Oleh : Yeni Marlina A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Sosial)
Kemiskinan masih menjadi sorotan yang butuh perhatian serius. Karna kemiskinan secara horizontal identik dengan tingkat kesejahteraan. Ukurannya adalah nilai ekonomis secara kemampuan finansial untuk bisa memenuhi kebutuhan setiap warga negara atau rakyat.
Penetapan Standar Miskin dan Kaya ala Kapitalis
Sebagaimana yang dirilis oleh Riset Bank Dunia dalam laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada akhir pekan lalu (30/1). Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin.
Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk. Rata-rata pertumbuhan ekonomi diprediksi 5,6% per tahun selama 50 tahun ke depan. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya diperkirakan tumbuh enam kali lipat menjadi hampir US$ 4 ribu.
Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Wallhasil, mereka rentan kembali miskin.
Karena belum mencapai keamanan ekonomi dan gaya hidup kelas menengah.
Termasuk 641 Ribu dari 12,6 juta warga Banten masih miskin, Tersebar di 8 Wilayah
Atau sebesar 4,94 persen. Cukup menjadi tantangan besar bagi pemerintah Propinsi Banten. Masih ada warga yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekalipun ada penurunan dari tahun sebelumnya. Seperti dilaporkan IDN Times 16 Januari 2020 lalu.
Angka-angka tersebut jika dikalkulasi kepada tingkat kesejahteraan, masih jauh dari standar hidup layak. Bahkan kondisi riil dilapang bisa jadi melebihi angka tersebut. Akuratisasi data-data sangat tergantung pada metode perhitungan yang digunakan. Metode BPS (Badan Pusat Statistik) yang berpatokan kepada Bank Dunia dan Garis Kemiskinan Nasional (GKN) terhadap kesetaraan daya beli per dollar AS.
Perhitungan Bank Dunia untuk menentukan garis kemiskinan sebesar Rp 401.220 per kapita perbulan.
Angka itu didapatkan dengan menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dollar AS dengan menggunakan kesetaraan daya beli per hari, terhadap kebutuhan barang dan jasa.
Adapun batasan kemiskinan internasional yang digunakan oleh Bank Dunia yakni kesetaraan daya beli (purchasing power parity/PPP) sebesar 1,9 dollar AS sebagai batas extreme poverty alias sangat miskin.
Semetara perhitungan Garis Kemiskinan Nasional (GKN) menetapkan di tahun 2018, GKN sebesar Rp 401.220 perkapita per bulan atau setara 2,50 dollar AS PPP per hari.
Selain menggunakan perhitungan BPS, tingkat kemiskinan dihitung menggunakan metode BKKBN, yang distandarkan kepada tingkat kesejahteraan keluarga.
Hanya saja apapun metode yang digunakan, kenyataannya rakyat miskin tetap ada. Sekalipun dilakukan langkah-langkah untuk mengatasi. Namun hanya bisa mengurangi sedikit presentase, belum pernah sampai mengentaskan kemiskinan secara total.
Sementara, data kekayaan di seluruh dunia baru saja dirilis oleh Capgemini dalam World Wealth Report 2019. Dari data tersebut, data orang kaya di Indonesia ternyata menunjukkan penambahan jumlah. Para orang kaya yang dihitung disebut high-net-worth-individual (HNWI) atau individual dengan kekayaan tinggi. Indonesia memiliki 129 ribu orang HNWI pada tahun 2018. Bahkan terbanyak di Asia Tenggara.
Para orang terkaya atau HNWI versi World Wealth Report adalah mereka yang memiliki kekayaan di atas US$1 juta atau Rp14,1 miliar. Yang dihitung adalah harta yang bisa diinvestasikan (investable asset), seperti seperti uang, tabungan, dan saham.(wartaekonomi.or.id 16 12/07/2019)
Dari perbandingan tingkat rakyat miskin dan kaya, nampak jelas ketimpangan yang sangat jauh. Realita ini membuktikan ketidakmampuan sistem yang digunakan untuk mengatur perekonomian dalam mengentaskan kemiskinan. Sementara yang kaya bertambah kaya. Inilah fakta sistem kapitalis, telah gagal dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Hingga saat ini masih diterapkan selalu memberi peluang pada para kapital (pemilik modal) untuk bertambah kaya. Sementara rakyat miskin semakin jauh dari sekedar memenuhi standar hidup layak. Dan negara tidak punya kemampuan untuk menghilangkan kemiskinan. Maka sebuah ilusi berharap pada negara yang menerapkan sistem kapitalis bisa menghilangkan kemiskinan. Seperti yang terjadi saat ini hanya bisa sekedar menghitung-hitung angka penurunan bukan fakta riil di lapang.
Standar Miskin dan Kaya Perspektif Islam
Islam adalah agama yang sempurna, yang berbeda dengan sistem hidup yang lainnya. Karna Islam memiliki standar yang jelas yang bersumber dari hukum-hukum syari’at. Termasuk mengukur kemiskinan dengan ukuran yang bersifat objektif dan konsisten.
Menurut Islam, kemiskinan adalah keadaan apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok (asasiyah) secara sempurna. Islam menetapkan kebutuhan pokok mencakup makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Ketiga keperluan tersebut merupakan kebutuhan pokok bagi individu. Asalnya merupakan tanggung jawab suami atau bapak terhadap orang-orang yang ada dalam tanggungannya.
Ketidakcukupan dalam tiga kebutuhan pokok ini menjadikan seseorang tergolong dalam kategori miskin (orang yang membutuhkan). Dan wajib dipenuhi oleh pihak-pihak yang telah ditetapkan oleh syariat. Mulai dari keluarga, kerabat terdekat sampai negara jika mereka sama-sama tidak mampu.
Sementara bagi orang-orang yang mampu memenuhi kebutuhan pokok secara sempurna bahkan lebih, sehingga bisa memenuhi kebutuhan tambahan (kamaliyah) Islam mengkategorikan sebagai orang kaya.
Demikianlah Islam menetapkan standar yang terkategori rakyat miskin dan kaya. Dan penilaian ini sama untuk setiap tempat. Walaupun yang membedakan hanya dari sisi taraf hidup dimana masyarakat tersebut tinggal.
Sangat berbeda dengan sistem kapitalis yang menetapkan standar kemiskinan dari kemampuan memperoleh barang dan jasa. Akan di temui standar yang berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lainnya.
Islam berupaya untuk menghilangkan angka kemiskinan, bukan hanya sekedar mengurangi seperti yang terjadi pada sistem Kapitalis. Karna kemiskinan identik dengan pemenuhan kebutuhan pokok. Wajib hukumnya untuk dipenuhi. Maka Islam memiliki mekanisme untuk mengatasinya.
Kondisi kemiskinan disebabkan oleh tiga faktor utama : Pertama, Kemiskinan Alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut dan lain-lain. Kedua, Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya SDM akibat kultur masyarakat; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan Negara untuk mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan struktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai Negara dewasa ini termasuk di Indonesia. Tidak hanya di Negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.
Kemiskinan struktural merupakan konsekuensi logis penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang rusak baik secara paradigma maupun konsep derivatif atau turunan dalam kebijakannya.
Secara paradigma kesalahan mendasar dari sistem ekonomi kapitalis adalah ketika menjadikan kelangkaan (scarcity) barang dan jasa sebagai problem ekonomi dan menyerahkan produksi, konsumsi dan distribusi kepada mekanismme pasar dengan peran Negara yang minimalis. Sementara dalam konsep derivatifnya ekonomi kapitalis memunculkan adanya sektor non riil dalam perekonomian seperti perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata) yang menjadi sumber utama pemicu krisis ekonomi dan moneter serta ketimpangan ekonomi ditengah-tengah masyarakat. Karena menyebabkan sistem ekonomi riil tidak bergerak dan kekayaan hanya bertumpu pada kelompok kecil manusia(para kapital;pemilik modal besar).
Dalam aspek ekonomi, Islam tidak fokus pada ilmu-ilmu ekonomi. Tapi fokus pada pelaksanaan sistem ekonomi dan politik ekonomi.
Sistem ekonomi Islam meliputi: Konsep kepemilikan, penggunaan hak milik; dan distribusi kekayaan diantara individu.
Dalam konsep kepemilikan, Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu milik pribadi, milik umum atau milik Negara. Keoemilikan pribadi(individu) adalah kekayaan, apa-apa yang dimiliki seseorang sebagai haknya melalui sebab-sebab yang mendatangkan kekayaan. Dalam batasan yang diperbolehkan syariat. Kepemilikan umum mencakup sumber alam seperti minyak bumi, tambang emas, perak, tembaga, dan lain-lain; benda-benda yang pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu seperti masjid, jaan raya, juga benda-benda vital yang dibutuhkan dan dicari-cari manusia dan jumlah kandungan (deposit) amat besar misalnya sumber mata air. Kepemilikan negara mencakup harta hak seluruh kaum muslimin dan pengaturan pengelolaannya oleh negara serta harta-harta tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai milik negara, seperti fai, kharaj, jizyah. Pemanfaatannya ditetapkan sesuai kebijakan daulah. Untuk kemaslahatan negara, bukan keoala negara secara pribadi.
Berdasarkan paradigma tersebut maka islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan menjamin kesejahteraan umat manusia.
Politik ekonomi Islam seperti yang dijelaskan Abdurahman al-Maliki (2001) dalam bukunya, As-Siyasah al Iqtisadiyah al Mutsla (Politik Ekonomi Ideal) adalah jaminan pemenuhan atas pemuasan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan)serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang mempunyai gaya hidup yang khas. Politik ekonomi islam diterapkan oleh Negara. Karna negara memiliki tanggung jawab pengurusan atas rakyatnya, melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu maupun untuk kebutuhan pokok masyarakat (kebutuhan publik; mencakup pendidikan, kesehatan, keamanan dan lemenuhan fasilitas-fasilitas umum). Semua jaminan tersebut diatur oleh kepala negara (seorang Khalifah), yang memiliki kewenangan dalam mengurus rakyat yang ada dalam tanggungannya.
Mekanisme Islam Mengentaskan Kemiskinan
Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam dengan strategi berikut:
1. Memerintahkan setiap kepala rumah keluarga untuk bekerja.
Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadits yang telah memberi dorongan dalam mencari nafkah, diantaranya:
“…Maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS al-jumu’ah: 10)
Hadits yang memotivasi seorang muslim untuk bekerja, diantaranya:
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni”(HR. Ahmad)
2. Negara wajib menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar bisa bekerja dan berusaha.
Rasulullah SAW pernah memberi dua dirham kepada seseorang dan bersabda:
“Makanlah dengan dengan satu dirham dan sisanya belikan kapak, lalu gunakanlah iia untuk bekerja ”.
3. Islam mewajibkan kepada kerabat dan mahram yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
“Kewajiban ayah memberi makandan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani, menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian… ” (QS Al-baqarah: 233)
4. Kewajiban Negara (Baitul Maal / kas negara)untuk memenuhi jika tidak mampu bekerja.
Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya bagi yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki ahli waris baik dananya berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’I, maupun harta lain yang ada di Baitul Maal.
Keberhasilan Negara Khilafah dalam mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, bukan pada tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat direalisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup dibawah naungan Khilafah dan menerapkan aturan Islam secara Kaffah.
Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata bagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan maka cukupkanlah,” selanjutnya beliau berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulang kali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus unta.” Beliau menerapkan Politik Ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer kepada rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah dibawah pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar Bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang dari Baitul Maal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada Gubernur tersebut, “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya maka bayarlah hutangnya ”. Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim? ” Ternyata, tidak seorangpun memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non Muslim, tanpa adanya perbedaan. Yang mereka hidup dalam wilayah negara Khilafah dan menjadi warga negara Khilafah (ahlu dzimmah).
Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid Bin Walid untuk memenuhi Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka orang yang lanjut usia yang sudah tidak bisa lagi bekerja atau yang ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskan dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia dan keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi tanggungan Baitul Maal Kaum Muslim”.
Bahkan Amerika Serikat yang pada saat ini banyak melakukan kejahatan terhadap kaum Muslimin, Negara dan Rakyatnya pernah dibantu oleh kekhilafahan Utsmani, hal ini dapat dilihat surat ucapan terima Kasih dari pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah kesana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18.
Penutup
Demikianlah gambaran mketimpangan standar miskin dan kaya dalam sistem Kapitalis. Beberapa gambaran jaminan Islam dalam mengentaskan kemiskinan. Sangat jauh berbeda dengan sistem Kapitalis yang semakin menyengsarakan rakyat. Islam telah membuktikan dimasa-masa penerapannya. Menunjukkan betapa Islam yang diterapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup, bukan hanya bagi umat muslim tapi juga bagi umat non muslim yang hidup dibawah naungan Islam. Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela, hidup tanpa Khilafah Islamiyah?