Sarjana, Intelektual tak Berharga dalam Sistem Kapitalisme

Sarjana, Intelektual tak Berharga dalam Sistem Kapitalisme
Wina Amirah

Tak dipungkiri, gelar sarjana masih menjadi impian dan dambaan sebagian orang agar menjadi jembatan penghubung antara kesengsaraan menuju kesejahteraan. Pemuda-pemudi yang ber-angan untuk menempuh pendidikan tinggi tak jarang berasal dari keluarga tak mampu. Tentu dengan harapan dan semangat dapat mengubah status sosial dan meningkatkan ekonomi keluarga. Tak peduli kebutuhan keluarga tercukupi ataukah tidak selama proses pendidikan, tak peduli makanan hari ini mengenyangkan ataukah tidak, yang terpenting anak-anak bisa kuliah dan menjadi sarjana lalu bekerja, itulah harapan para orang tua yang begitu besar akan gelar sarjana yang kelak tersemat dibelakang nama anak-anak mereka.

Namun sayang seribu sayang, ternyata indahnya impian tak seindah kenyataan. Setiap tahunnya, berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia meluluskan ribuan sarjana baru dari seluruh pelosok negeri, baik itu lulusan dari Perguruan Tinggi Swasta, maupun Perguruan Tinggi Negeri. Namun sangat disayangkan, dari sekian banyak nya sarjana yang diluluskan oleh perguruan Tinggi , sebagian besar dapat dipastikan akan menjadi pengangguran. Pernyataan ini bukan tidak beralasan, tingginya angka pengangguran sarjana sudah menjadi salah satu penyakit di negara Indonesia yang besar. Kompasiana (18/12/2014).

Iklan ARS

Hal ini tercermin dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas dengan rentang pendidikan S1 hingga S3 yang mencapai 737.000 orang.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019, jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 5,67 persen dari total angkatan kerja sekitar 13 juta orang (iNews.id 5/11/19).

Sebut saja Zulkarnain, pria yang akrab disapa Bang Zul sudah melakoni kerjaannya sebagai juru parkir sejak 5 tahun terakhir.Siapa sangka, perawakannya yang sederhana ternyata lulusan Sarjana Muda. Selain menjadi juru parkir, dia juga staf honorer di salah satu SD Negeri di ‘Kota Minyak’ Duri, Kabupaten Bengkalis (goodnewsfromindonesia) 20/06/19. Itu hanya salah satu fakta kondisi para sarjana di negeri ini, bahkan masih banyak lagi lulusan sarjana yang justru hanya menjadi kuli bangunan, pelayan rumah makan, dan bahkan tak memiliki pekerjaan sama sekali.

Namun, ada beberapa fakta lain yang cukup mencengangkan dan mengecewakan dari sebagaian kecil para kaum intelektual yang terbilang lebih beruntung dari kebanyakan sarjana lainnya. Mereka mendapat kesempatanmembangun dan meningkatkan kondisi negeri kearah yang lebih baik dengan bekerja dalam pemerintahan.  Tetapi, sangat disayangkan, Posisi yang sangat baik dan diidamkan oleh kebanyakan sarjana pengangguran tersebut justru menjadi jalan bagi mereka menyandang gelar koruptor.

Wakil ketua KPK La Ode M Syarif mengungkapkan orang-orang yang menjadi tersangka kasus korupsi mayoritas berpendidikan tinggi. Berdasarkan data KPK orang yang terlibat korupsi didominasi bergelar magister (S2), kemudian sarjana (S1), terakhir bergelar doctor (S3) Tribunnews (15/05/2019).

Generasi bangsa terlahir dari sebuah pendidikan. Saat ini pendidikan yang ada hanya berorientasi pada materi. Ilmu untuk uang sudah menjadi prasyarat dalam menjalani kehidupan.Apapun dilakukan untuk mengejar materi, yang halal diharamkan, yang haram dihalalkan. Kaum intelektual pun terjebak kedalam kubangan lumpur yang penuh dengan kotoran. Pendidikan hanya dijadikan alat untuk mencetak kaum buruh yang berdasi dan bermental pembebek.Pendidikan yang ada tidak terlepas dari sistem yang mengatur pengelolaan dan pengaturan pendidikan. Aturan yang diterapkan saat ini adalah aturan manusia yang serba lemah, terbatas, dan cacat yang berlandaskan sekulerisme (pemisahan antara agama dan kehidupan) sehingga wajar jika kerusakan yang terjadi seperti saat ini.

Sistem kapitalisme-sekulerisme yang diterapkan saat ini tidak bisa memberikan harapan untuk melahirkan generasi cemerlang. Dalam sistem kapitalisme-sekulerisme yang berlandaskan materi, pendidikan dijadikan komoditi perdangangan antara pemerintah dan rakyat.Sehingga rakyatlah yang harus membayar biaya pendidikan bukan Negara yang harus memberikan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sistem kapitalisme-sekulerisme buatan manusia hanya bisa menjamin kerusakan yang bisa kita rasakan saat ini.

Dalam Islam, tujuan pendidikan sangat jelas. Selain itu pula seluruh warga Negara mendapatkan pendidikan secara gratis. Sehingga semuanya bisa merasakan pendidikan. Negara yang mengambil peran keseluruhan untuk mengurusi seluruh rakyatnya termasuk pendidikan.Saat ini kondisi ummat sedang mengalami kerusakan total di seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Masalah pendidikan bukanlah masalah individu atau sekelompok orang. Namun masalah pendidikan merupakan permasalahan sistemik yang harus diselesaikan.Solusi yang bisa menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada adalah Islam. karena Islam adalah pedoman hidup yang diberikan Allah kepada umatnya.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk Kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhoi Islam itu menjadi agamamu.” (QS. Al-Maidah:3).

Bukti keimanan kita kepada Allah adalah dengan bertakwa, menjalani seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika kita lebih memilih aturan yang bukan berasal dari Allah yakni aturan kapitalisme-sekulerisme apakah hal tersebut dikatakan beriman kepada Allah?. Sedangkan beriman kepada Allah adalah dengan menerima semua apa yang diturunkan oleh Allah. Bukan menerima sebagian ayat dan mengingkari ayat yang lain. Jika tidak mau memakai aturan Allah dalam kehidupan, patut dipertanyakan dimana letak keimanan kita?. Solusi satu-satunya adalah dengan menerapkan syariat Allah dalam bingkai khilafah, kepemimpinan umum kaum Muslim seluruh dunia dimana diterapkan syariat Islam secara sempurna dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan da’wah dan jihad, sebagaimana tertera dalam hadits Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan dipundaknya tidak terdapat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim).

Mewujudkan peradaban yang besar yang dibangun diatas pondasi yang kokoh yakni keimanan kepada Allah tentu membutuhkan perjuangan yang optimal, mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk mewujudkannya.Kaum intelektual termasuk bagian dari ummat yang saat ini sedang terjebak dalam kondisi yang terpuruk. Saatnya seluruh kaum muslim bangkit dan terus berusaha untuk mewujudkan cita-cita yang agung yakni tegaknya agama Allah di muka bumi ini agar seluruh umat sadar dan takut melakukan kemaksiatan dan takut melakukan korupsi.

Wallahu A’alam Bishowwab.

Oleh: Wina Amirah