Katakan Cinta dengan Akad, Bukan Cokelat

Ummu Zhafran

(Pegiat Opini, Komunitas Ibu Cinta Quran)

Iklan KPU Sultra

Sengaja membuat sesuatu lepas itu bukan berarti lemah.  Justru sebaliknya.  Kita sangat kuat untuk membiarkan sesuatu itu pergi.  Kita sangat kuat untuk meyakini bahwa besok lusa, jika ditakdirkan bertemu, ia pasti akan kembali. (Tere Liye)

Valentine Day yang diperingati kemarin menyisakan aura.  Meski telah berlalu namun muda-mudi  sejagat nyata maupun maya masih diramaikan dengan perayaannya.  Angka penjualan coklat, buket bunga hingga perhiasan ikut melonjak.  Nyaris semua pusat perbelanjaan semarak dengan aneka coklat yang terpajang.  Lengkap dengan diskon dan bonus kartu ucapan.  Ini valentinan atau lebaran?  Duh.

Data tahun lalu saja, hanya dalam waktu enam jam total penjualan beragam cokelat di sebuah Indomaret yang ada di dekat Halte Busway Kebon Pala mencapai Rp 500 ribu.  (tribunnews, 14/2/2020)

Apa kabar kini?  Tak jauh beda.  Hasil pengamatan   Tribun Manado di Alfamart dan Indomaret Kamis (13/2/2020) pagi, coklat nampak laku keras.  Uniknya, kondom pun ikut laku keras.  Adakah relasinya? Entah. 

Yang jelas hari valentine memang acap digelari hari Kasih Sayang.  Walau status halal atau haram bagi orang yang disayangi kerap tak  masuk hitungan.  

Mengintip Sejarah Valentin

 Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari).  Pada hari itu, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis terkena undian harus bersedia jadi pasangan.  Semata untuk senang-senang menjalin hubungan tanpa ikatan.

Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya diubah sebagai hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Menjelmalah  acara valentine jadi ritual agama Nashrani yang diubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya  St. Valentine  (The World Book Encyclopedia 1998).

Hukum Merayakan VDay

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Ainul Yaqin mengingatkan umat Islam, terutama kaum muda. Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2017 telah mengharamkan perayaan Valentine Day setiap 14 Februari. Berdasarkan fatwa tersebut, MUI mengimbau umat Islam agar tidak latah merayakan momentum yang  lazim disebut Hari Kasih Sayang itu.

Melansir dari laman visimuslim, Ainul mengatakan, sedikitnya tiga alasan mengapa MUI mengharamkan, 

Pertama, perayaan itu bukan termasuk tradisi Islam

Kedua, perayaan Valentine Day menjurus pada pergaulan bebas, seperti hubungan badan di luar nikah. Jika ikut-ikutan merayakan, sama saja dengan mendorong pergaulan bebas alias zina

Ketiga, tradisi dari luar itu berpotensi menimbulkan keburukan bagi masyarakat pada umumnya. (visimuslim.org, 13/2/2020)

Tegas dan gamblang tanggapan dari MUI namun mengapa masih banyak yang ngotot merayakan?

Lagi, hal tersebut bukti bahwa sekuler meraja di negeri ini.  Agama tak diperkenankan mengatur urusan kehidupan sehari-hari melainkan terbatas dalam perkara ibadah saja.  Sedang soal budaya, pergaulan, apalagi politik, dinilai tak perlu diatur dengan agama.  Termasuk mereka yang demam Valentin seolah lupa bahwa saat ajal menjelang, hanya agama yang bisa selamatkan dari siksa. Lambat laun kehidupan masyarakat berubah mengikuti gaya hidup liberal di Barat sana. Tak aneh jika perayaan Valentine  terus digeber, meski sudah terdapat fatwa  yang mengharamkannya. 

Islam, Atasi Resah dengan Khitbah

Menyukai lawan jenis tentu hal yang fitrah.  Allah karuniakan agar manusia tak punah.  Penampakannya, bila hati sudah kasmaran pasti timbul resah.  Maka Islam memberi solusi dengan khitbah untuk menikah.  Dengan akad yang terucap bukan coklat meski berlimpah.

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. An-Nur: 32)

Malangnya, cinta dan kasih sayang kini seperti kehilangan makna.  Alih-alih disalurkan dengan menikah, yang ada malah bebas tak terkendali.  Hari kasih sayang sedunia pun tak kuasa jadi hari maksiat sedunia dengan -maaf- aktivitas zina di mana-mana.

Parahnya lagi, remaja bukanlah satu-satunya pihak yang bisa disalahkan.  Keluarga, sekolah dan masyarakat harus ikut bertanggungjawab.  Kurangnya kontrol dan lemahnya pengawasan mereka turut andil menyumbang masalah.  Lebih dari itu, kebijakan negara pun terlihat tak berpihak.  Termasuk ketika tiada sangsi jatuh sepanjang zina dilakukan suka sama suka serta penjualan kondom yang  bisa diakses secara luas.

Ibarat virus, wajar jika gaul bebas semakin merajalela melibas siapa saja yang lemah iman dalam dadanya.  Tak hanya yang berlawanan jenis, sejenis pun ada.  Pengaruhnya bahkan bisa lebih berbahaya dibanding Corona.  Rapuhnya generasi yang tampak dari kian banyaknya kriminalitas terkait urusan cinta serta kepunahan jenis manusia tak pelak siap jadi momok di masa depan. 

Alhasil  mutlak butuh upaya serius dan sungguh-sungguh dari seluruh pihak yang terkait.  Agar persoalan terselesaikan tuntas dan tidak menimbulkan masalah baru.  Mulai dari pembinaan pada remaja dengan memperbanyak pengkajian Islam, meningkatkan kontrol dan kepedulian di tengah masyarakat hingga adopsi syariah kaffah oleh negara.

Lahirnya sosok- sosok muda nan tangguh seperti Thariq bin Ziyad, Muhammad Al Fatih dan yang lainnya dengan demikian bukan lagi mimpi di siang bolong.  Generasi taat, cerdas, cermat memanfaatkan waktu, serta peduli umat niscaya tumbuh  menghiasi peradaban bak kembang yang gemilang.  Wallahu a’lam.