Oleh : Nelliya Azzahra (Pegiat Leterasi dan Novelis)
Aksi perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Dilansir oleh, Indopolitika.com. (31/1/2020). Telah memicu reaksi keras umat Islam. Bukan hanya kali ini, hal serupa juga pernah terjadi, pada Masjid Darussalam. Dilansir Oleh Suara.com. Masjid Darussalam di Desa Buniayu, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dirusak orang tak dikenal pada Kamis (21/3/2019).
Indonesia sebagai mayoritas muslim memungkinkan untuk memiliki tempat ibadah yang jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Meskipun yang dirusak hanya satu, lantas itu tidak harus dipermasalahkan seperti pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi, seperti yang dilansir oleh, RMOL.ID.
“Sebetulnya kasus yang ada, kita bandingkan lah ya, rumah ibadah di Indonesia ada berapa juta sih? Kalau ada kasus 1-2 itu kan sangat kecil,” kata Fachrul di Kota Bogor, Kamis (30/1/2020).
Pernyataan ini dinilai tidak tepat. Di sini masalahnya bukan tentang sedikit banyak jumlah pengrusakan yang dilakukan oleh minoritas atas tempat ibadah umat Islam, melainkan apa yang mereka lakukan telah mengusik kerukunan antar umat beragama. Bukankah toleransi begitu sering digaungkan serta mayoritas diberi kebebasan untuk membangun tempat ibadah. Lantas, kemana sikap toleransi itu? kenyataannya, tindak intoleran masih kerap terjadi.
Berkaca dari beberapa kejadian atas pengrusakan tempat ibadah umat Islam menunjukkan bahwa kerukunan dalam sistem demokrasi hanyalah ilusi.
Pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku minoritas, justru ini membuat hal serupa berulang, dan potensial memunculkan tirani minoritas termasuk dalam kerukunan beragama. Seharusnya hal ini ditindak tegas dengan memberikan hukuman yang bisa membuat para pelaku jera sehingga tidak akan mengulang perbuatan yang sama di masa mendatang. Namun, yang terjadi tidak demikian, perbuatan mereka dianggap biasa dan harap untuk dimaklumi. Hasilnya bisa kita lihat dengan semakin masif pengrusakan tempat ibadah umat Islam hingga hari ini. Bukti gagal sistem sekuler-demokrasi mewujudkan kerukunan.
kerukunan hidup antar umat beragama merupakan sesuatu yang harus diperhatikan bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak bisa dianggap sepele ketika muncul konflik, yang semata-mata bukan karena masyarakat tidak mengetahui soal toleransi. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri.
Maka sungguh, hubungan antar pemeluk agama membutuhkan sistem pengaturan yang handal.
Islam dengan fikroh dan thoriqoh (ide, peraturan dan tata cara pelaksanaannya) telah memberikan pengaturan yang jelas tentang masalah hubungan antar pemeluk agama.
Keberagaman agama itu tetap ada. Allah Swt. berfirman”
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (TQS. Al Baqarah [2]: 256)
Ayat ini menjelaskan tidak ada paksaan untuk seseorang memeluk agama Islam.
Muslim di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. sebagai kepala negara yang berpusat di Madinah telah membuktikan mampu mewujudkan kerukunan yang bertahan hingga 13 abad.
Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam sebuah negara. Dalam hukum Islam, warga negara daulah Islam yang nonmuslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka. Sebagai warga negara daulah, mereka berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Dalam kaitan dengan masalah akidah, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Namun dalam masalah ekonomi, politik, dan sanksi, maka kaum nonmuslim (Kafir dzimmi) wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik.
Begitulah Islam sebagai agama sempurna dan paripurna mengatur kerukunan antar umat beragama. Aturan yang diterapkan membawa kemaslahatan serta rahmatan lila’lamiin.
Wallahu a’lam bishshawab.