Dikabarkan puluhan desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dinyatakan kumuh. Hal ini bedasarkan hasil identifikasi kawasan permukiman kumuh dengan sejumlah kriteria. (Republika.co.id, 8/12/19)
Menurut Kabid Pemukiman Dinas Perumahan Rakyat, Nurwahyidi ( 8/12) mengatakan, jumlah desa kumuh itu didapatkan bedasarkan Surat Keputusan Direktorat Jendaral Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 111/KPTS/2016, sehingga hal ini perlu adanya penanganan yang sangat signifikan.
Adapun beberapa indikator yang membuat suatu wilayah masih menjadi kategori kawasan kumuh diantaranya aspek bangunan, jalan lingkungan, drainase, penyediaan air bersih, penangana limbah komunal, penangana sampah, dan ketersediaan ruang terbuka publik.
Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, yaitu, pertama, kondisi fisiknya. Kondisi fisik tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik. Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara lain mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga, dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.
Selain itu, kepadatan penduduk yang tidak terkendali di suatu kota menyebabkan lahan pemukiman semakin hari semakin sempit dan kebutuhan masyarakat terhadap pemukiman semakin besar. Akibatnya, nilai lahan di perkotaan pun menjadi semakin mahal dan kelompok masyarakat miskin pun semakin terpinggirkan. Sebagai upaya bertahan hidup mereka mendirikan kawasan pemukiman di lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya, seperti di pinggir rel kereta api, pinggiran jalan, dibawah kolong jembatan, dan lain-lain.
Kelambatan Pemerintah dalam menanggapi urbanisasi juga dinilai sebagai salah satu pemicu tumbuhnya pemukiman kumuh. Proses terbentuknya permukiman kumuh dimulai dengan dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal tersebut dibangunkan oleh orang lain. Pada proses pembanngunan oleh sektor non-formal tersebut mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki prasarana da sarana lingkungan yang memeuhi standar teknis dan kesehatan.
Permukiman kumuh juga mengakibatkan munculnya perilaku menyimpang dari masyarakat miskin, yakni perilaku yang bertentangan dengan norma sosial, budaya, tradisi di suatu masyarakat contohnya enggan bergotong royong, enggan membuat KTP, mencoret-coret dan merusak fasiltas umum, dan lain sebagainya.
Perilaku yang lebih parah bisa berakibat kepada munculnya kriminalitas di sekitar kota seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain. Dampak lainnya bisa berimabas pada kesehatan masyarakat miskin. Mereka yang membangun permukiman di sekitar tempat pembuangan akhir pasti akan tercemar bakteri penyakit dari sampah di dekat huniannya.
Menyikapi permasalahan ini tentu tak terlepas dari adanya peran pemerintah dalam meriayah rakyatnya terutama dalam penangan urbanisasi diperkotaan yang memicu timbulnya kawasan perkumuhan hingga kemiskinan. Selain itu sempitnya lahan pekerjaan yang tidak disediakan sepenuhnya bagi masyarakat sehingga memberi dampak kemerosotan SDM yang tak tersalurkan. Padahal upaya dalam pemenuhan kebutuhan primer masyarakat begitu mudahnya apabila negara mau menyediakan lahan kosong dalam proses pembangunan rumah layak huni dan membuka lapangan pekerjaan. Sehingga hal ini mampu menghindari adanya kawasan perkumuhan dan kemiskinan.
Tak hanya itu saja, penerapan sistem kapitalisme pun menjadi penyebab utama gagalnya negara dalam membangun masyarakat yang sejahtera. Mengapa demikian? Sebab dalam sistem kapitalisme negara hanya terfokus pada penataan kota dengan bangunan yang super megah namun disisi lain tidak memikirkan dampak dari pembangunan tersebut terhadap mayarakat miskin disekitarnya. Disinilah negara hanya mencapai tujuannya dalam mendapatkan asas manfaat dengan memberikan keuntungan kepada para pemilik modal/swasta meski harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Sehingga, ketika terjadi permasalahan akibat dari kebijakan negara inilah pemerintah pun kelabakan mencari solusi dan ujung-ujungnya harus menggelontorkan dana dalam pembangunan permukiman rakyat. Dan pastinya pendanaan inipun tak lain dikucurkan melalui anggaran negara, sementara permasalahan kemiskinan hingga saat ini tak mampu dientaskan oleh pemerintah dan lagi-lagi hal ini tak lepasnya dari kebijakan pemerintah dalam sistem kapitalisme.
Mekanisme Islam dalam Menangani Permukiman
Negeri yang makmur kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) tentu akan mampu mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Namun bagaimana jika SDA tersebut lebih di serahkan kepada pihak koorporasi tanpa memikirkan nasib rakyatnya? Tentu hal ini akan berdampak pada kesulitan masyarakat dalam sektor perekonomian hingga timbulah beragam kemiskininan. Dan diantara pemicu kemiskinan tersebut tentu hal ini merupakan kecacatan atau kegagalan pemerintah dalam meriayah rakyatnya.
Sementara itu kemiskinan saat ini merupakan fenomena yang begitu mudah kita jumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Dan harus diakui, Kapitalisme saat ini memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan.
Dalam perspektif Islam, rumah termasuk kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat selain sandang dan pangan. Kebutuhan primer tersebut menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah Saw sebagai kepala negara hingga para khalifahnya telah menetapkan dan menjalankan kebijakan ini.
Mekanisme pemenuhan kebutuhan rumah menurut hukum Islam melalui tiga tahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan mekanisme tersebut.
1. Memerintahkan untuk Bekerja
Negara memerintahkan semua kaum lelaki (yang mampu) untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Selain itu, negara juga memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Dengan demikian, perintah dan fasilitas untuk bekerja tersebut memungkinkan mereka memenuhi semua kebutuhan primernya bahkan kebutuhan sekunder dan tersiernya.
2. Kewajiban Kepala Keluarga, Ahli Waris dan Kerabat
Mereka yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka pada gilirannya akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya.
Allah SWT berfirman: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal.” (QS. Ath-Thalaq: 6); dan “Dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai.” (QS. At-Taubah: 24). Sedangan Rasulullah SAW bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh,” (HR. Nasa’i).
3. Kewajiban Negara
Jika tahap 1 dan tahap 2 tidak bisa menyelesaikannya, maka giliran selanjutanya adalah negara yang berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka khalifah bisa menjual (secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.
Demikianlah gambaran singkat mengenai mekanisme pemenuhan perumahan rakyat di dalam sistem Islam. Hasil yang diperoleh dari setiap pelaksanaan mekanisme tersebut cukup jelas dan diurus terus oleh negara demi menjamin pemenuhan rumah bagi setiap individu rakyat. Tidak boleh ada warga yang terlantar, tidak menempati rumah, dan menjadi gelandangan.
Disisi lain, regulasi Islam dan kebijakan seorang khalifah juga akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja berbagai regulasi dan kebijakan khalifah tersebut muncul dari pemikiran dan hukum Islam demi melayani kemaslahatan rakyatnya.
Khalifah (kepala negara) adalah pelayan umat. Dia harus mengurusi rakyatnya hingga semua kebutuhan primernya termasuk rumah harus terpenuhi. Selain melalui mekanisme tersebut di atas, beberapa regulasi dan kebijakan yang diberlakukannya juga harus memudahkan individu rakyat dalam memiliki rumah, antara lain dengan cara:
1. Larangan Menelantarkan Tanah
Tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya, maka negara berhak memberikannya kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Nabi Saw bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanah itu diambil”. (HR. Bukhari).
Mekanisme pelarangan penelantaran tanah, penarikan tanah terlantar dan pemberiannya diatur oleh negara. Individu rakyat tidak boleh serta-merta main serobot sendiri sehingga akan memicu perselisihan, persengketaan, kekacauan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.
2. Ihya, Tahjir dan Iqtha’
Selain jualbeli, waris atau hibah, menurut hukum Islam tanah bisa dimiliki melalui ihya, tahjir dan iqtha’. Pengertian ihya’ (al-mawat) adalah menghidupkan/memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang, untuk suatu keperluan termasuk membangun rumah. Nabi Saw bersabda: ”Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Tahjir (al-ardh) artinya membuat batas atau memagari bidang tanah. Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad).
Sedangkan iqtha` artinya pemberian tanah milik negara kepada individu rakyat. Pada saat tiba di kota Madinah Nabi Saw pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi Saw juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam.
Mekanisme penerapan ihya, tahjir dan iqtha’ harus diatur sedemikian rupa oleh negara beserta segenap aparaturnya hingga di tingkat daerah agar tidak terjadi perselisihan, persengketaan, kekacauan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.
3. Tanah Ash-shawafi
Ash-shawafi adalah setiap tanah yang dikumpulkan Khalifah dari tanah negeri-negeri yang dibebaskan dan ditetapkan untuk baitul mal. Termasuk tanah yang tidak ada pemiliknya, tanah milik negara yang dibebaskan, tanah milik penguasa, tanah milik panglima perang, tanah milik orang yang terbunuh atau tanah milik orang yang lari dari peperangan.
Negara mengelola tanah ash-shawafi untuk kemaslahatan kaum Muslim. Termasuk untuk diberikan, disewakan atau dijual dengan harga terjangkau kepada individu rakyat untuk mendirikan rumah.
4. Harta Milik Umum
Harta milik umum adalah harta yang ditetapkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) sebagai milik bersama kaum Muslim. Harta milik umum misalnya sumber air, padang rumput (hutan), bahan bakar, sarana umum (jalan, kereta api, trem, saluran air, dsb) dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas.
Pemanfaatan harta milik umum secara langsung maupun tidak langsung akan memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja negara harus mengatur dan mengontrol pemanfaatannya agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Misalnya, dengan mekanisme tertentu, seseorang secara langsung bisa mengambil kayu di hutan dan bebatuan di kali untuk bahan bangunan rumahnya. Secara tidak langsung, negara harus mengolah terlebih dulu kayu-kayu (pepohonan) milik umum untuk dijadikan papan, triplek dan batangan kayu sebagai bahan bangunan rumah.
Negara juga harus mengolah barang tambang untuk menghasilkan besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian, individu rakyat mudah menggunakannya baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah).
Demikianlah gambaran islam dalam menangani persoalan umat terlebih lagi masalah permukiman yang merupakan sarana untuk beribadah, belajar, beristirahat dan sebagainya. Penanganan ini tentu hanya akan bisa jika negara sekiranya mau menjadikan islam sebagai aturan dalam segala aspek kehidupan secara keseluruhan. Dan hanya khilafahlah yang mampu menghadirkan solusi dari segala carut marutnya problematika umat saat ini.
Wallahu A’lam Bishshowab.
Hamsina Halisi Alfatih