Negara Mati Rasa, Rakyat Kian Tercekik dalam Kungkungan Neoliberalisme

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

Mengawali tahun baru 2020 kejutan demi kejutan di berikan oleh pemerintah terhadap masyarakat. Dimulai dari kenaikan listrik, BBM, BPJS dan layanan publik lainnya. Kini masyarkat kembali dibuat tak tidur nyenyak atas kebijakan pemerintah yang hendak menghapus subsidi gas LPG 3 kg.

Iklan KPU Sultra

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah akan memberi bantuan dana tunai kepada warga miskin. Hal ini dilakukan sebagai ganti dari kebijakan pencabutan subsidi elpiji 3 kilogram (kg) mulai pertengahan 2020. ( 17/01/20)

Dikutip dari Merdeka.com, Jumat 17 Januari 2020, salah satu alasan pencabutan itu karena subsidi akan dialokasikan ke kalangan yang lebih berhak atau masyarakat yang kurang mampu sehingga dana subsidi akan dialihkan untuk pembangunan.

Selama pemerintahan jokowi setidaknya ada beberapa subsidi energi yang dicabut selain gas LPG 3 kg. Yakni, di awal periode kepemimpinan Joko Widodo sebagai presiden, Jokowi mencabut subsidi BBM bersubsidi. Jokowi menghapus subsidi BBM, khususnya premium.

Kemudian pada Januari 2020, pemerintah juga mencabut subsidi listrik 900 VA rumah tangga mampu (RTM). Tarif listrik golongan pelanggan itu akan disesuaikan dengan golongan pelanggan nonsubsidi.

Selang 5 tahun kepempinan rezim Jokowi, kebijakan-kebijakan yang kerap dikeluarkan tak terlihat sama sekali mensejahterakan rakyat. Bahkan dalam hal ini rezim Jokowi sendiri lebih pro kepada pihak korporasi. Memakmurkan kepentingan pihak kapitalis dengan mengorbankan nasib rakyat. Alih-alih subsidi digemborkan sebagai jurus pemerintah untuk mengatasi permasalahan rakyat. Namun pada faktanya hal tersebut bukanlah wujud tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan melayani kepentingan rakyat.

Komite Perjuangan Rakyat yang juga Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) Santoso Widodo mengatakan “Kebijakan pencabutan subsidi ini jelas sangat bertolak belakang dengan kampanyenya Jokowi menuju RI 1 dengan menggadang-gadangkan konsep TRISAKTI yang berarti Berdikari secara ekonomi, Berdaulat secara politik dan Berkepribadian secara budaya. Namun, sangat mustahil berdikari secara ekonomi apabila sistem ekonominya diletakan pada kekuatan modal dan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, tanpa membangun industrialisasi nasional yang kuat dari hulu ke hilir yang kemudian mampu menopang perekonomian nasional. “Selama sistem ekonominya masih berorientasikan kapitalisme maka politik,sosial dan budayanya pun akan berorientasi kapitalistik pula. Dengan kata lain Rezim Jokowi adalah antek Neolib dan rezim pembual sekaligus rezim yang mendistorsi nilai-nilai sejarah nasional”. (Beritamoneter.com, 11/12/14)

pencabutan subsidi disektor publik merupakan bentuk keberpihakan penguasa terhadap mekanisme pasar yang hanya menguntungkan kaum pemodal. Namun dampak dari kebijakan ini sangat negative karena program ini secara sistematik pemiskinan terhadap rakyat. Padahal subsidi energi merupakan hak dasar rakyat tanpa harus membeda-bedakan golongan dan struktur sosialnya. Sektor energi migas dan lainnya berhak dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dan bukan semata-mata menjadi barang komoditas yang hanya bisa diperjual-belikan dan dimiliki oleh segelintir orang saja.

Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa pencabutan subsidi sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, sebab subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sikap neoliberalisme pada dasarnya adalah anti-subsidi. Ini karena menurut neoliberalisme, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi. (http://id.wikipedia.org).

Lantas bagaiman mekanisme islam dalam mengatasi hal tersebut?

Islam berbeda dengan Kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004: 119).

Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).

Kapitalisme dengan neoliberalisme telah terbukti menyengsarakan rakyat. Dengan melalui kebijakan rezim neolib yang pro asing bukti bahwa pemerintah sama sekali tidak memperdulikan nasib dan kesejateraan rakyatnya. Maka hadirnya islam sebagai sistem paripurna mengatur bagaimana pengelolaan yang menyangkut kebutuhan publik. Maka dalam hal ini pula seorang pemimpin haruslah adil, bijak dan amanah dalam memikul urusan umat.

Rasulullah saw. bersabda:

…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat. Dengan begitu akan terciptanya kondisi masyarakat yang makmur dan sejahtera. Semoga umat semakin sadar akan kondisi negeri saat ini untuk segera kembali kepenerapan Islam kaffah agar tidak selamanya terkungkung dalam jeratan neoliberalisme.

Wallahu A’lam Bishshowab