Natuna: Pelanggaran Kedaulatan dan Perampokan SDA

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

Kisruh pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh China atas Indonesia hingga saat ini masih menuai polemik.

Pasalnya, protes yang dilayangkan oleh pemerintah Indonesia terhadap masuknya kapal coast guard dan kapal-kapal nelayan China ke Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna Utara tidak ditanggapi dengan serius oleh negeri tirai bambu tersebut. (Rmol.id, 02/01/20)

Protes yang tak di indahkan oleh negeri tirai bambu tersebut memang tak lain dikarenakan utang Indonesia terhadap China. Namun, titik persoalan bukan hanya sekedar pelanggaran kedaulatan semata. Tetapi dalam hal ini negeri tirai bambu tersebut telah melakukan perampokan SDA.

Diperkirakan Kepulauan Natuna menyimpan beragam Sumber Daya Alam seperti beragam potensi hasil laut, mulai dari cumi-cumi, lobster, kepiting, hingga rajungan. Wajar bila banyak kapal asing yang masuk di wilayah teritorial Indonesia tersebut termaksud China.

Tak hanya porensi laut saja, berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan sebesar 46 tcf. (Tirtoid.co, 09/01/20)

Atas dasar inilah mengapa China sebegitu berhasratnya ingin menguasai kepulauan Natuna, serta mengkalim sepihak  perairan Natuna masuk wilayahnya dengan dasar yang digunakan adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line/ NDL). NDL merupakan garis yang dibuat sepihak oleh Cina tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). inilah yang menjadi pokok permasalahan kisruh antara China dan Indonesia.

Namun siapa sangka dibalik ancaman atas kedaulatan dan perampokan SDA di wilayah Indonesia, justru pemerintah lebih ‘bermanis muka’ bahkan seperti macan yang kehilangan taringnya. Ketidak tegasan pemerintah terhadap negeri tirai bambu tersebut banyak pihak berspekulasi bahwa ini bagian dari utang Indonesia terhadap China.

Salah satu cara China memperbesar pengaruhny adalah dengan memberi utang kepada negara-negara lain. Mengutip Statista, beberapa negara dengan utang yang tinggi terhadap China berada di Afrika seperti Djibouti, Niger, sampai Republik Kongo. (CNBC.com, 12/11/19)

Bagaimana dengan Indonesia?

China memperbesar pengaruhnya melalui utang di beberapa negara  memunculkan istilah debt-trap diplomacy. China menggunakan utang sebagai sarana diplomasi, dan kemudian malah memunculkan jebakan bagi negara-negara debitur.

Mengutip Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) terbitan Bank Indonesia (BI), total utang dalam mata uang yuan China per akhir Juli setara dengan US$ 1,83 miliar. Masih jauh di bawah mata uang lain seperti dolar AS atau yen Jepang.

China memainkan peran sebagai negara sosialisme menuju kapitalisme tentu ingin memberikan pengaruh besar terhadap negara-negara yang memiliki potensi SDA yang luas. Hal ini pula tak lain merupakan perang ideologi. Disamping itu, dengan jebakan utangnya China berpotensi mengusai negara yang hendak dijadikan jajahanya.

Lantas sikap apa yang seharusnya di ambil oleh pemerintah Indonesia?

Didalam islam sendiri mengharamkan adanya penguasaan SDA secara individu, asing maupun swasta apalagi SDA tersebut merupakan milik negara. Terlebih lagi menjalin kerjasama dengan negara yang terang-terangan memusuhi umat islam. Maka sikap tegas yang seharusnya di ambil oleh pemerintah Indonesia ialah, pertama, mengambil alih paksa SDA yang diklaim sepihak oleh China. Kedua, memutuskan hubungan kerjasama dengan China selaku negara sosialis komunis.

Menurut Imam Syafi’i dalam Kitab Al Umm juz 4 shahifah 244, “orang kafir harbi tidak boleh masuk ke negeri-negeri berpenduduk Muslim dalam status baik dia sebagai pengusaha atau yang lainnya”.

Di dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah disebutkan bahwa tajassus atau spionase (memata-matai) orang-orang Kafir Harbi Fi’lan wajib dilakukan oleh Negara. Hal ini terkait dengan kedudukannya sebagai warga Negara yang memerangi kaum muslimin, sehingga perlakuan tajassus terhadap kafir harbi ini penting untuk dilakukan, bukan bermanis muka menyambut kedatangannya yang jelas – jelas telah mengakibatkan kesengsaraan bagi umat Islam.

China sebagai negara Kafir Muharriban Fi’lan, hukum yang harus diberlakukan terhadapnya adalah hukum perang (harb), bukan hukum damai (silm), apalagi hubungan kerjasama, karena itu hubungan dengan mereka seharusnya bukan hubungan damai (‘alaqat as-silm), tetapi hubungan perang (‘alaqat al-harb). Jangankan terhadap mereka yang jelas-jelas berperang dengan kaum Muslim, terhadap kaum Kafir secara umum pun, para para fuqaha’ mazhab Sunni maupun Syii di masa lalu, telah menyatakan, bahwa hukum asal hubungan dengan mereka adalah hubungan perang.

Jadi, pelanggaran kedaulatan dan perampokan SDA yang dilakukan oleh China seharusnya disikapi dengan menampakkan identitas keislaman kita, yaitu tidak menerima kedatangannya apalagi disambut baik dan diberikan keleluasaan untuk menjarah SDA negeri ini. Karena sejatinya, hubungan kerja sama yang dimaksud sebenarnya adalah upaya penancapan hegemoni di negeri ini.

Wallahu A’lam Bishshowab