Akhir-akhir ini rakyat Indonesia, terutama umat Islam terus mendapat provokasi dari berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Bertambah parah, saat negara yang seharusnya menjadi penengah dan pemberi solusi, justru menjadi pihak paling dominan dalam melakukannya. Isu radikalisme yang dihembuskan bagai blunder panas yang terus saja berputar tanpa arah. Ia tidak terdefinisikan dengan jelas, walau telah nampak siluet yang diinginkan oleh si pemberi kuasa yang seakan mengarah kepada umat Islam.
Isu radikalisme ini bahkan dibiarkan begitu saja di tengah kerumunan, hingga siapapun bisa menggunakannya untuk melukai orang yang tidak disukai dengan identitas muslim dan menunjukkan keislamannya. Permusuhan dan perpecahan tak ayal terjadi di tengah-tengah rakyat Indonesia sendiri, saling curiga dan memata-matai sesama seakan menjadi aktivitas legal atas nama pemberantasan radikalisme. Sebab itulah maka tak salah jika dikatakan bahwa radikalisme adalah sarana permusuhan dan perpecahan rakyat.
Hal itulah yang tersirat dari peluncuran portaladuanasn.id, sebuah website yang berisi aduan dari ASN (Aparatur Sipil Negara) terkait orang-orang dekat mereka sesama ASN yang dianggap berpaham radikal. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan bahwa salah satu tugas pemerintah saat ini adalah menciptakan wawasan kebangsaan yang kuat di kalangan ASN, sebagai bentuk partisipasi dalam meningkatkan wawasan kebangsaan ASN, Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia) menyediakan portal untuk memudahkan pengaduan ASN. (tempo.co, 13/11/2019)
Dia berharap bahwa konten yang akan masuk ke portal merupakan data yang valid, informasi yang akurat, tidak diisi dengan hoaks. Adapun mengenai tolak ukur radikalisme di kalangan ASN, kata Johnny, masing-masing ASN memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. “Itu nanti lembaga-lembaga terkait yang spesifik menangani itu, pasti ada batasan, tapi ada acuan-acuannya,” kata Johnny. Sebenarnya tidak hanya ASN radikal yang bisa diadukan dalam website portaladuanasn.id tersebut, melainkan ada 11 poin fokus lainnya yang ditetapkan, meski tetap dengan ketidakjelasan definisi radikal itu sendiri.
Kutipan pernyataan bapak menteri di atas menunjukkan bahwa tak ada tolak ukur yang jelas bagi ASN yang ingin mengadukan teman sesama ASN nya yang diindikasikan memiliki paham radikal. Dari aduan-aduan tersebut barulah kemudian Pemerintah akan memetakan tentang definisi ASN radikal tanpa melihat lagi arti kata atau pendapat dari para ahli tata bahasa. Hal ini jelas-jelas adalah pembodohan dan juga provokasi terhadap ASN atau abdi negara. Alhasil mereka pun bersikap saling curiga dan berhati-hati terhadap sesamanya. Ini sama sekali tidak sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang didengung-dengungkan oleh Pemerintah.
Para ASN ada dan digaji oleh negara dengan uang yang diambil dari rakyat, perasaan memiliki dan hak untuk mengatur tidak seharusnya dimonopoli oleh Pemerintah. Apa yang dilakukan saat ini, sungguh bukan sekedar pemberantasan paham radikal di tengah-tengah masyarakat, melainkan terlihat pula politik belah bambu yang menambah keterpecahan kaum muslimin yang memang sudah terpecah sejak 1924 M.
Islam adalah agama yang damai, sebab tak satupun ayat dalam Alquran yang mengajarkan permusuhan apalagi kekerasan. Islam sangat menghargai jiwa manusia, tak ada orang yang hidup dalam kekuasaan Islam yang tidak terlindung harta dan nyawanya. Dalam Islam wanita mulia, ditutup dengan pelindung kehormatan dan ditinggikan derajatnya untuk dapatkan surga. Memang ada ayat-ayat yang mengatur tentang sanksi seperti qishosh untuk pembunuh, jilid atau rajam bagi pezina, dan hukum potong tangan bagi pencuri. Atau ayat-ayat yang berhubungan dengan peperangan.
Namun, sanksi-sanksi yang diberikan tidak langsung mengartikan bahwa Islam itu sadis dan jahat, keberadaannya justru menjadi penebus dosa dan pemberi efek jera terbaik bagi para pelakunya serta rasa takut luar biasa bagi yang melihatnya. Alhasil berbagai kejahatan pun bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dengan diberlakukannya sanksi tersebut. Begitupun peperangan, aktivitas ini telah umum di masyarakat Makkah dan sekitarnya kala itu. Justru keberadaan Islam telah mendobrak aturan-aturan lama yang sadis dan kejam dengan aturan Islam yang mulia, sehingga perang yang dilakukan pun tidak membawa bencana bagi orang yang tidak berdosa.
Tujuan peperangan itu sendiri pun bukan sekedar mendapat harta dan kekuasaan, melainkan dakwah sebarkan Islam secara kaffah. Jika radikalisme yang dipahami Pemerintah adalah kekerasan, maka sangat salah jika masih ada orang yang menuduh umat Islam bersifat radikal. Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, jangan sampai kacau balau hanya karena kebijakan yang memecah belah rakyat. Islam adalah agama pemersatu, keberadaannya mampu merekatkan semua elemen masyarakat dengan baik tanpa kekerasan sedikirpun. Maka dari itu, bukanlah hal yang aneh jika penerapannya menjadi idaman bagi umat muslim seluruh dunia. Wallahu A’lam bis Shawab
Oleh : Tri Silvia