Asing di Balik Liberalisasi Pariwisata

Oleh Ooy Sumini

Anggota Akademi Menulis Kreatif

Iklan KPU Sultra

Tak kuat menahan teriknya matahari, puluhan penari pada even Tari Umbul Kolosal di Waduk Jatigede Kabupaten Sumedang dengan jumlah 5.555 orang, satu per satu jatuh pingsan dan beberapa di antaranya mengalami kesurupan. (Kp-online, 31/12/19)

Demi menarik wisatawan untuk datang ke daerahnya, seperti itulah yang terjadi. 5.555 orang dikerahkan untuk melakukan tarian kolosal. Lain di Sumedang, lain lagi di Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur. Di kawasan pantai Talisayan, ada tradisi adat yang selalu digelar di akhir bulan Safar tahun Hijriyah, namanya adat Buang Nahas. Tradisi ini bertujuan untuk membuang segala keburukan dan berdoa bersama untuk mendapat keselamatan, kemakmuran dan dijauhkan dari segala bencana. (Prokal.co, 23/10/19)

Tradisi Buang Nahas ini tidak sesuai dengan akidah Islam. Jika tradisi ini terus dipelihara berpotensi menggerus akidah umat Islam. Sementara pertunjukan-pertunjukan yang digelar secara kolosal termasuk perbuatan maksiyat. Tidak seharusnya hal-hal seperti itu dilestarikan hanya demi meraih wisatawan.

Namun, banyak negara termasuk Indonesia, yang memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada. Dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan/devisa negara.

Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amelia Adininggar Widya mengatakan, di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara. “Analisis sementara menunjukkan industri pariwisata tidak terpengaruh oleh perang dagang. Meskipun sedang terjadi perang dagang orang-orang tetap berwisata” papar Amelia. (Monitorday.com, 29/06/19)

Secara teori pariwisata dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peluang investasi, peluang kerja dan peluang berusaha. Namun akhir-akhir ini terjadi paradigma baru dalam bidang kepariwisataan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai peluang tersebut ternyata dapat menyebabkan malapetaka terhadap kehidupan sosial, budaya dan lingkungan. Kesejahteraan yang diraih tidak diikuti oleh peningkatan kehidupan sosial, budaya dan pelestarian alam.

Selain itu, dengan mengandalkan pembangunan ekonomi dari sektor pariwisata, berarti pemerintah fokus pada aspek non strategis. Bahkan melestarikan opini publik dengan menganggap pembangunan pariwisata bisa menghadapi kesulitan ekonomi akibat perang dagang As-China. Hal tersebut sesuai dengan apa yang didiktekan penjajah agar mereka leluasa mengeruk kekayaan strategis negeri ini.

Pemerintah memang menetapkan pariwisata sebagai sektor unggulan pembangunan nasional. Sumber devisa sektor ini pada tahun 2016 mencapai USD 12 M, setahun kemudian pariwisata menjadi penyumbang kedua PDB Indonesia. Pada tahun 2019, setoran devisa pariwisata diperkirakan lebih dari 280 triliyun. (Beritasatu.com)

Dunia internasional turut mendikte Indonesia untuk menggencarkan sektor pariwisata ini. Liberalisasi yang menjadi ruh kapitalisme, dengan mudah menggiring lifestyle masyarakat dunia memasuki era ekonomi wisata (leisure economy). Paham sekularisme memang meniscayakan dunia menjadi tempat untuk bersenang-senang. Wajar akhirnya semua negara termasuk Indonesia menganggap alam (nature), budaya dan karya manusia sebagai destinasi wisata.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, sektor pariwisata adalah pilihan yang tersisa, setelah semua asset sumber daya alam dijarah asing dan aseng. Tak kuasa berbuat apa-apa, karena begitu kuatnya cengkeraman asing dan aseng. Pariwisata kini menjadi andalan devisa  negara atau menjadi ajang bisnis, berorientasi profit dan bebas nilai. Sehingga apa pun dihalalkan asal menguntungkan.

Berbeda dengan pariwisata dalam pengelolaan Islam. Dalam Islam pariwisata bukanlah ajang bisnis, pariwisata dikelola negara dengan tujuan dakwah dan propaganda. Menjadi sarana dakwah, karena manusia baik muslim maupun non muslim, biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada titik itulah, potensi yang diberikan Allah ini bisa digunakan untuk menumbuhkan keimanan kepada Dzat yang menciptakannya, bagi yang sebelumnya belum beriman. Sementara bagi yang sudah beriman, ini bisa digunakan untuk mengokohkan keimanannya. Itulah proses dakwah yang dilakukan dengan memanfaatkan obyek wisata. Sebagai sarana propaganda, jika obyek wisata itu berupa peninggalan sejarah peradaban Islam, maka hal itu akan semakin meyakinkan terhadap keagungan dan kemulyaan Islam, bagi yang belum atau kurang yakin.

Negara Islam tidak menjadikan pariwisata sebagai sumber pemasukan negara. karena negara pada prinsipnya sudah memiliki kas keuangan yang berlebih dari sektor pengelolaan harta milik umum seperti air, api (energi), padang rumput, barang tambang dalam jumlah yang sangat besar (emas, perak, dan seterusnya), jalan, sungai, laut, hutan dan sejenisnya. Serta pengelolaan atas harta milik negara seperti gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah dan sejenisnya. Selain itu juga negara mempunyai sumber lain dari pintu zakat, jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah dan dharibah. (Sistem Keuangan Negara Khilafah)

Melenyapkan cengkeraman asing dari negara muslim seperti Indonesia tidak akan mudah, selama sistem yang diadopsi adalah sistem sekuler kapitalis. Saatnya umat sadar bahwa sistem sekuler kapitalis ini merusak dan harus segera diganti dengan sistem Islam. Karena hanya dengan itu, yang akan menjadikan sebuah bangsa mandiri, mulia dan tangguh, lepas dari cengkeraman asing.

Wallahu a’lam bish shawab