Bencana dan Kepedulian Pemerintah

Bencana dan Kepedulian Pemerintah
Tampak seorang anggota TNI melakukan bersih bersih pasca banjir.

Keindahan bukit dan gunung yang menjulang tinggi menghias langit. Pantai yang berbibir pasir putih dan berselimutkan dua gelombang Samudera Pasifik-Hindia serta angin yang berembus lirih dari dua benua Asia dan Australia. Segala keindahan itu tercipta karena kita berada pada jalur cincin api dunia atau yang lebih dikenal dengan ring of fire, sebuah jalur tempat dan berkembangnya gunung api yang juga berhimpitan dengan jalur gempa bumi teraktif di dunia.

Di balik kekayaan dan keindahan itu, terdapat pula potensi bencana letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, longsor, kebakaran hutan, banjir bandang, yang datang kapan saja. Maka pepatah sedia payung sebelum hujan harus dilakukan pemerintah, khususnya dalam menyikapi masalah bencana. Kita semua menyadari bahwa bencana alam merupakan peristiwa alam yang dahsyat dan sering membawa tragedi dan penderitaan besar bagi umat manusia. Energi luar biasa yang dilepas oleh alam bisa memporak-porandakan hasil jerih payah manusia selama puluhan tahun dan menelan banyak korban jiwa, bahkan mengubur satu peradaban manusia dalam waktu singkat.

Iklan KPU Sultra

Akan tetapi hal ini tidak menjadi perhatian serius pemerintah dalam menanggulangi bencana  yang tidak bisa diprediksi kapan terjadinya.  Seperti yang  dilansir oleh DARA BANDUNG, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, H. Akhmad Djohara, menyebutkan, tidak ada anggaran pendukung untuk menanggulangi bencana yang bersifat spontan. Bantuan yang diberikan berupa makanan  yang tersedia di kantor BPBD.

Dan lebih disayangkan lagi, dari awal kita telah mengetahui potensi bencana alam datang setiap saat, mitigasi bencana masih tambal sulam. Menuju tahun 2020, yang diprediksi bencana akan selalu menyapa kita, penguatan mitigasi bencana harus dilakukan agar tak kembali mengulangi kesalahan yang sama.

Pemerintah memang harus lebih tanggap dan tegas dalam melakukan edukasi kebencanaan terhadap masyarakat demi mengantisipasi timbulnya korban yang lebih besar. Ketika mengedukasi masyarakat, salah satu problemnya adalah ketika mereka berada di wilayah yang rawan bencana sementara untuk pindah tak ada pilihan, maka peringatan dan edukasi hanya didengarkan tapi tak dilakukan sehingga mereka terpaksa tetap tinggal di daerah rawan bencana. Dalam konteks inilah pemerintah bisa lebih tegas tapi juga solutif.

Masalah paling fundamental juga tentang keberpihakan politik anggaran kebencanaan yang masih minim sehingga peralatan yang lengkap dan canggih masih jauh dari lengkap, bahkan beberapa peralatan peringatan tsunami di beberapa daerah sudah tak berfungsi. Minimnya anggaran menjadi penyebab tak dilakukannya peremajaan.

Memang harus diakui anggaran untuk bencana masih minim. Tahun 2017, BNPB mengelola anggaran sebesar Rp 839 miliar dari pangajuan awal sebesar Rp 2,19 triliun. Tahun 2018, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp 749 miliar, dari Rp 2,5 triliun yang diajukan. Tahun 2019, jumlah anggaran BNPB justru mengalami penurunan menjadi Rp 746 miliar rupiah. Ini menunjukkan bahwa para perumus kebijakan kita belum mempunyai kesadaran paradigmatik ihwal kebencanaan. Mereka tak mempunyai rumusan jangka panjang untuk pencegahan dan mitigasi bencana.

Paradigma berfikir kapitalis para pemimpin negeri yang hitung-hitungan dan tak ingin rugi, telah terbukti menambah daftar keprihatinan kehidupan umat yang semakin sempit. Pemimpin negeri yang hanya melihat suatu hal dari “kacamata” uang, memunculkan rasa tidak tulus karena hanya berpikir untung-rugi ketika mengurus rakyatnya yang sedang terkena musibah. Mental kapitalis telah mematikan nurani mereka dan menafikan keberadaan Allah Swt. yang Maha Pemberi Rezeki.

Padahal sesungguhnya, ketika pemimpin tulus dalam melayani rakyatnya yang membutuhkan, insya Allah akan dibukakan pintu rezeki dari seluruh penjuru langit. Namun sayangnya, pola pikir dan pola sikap seperti itu tidak akan muncul dari penguasa yang tidak mau menerapkan hukum-hukum Allah Swt.

Adapun penanggulangan bencana pada masa kejayaan Islam, tidak hanya berfokus pada penanggulangan secara fisik dan infrastruktur kasar setelah bencana saja. Sebelum terjadi bencana, negara tidak hanya membangun infrastruktur yang kasar seperti jalan tol, jembatan, dan lain-lain,  namun juga infrastruktur lunak yaitu mencakup pembinaan akidah dan ukhuwah di antara umat.

Pemimpin memiliki tanggung jawab dalam membina akidah umat dengan melakukan edukasi dan pembinaan terhadap umat agar ketika mendapat situasi yang sulit, umat akan kuat terhadap berbagai macam cobaan dan musibah yang melanda, karena bisa jadi bencana tersebut adalah salah satu teguran, sehingga ke depannya pemimpin dan umat dapat kembali kepada syariat Islam dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Selain itu, pemimpin juga bertanggung jawab dalam menciptakan ukhuwah di tengah-tengah umat, sehingga ketika musibah melanda, umat yang lain akan segera membantu saudaranya yang terkena musibah dan pemimpin pun akan cepat tanggap dalam penanganan bencana. Dengan demikian, umat tidak akan saling menzalimi satu sama lain dan sebaliknya akan membantu saudaranya dengan sekuat tenaga.

Selain penanganan pasca bencana, penguasa muslim juga membuat pencegahan terjadinya bencana. Penguasa muslim memanfaatkan para cendekiawan untuk meneliti dan membangun bangunan yang dapat mencegah dari bencana. Al-Farghani membangun alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Saat kurang puas dengan penemuan Al-Farghani, penguasa muslim memutuskan untuk mengadakan sayembara untuk membangun bendungan Sungai Nil demi menangkal banjir, terusan dan peringatan dini bencana alam.

Adapun pada masa kekeringan, penguasa muslim membuat bunker untuk meletakkan makanan dalam mengantisipasi terjadinya kelaparan.  Penguasa muslim juga memperhatikan letak bangunan ketika ingin membangun gedung-gedung. Untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa dengan kontruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang dan menyalurkan beban secara merata.

Penguasa muslim juga memperhatikan bangunan masjid tersebut,  sedangkan banyak gedung dengan meneliti tanah-tanah yang akan dibangun dan dinyatakan aman terhadap gempa di atas 8 SR. Dengan demikian, gempa tak membuat dampak sedikitpun pada masjid tersebut yang juga bersamaan ternyata banyak gedung modern di Instanbul yang justru roboh.

Bencana yang ada dalam sistem Islam, tidak hanya disikapi dengan tawakkal namun juga ikhtiar agar fasilitas umum yang telah dibangun mampu melindungi rakyat dari bencana yang melanda.

Mereka membayar para peneliti maupun insyinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, dan membangun tempat logistik. Masyarakat pun disiapkan dapat mengantisipasi dengan tanggap darurat dan dapat mengevakuasi diri secara cepat, dilatih untuk menyiapkan barang-barang yang vital selama proses evakuasi, dilatih untuk mengurus jenazah yang tergeletak dan healing untuk merehabilitasi diri pasca bencana.

Baik penguasa muslim maupun masyarakat, tidak hanya diberikan peringatan dini, namun juga dilatih untuk menghadapi situasi normal maupun genting.

Hal ini bisa terwujud kembali ketika syariat Islam diterapkan oleh negara,  dan inilah yang harus kita perjuangkan kembali,  agar rahmat Allah turun dari langit dan bumi.  Wallahu a’lam bi ash-sawwab.

Oleh:  Syifa Putri, Ummu Wa Rabbatul Bayt, (Cileunyi Kab. Bandung)