Mampukah Program Merdeka Belajar Menyelesaikan Problem Pendidikan Indonesia?

Mampukah Program Merdeka Belajar Menyelesaikan Problem Pendidikan Indonesia?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyampaikan empat program pokok kebijakan pendidikan Merdeka Belajar.

Program tersebut meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

Iklan KPU Sultra

Untuk penyelenggaraan USBN pada 2020 akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya).

Melalui hal itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. Untuk anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran.

Selanjutnya, mengenai Ujian Nasional, tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya. “Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” kata Mendikbud.

Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11), sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. “Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS,” kata dia.

Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.

“Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup,” katanya.

Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Sedangkan untuk jalur prestasi ditingkatkan menjadi 30 persen disesuaikan dengan kondisi daerah.

“Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” ujar Mendikbud Nadiem.

Apa Itu Merdeka Belajar?

Ada banyak problem di dunia pendidikan Indonesia. Selain kurikulum, sarana dan prasarana yang tidak merata, kualitas output pun dipertanyakan. Mulai dari tawuran, narkoba, pergaulan bebas, LGBT, sampai ke tindak kriminal di kalangan pelajar, hampir selalu terjadi setiap harinya. Semua itu berpangkal pada krisis identitas dan jati diri pelajar. Namun faktanya, kebijakan baru sang menteri hanya untuk memperbaiki kualitas output pendidikan dari sisi menyiapkan mereka ke dunia kerja saja. Sementara jati diri peserta didik sebagai manusia beriman semakin diliberalkan.

Nadiem bahkan memaknai merdeka belajar sebagai merdeka berpikir. Kemerdekaan ini harus ditanamkan langsung dari guru kepada siswa. Nadiem menyebut, semua guru harus berpikir secara mandiri. Pembelajaran tidak akan terjadi jika hanya administrasi pendidikan yang akan terjadi. “Paradigma merdeka belajar adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi di berbagai macam sekolah,” paparnya.

Guru harus punya kemerdekaan untuk berpikir tentang materi ajar yang akan disampaikan kepada siswa, kemudian menginterpretasikannya dengan cara mengambil pandangan-pandangan sesuai dengan nalarnya. Demikian pula siswa, ia bebas menginterpretasikan materi ajar yang telah didapatnya.

Sekilas, konsep ini nampak bagus. Namun, di tengah kampanye masif melawan radikalisme dan intoleransi, dimana cap radikal dan intoleran selalu disematkan kepada umat Islam yang taat kepada ajaran agamanya, maka disinyalir bahwa merdeka berpikir yang dimaksud Nadiem adalah memberi kebebasan (liberal) dalam memaknai pelajaran. Ujung-ujungnya, peserta didik menjadi pribadi yang berprilaku dan berkarakter liberal, tanpa dibatasi rambu-rambu agama.

Memang, dunia pendidikan tidak boleh menghasilkan SDM yang hanya pandai menghafal tanpa memahami makna. SDM seperti ini tidak akan mampu menjawab tantangan zaman, karena minim kreativitas. Namun, dunia pendidikan juga tidak boleh menghasilkan insan yang berkarakter universal, bebas tanpa tuntunan wahyu. Meskipun ia pandai berliterasi, namun selalu berpikir materialistik dan egois. Jadilah ia generasi rusak, tidak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak jauh berbeda dengan karakter pelajar yang ada saat ini.

Strategi Pendidikan Islam

Seharusnya, kita bisa mencontoh strategi pendidikan Islam yang telah terbukti mampu mencetak generasi unggul. Strategi pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir dan pola jiwa islami. Seluruh mata pelajaran disusun berdasarkan strategi tersebut.

Tujuan pendidikan di dalam Islam adalah membentuk manusia yang: (1) Memiliki kepribadian Islam; (2) Handal menguasai pemikiran Islam; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (ilmu, pengetahuan, dan teknologi); dan (4) Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Pembentukan kepribadian Islam dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya. Pada usia TK dan SD, materi yang diberikan lebih fokus pada penanaman aqidah dan syariat Islam. Barulah setelah mencapai usia baligh, yaitu SMP, SMU, dan PT, materi yang diberikan bersifat lanjutan (pembentukan, peningkatan, dan pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat islam.

Dari sinilah akan dihasilkan individu-individu yang memiliki kepribadian mulia dan paham makna kehidupan, sehingga kelak akan dirasakan peranannya di tengah masyarakat. Bukan peserta didik yang sekadar bisa menyelesaikan soal-soal PISA dan TIMSS dengan kesulitan tingkat tinggi, namun minim dari sisi kepribadian.

Melalui strategi pendidikannya, Islam akan melahirkan output generasi yang berkualitas, baik dari sisi kepribadian maupun dari penguasaan ilmu pengetahuan. Peranannya di tengah masyarakat akan dirasakan, baik dalam menegakkan kebenaran maupun dalam menerapkan ilmunya. Ilmu pengetahuan pun berkembang secara pesat. Wajar bila pada abad pertengahan, Islam menjadi pusat peradaban dan rujukan ilmu pengetahuan dunia.

Namun harus diingat bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman kejayaan umat Islam di masa lalu, tidak bisa dilepaskan dari tegaknya sistem kekhilafahan. Hanya khalifah yang mampu mengintegrasikan tiga pilar utama pendidikan dalam membentuk peradaban Islam, yaitu ilmu pengetahuan, agama dan politik. Inilah sistem pendidikan ideal dambaan umat .

Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom (Pegiat Literasi)