Khilafah itu Ajaran Islam, Tidak Tertolak dan Tidak Layak Ditolak

oleh Ainul Mizan (Pemerhati Politik)

Wapres, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa ajaran Khilafah di Indonesia itu tidak ditolak. Akan tetapi tertolak. Hal itu disampaikannya dalam workshop nasional PPP, Sabtu 15 Februari 2020 (www.moeslimchoice.com, 15 Februari 2020).

Iklan KPU Sultra

Lebih lanjut Wapres menjelaskan, Khilafah itu tertolak dengan sendirinya karena menyalahi kesepakatan nasional. Menurutnya, yang islami tidak berarti Khilafah. Sistem pemerintahan yang lain saat ini diadopsi oleh negeri – negeri Islam.

Menilik pernyataan KH Ma’ruf Amin tersebut, sebenarnya dengan mengatakan Khilafah di Indonesia tertolak, maknanya juga mengajak rakyat untuk menolak Khilafah.

Padahal semua ajaran Islam tidak tertolak. Termasuk ajaran tentang Khilafah. Terdapat sebuah hadits yang menyatakan:

من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد.

“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang di dalamnya tidak ada urusan kami, maka perbuatan itu tertolak”.

Yang dimaksud dengan perkara kami (amruna) yakni ajaran Islam. Jadi setiap perbuatan yang tidak bersumber dari Islam, maka tertolak. Artinya perbuatan tersebut adalah bid’ah yang sesat.

Oleh karena itu, tidak dapat kita menyebut bahwa yang Islami tidak berarti Khilafah. Konsekwensinya, kita juga mengakui bahwa sistem pemerintahan seperti republik, parlementer, kerajaan, kekaisaran dan lainnya adalah islami.

Padahal untuk menyatakan Islami memerlukan adanya dalil dari Qur’an dan Hadits yang menunjukkannya. Sedangkan dalil yang secara eksplisit hanya menunjukkan sistem Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang islami.

Di samping itu, sistem pemerintahan selain Khilafah tidak bersumber dari sejarah Islam. Sedangkan sejarah Islam yang bisa dijadikan patokan hukum adalah sejarah Nabi dan para sahabatnya. Artinya sistem Khilafah itu fix ajaran Islam. Yang lain, tentunya bukan bagian dari ajaran Islam.

Apalagi tatkala berbicara sistem pemerintahan erat kaitannya dengan asas pemerintahan, posisi penguasa di depan hukum, undang – undangnya dan lainnya. Dalam konteks demikian, bahasan sistem pemerintahan termasuk ranah way of life. Bukan dalam konteks perkara duniawi yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi. Maka, konsekwensinya mengambil sistem pemerintahan selain islam, itu dengan sendirinya tertolak oleh hadits Nabi “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak bersumber dari urusan kami (Islam), maka perbuatan itu tertolak”.

Selanjutnya, adanya kesepakatan bangsa dengan UUD 1945, pancasila dan pengadopsian republik menjadi alibi ketertolakan Khilafah di Indonesia. Pertanyaannya, bukankah kemerdekaan Indonesia itu atas berkat rahmat Alloh Yang Maha Kuasa menjadi kesepakatan untuk tercantum dalam pembukaan UUD 1945? Wujud rasa syukur atas nikmat kemerdekaan dan tanah Indonesia yang kaya ini adalah dengan tidak berpaling dari aturan hidup Alloh Yang Maha Kuasa, yakni aturan Islam. Sedangkan Khilafah itu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menerapkan aturan hidup Islam yang paripurna.

Bukankah justeru sistem republik yang diadopsi negeri ini banyak memasung aturan Islam? Sementara, untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyat adalah dengan memberi ruang publik bagi aturan Islam untuk berkiprah. Baik dalam politik, pemerintahan, ekonomi, budaya, pendidikan, peradilan dan pertahanan keamanan. Bukankah sistem republik telah mengkerdilkan Islam hanya tersudut di pojok – pojok ruangan masjid dan mushola? Aturan Islam tidak bisa berperan di gedung dan istana pemerintahan.

Tentunya, rakyat negeri ini tidak ingin terus menerus dalam sebuah kondisi keterpurukan hidup. Sistem pemerintahan berbasis sekulerisme hanya melahirkan kerusakan alam dan kemanusiaan. Utang menumpuk, kasus mega korupsi, LGBT, dan seabrek persoalan lainnya; seharusnya menyadarkan bangsa ini agar kembali kepada tatanan kehidupan yang berasaskan Aqidah Islam, yakni dengan mengambil Khilafah yang akan menerapkan aturan hidup Islam.

Walhasil, respon seorang muslim termasuk bangsa muslim di negeri ini, di saat terdapat seruan untuk berhukum dengan aturan Alloh, termasuk seruan Khilafah, seharusnya mengucapkan “kami dengar dan kami patuh”, “ya, dengan segala hormat” dan yang semisalnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh al Imam an Nawawi asy Syafi’i di dalam kitab al Adzkaar bab

ما يقوله من دعي الى حكم اللّه تعالى

“Apa yang selayaknya diucapkan oleh orang yang diseru kepada hukum Alloh ta’alaa”.

Lebih lanjut dalam bab tersebut, Imam An Nawawi berpesan agar berhati – hati dari ucapan – ucapan yang tidak layak saat ada seruan kepada aturan Alloh. Seperti contohnya, “Apakah ada negara yang sudah mengadopsi Khilafah?”, “Khilafah itu tidak sesuai dengan kesepakatan bangsa”, “Khilafah itu sudah selesai dalam sejarah”, dan ucapan – ucapan lainnya yang senada. Di samping menjadi nilai dosa tersendiri, bahkan bisa menyebabkan kekufuran bila jawaban yang tidak layak tersebut diyakininya.

Jadi tidak layak bagi seorang muslim untuk melakukan penolakan terhadap sistem hidup Islam. Karena sejatinya yang ia tolak adalah sesuatu yang bisa mengantarkannya dan negerinya menuju kesejahteraan hidup.

#Penulis tinggal di Malang