemda provinsi maupun masyarakat.

Terkait penyiapan lahan, Hado mengatakan, status lahan kawasan yang diusulkan harus clear dan clean. Harus menunjukkan data konsolidasi lahan yang dapat memberikan informasi tentang status peruntukkan lahan sesuai RTRW, data kepemilikan lahan, dan tingkat penerimaan rencana usulan kegiatan dari stakeholders dan terutama oleh pemilik lahan.

Diingatkan, KSPN Wakatobi adalah milik Sultra. Daerah-daerah sekitar, termasuk Kota Kendari merupakan penyangga kawasan wisata tersebut.

Pemerintah memberikan dua opsi bagi pengelolaan KSPN, yaitu dalam bentuk KEK dan BOP. Pemda Wakatobi memilih BOP.

Namun, pilihan tersebut tidak terealisasi. Oleh sebab itu, menurut Hado, KSPN Wakatobi akan diambil alih provinsi dan ditangani  dalam bentuk KEK. Menurut Hado, penanganan dalam bentuk KEK, pemerintah lebih dominan. Sedangkan versi BOP lebih dominan peran swasta kendati tetap dikendalikan pemerintah.

Ia mengatakan, selain KEK Wakatobi,  Pemerintah Provinsi Sultra juga akan menggarap kawasan wisata Toronipa yang obyeknya  mencakup Pulau Bokori, Pulau Hari, Pulau Saponda, Labengki (taman laut), dan Rawa Aopa Watumohae. Jalan poros Kendari-Toronipa (14,6 Km) yang saat ini mulai dibangun adalah untuk menunjang konektivitas obyek-obyek wisata  Toronipa dan sekitarnya. Terkait dengan itu maka di Toronipa perlu dibangun pelabuhan khusus wisata seperti pelabuhan khusus wisata Pulau Bokori di Desa Bajo Indah. Turis yang mau ke pulau eksotik itu naik kapal motor dari Bajo Indah.

VIDEO

Faktor lain yang menginspirasi Hado Hasina menyelenggarakan FGD bertemakan Studi Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Terpadu KEK Wakatobi adalah dalam rangka melaksanakan misi Kementerian Perhubungan terkait pengembangan pariwisata. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Kementerian Perhubungan bahu membahu membangun  infrastruktur penunjang konektivitas dan sarana kemudahan lainnya di semua KSPN, termasuk Wakatobi.

Hado menjelaskan, pihaknya akan membangun pelabuhan Numana di Wanci. Pelabuhan ini akan melayani transportasi antar moda: udara, laut, dan darat. Di pelabuhan itu juga akan dibangun terminal tipe B. Dengan demikian, para pengunjung Wakatobi dari lapangan terbang Matahora dapat langsung ke pelabuhan ini jika mau melihat Kaledupa, Tomia maupun Binongko. Angkutan perjalanan lanjutan adalah kapal feri atau bus air. Semua penyediaan  sarana dan prasarana tersebut akan dibiayai Kementerian Perhubungan.

Adapun pembangunan ruas-ruas jalan di daratan  pulau-pulau  utama Wakatobi merupakan tanggung jawab Kementerian PUPR.

Tampak peristiwa menarik menjelang penutupan diskusi yang dibuka Drs Djudul mewakili Plt Sekda Provinsi Sultra Drs La Ode Mustari MSi. Sebuah naskah perjanjian kerja sama antara Pemprov Sultra dan PT Marwan Bersaudara Sukses ditandatangani di depan peserta diskusi.

Naskah ditandatangani Hado Hasina atas nama Gubernur Ali Mazi sebagai pihak pertama, dan pihak kedua PT Marwan Bersaudara Sukses  ditandatangani Dirut Anton Suseno. Perjanjian kerja sama itu menyangkut penggunaan lahan seluas satu hektar (10.000 M2) di kawasan komersial pelabuhan Bungkutoko. Lahan tersebut akan dimanfaatkan perusahaan dari Jakarta itu untuk lokasi pergudangan, perkantoran, dan prasarana lainnya. Dalam perjanjian itu disebutkan, PT Marwan Bersudara Sukses membayar sebesar Rp 350 juta per tahun selama 5 tahun.

Perusahaan tersebut mempunyai rencana investasi di Sultra. Obyek bisnisnya adalah penanaman jagung hibrida yang melibatkan petani. Akhir tahun ini sudah mulai beroperasi dengan investasi sekitar Rp 50 miliar tahap pertama untuk tanaman jagung seluas hampir 50.000 hektar.

Kehadiran pengusaha dan terbukanya kran pendapatan daerah dari sumber baru tersebut merupakan salah satu hasil kreativitas dan inovasi Hado Hasina selama menjabat Kadis Perhubungan Sultra sejak pertengahan tahun 2016.

Dia mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) Sultra dari semula hanya sekitar Rp 4 miliar menjadi Rp 6 miliar tahun 2017, Rp 10 miliar tahun 2018, dan tahun 2019 ini Hado optimistis bisa capai Rp 12 miliar.

Di forum FGD KSPN Wakatobi, Hado sempat menyatakan rasa kecewa  kepada staf Gubernur Ali Mazi yang mengelola keuangan daerah. “Kita memasukkan Rp 12 miliar. Kalau kita minta Rp 10 miliar untuk lebih mendongkrak pemasukan daerah, saya kira mestinya tidak masalah. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Malah tidak dikasih,” ujarnya dengan nada kecewa.

Sejak menjabat Kadis Perhubungan, Hado mengoptimalkan pengoperasian kapal-kapal feri di semua lintas penyeberangan feri di Sultra. Petugas bekerja tidak siang tidak malam melayani penumpang  dan bekerja  secara profesional.

Selain itu, di hampir semua pelabuhan feri dia membangun kawasan komersial dan melibatkan warga setempat. Kawasan itu diisi dengan lapak-lapak kuliner, kios yang menjual kebutuhan penumpang, areal parkir, bahkan villa bagi penumpang yang ingin beristirahat.

Kawasan komersial di Bungkutoko merupakan  lahan urukan. Dia ingin menguruk laut hingga 3-5 hektar di situ. Tapi baru terwujud satu hektar sudah ada peminat yang akan menggunakannya bagi kepentingan bisnis. “Kalau mau,  dia bisa membangun dermaga di situ untuk kapal lokal dan mungkin juga buat kapalnya sendiri”, katanya mengomentari kontrak kerja sama dengan PT Marwan Bersaudara Sukses. * Sumber