Mengikat Kehalalan di Negeri Sejuta Muslim

Oleh: Shofi Ayunin Tyas (Aktivis Muslimah)

Jaminan konsumen untuk mendapatkan produk UMKM yang tersertifikasi menjadi salah satu hal yang diusulkan masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Menteri koperasi UMKM Teten Masduki di dalam wawancaranya mengungkapkan, “Itu berbagai usulan dari kami untuk Omnibus Law. Misalnya yang paling pokok untuk UMKM adalah sertifikat dari BPOM dan sertifikat halal. Karena itu yang sekarang memberatkan pelaku UMKM. Misalnya warung Padang. Sertifikat halalnya mesti satu per satu produk. Katakanlah dia punya 20 menu, satu menu biayanya Rp 10 juta. Satu restoran Padang untuk sertifikasi bisa Rp 80 juta. Ini kan menghambat,” ujar Teten”. (Kompas.com)

Dari pernyataan yang disampaikan oleh Teten Masduki selaku menteri koperasi UMKM bahwa sertifikasi halal suatu produk itu tidak harus dibebankan kepada UMKM akan tetapi pada perusahaan besar yang memproduksi bahan- bahan baku karena menurutnya itu adalah solusi agar tidak memberatkan.

Padahal untuk masalah kehalalan itu tidak melulu tentang kehalalan bendanya. Akan tetapi, bagaimana mendapatkan benda itu? Bagaimana pengolahan benda itu? Bahkan bagaimana benda itu dijual pun harus diperhatikan.

Misal : Penjual gorengan, bukan hanya bahan baku seperti pisang, tepung, minyak dsb saja yang harus dipastikan kehalalannya. Bagaimana pengolahan membuat gorengan, bagaimana mendapatkan bahan-bahan untuk gorengan dan masih banyak yang harus dipertimbangkan untuk menyebut makanan itu adalah makanan yang halal.

Akan tetapi, mendapatkan label halal itu terasa sulit. Banyak hal yang dapat menjadi penghambat mendapatkan sertifikat halal, diantaranya :

1. Mahalnya biaya untuk mendapatkan BPOM halal MUI.

Pasti berat bagi sebagian besar UMKM untuk mengajukan label halal untuk produknya, karena untuk mengajukannya pun dibutuhkan biaya yang besar.

 2. Susahnya mendapatkan laba.

Bagaimana bisa mendapatkan laba yang layak jika produsen membeli harga baku yang melambung tinggi, sedangkan harus menjualnya dengan harga normal seperti biasanya. Tak khayal banyak produsen yang menghalalkan segala cara untuk mengolah makanan dan tidak mementingkan konsep halal/haram.

3. Belum adanya kesadaran individu tentang halal/haram.

Banyak yang tidak faham atau tidak mau memahami tentang makanan halal dan haram. Yang penting enak saja untuk dinikmati.

 4. Tidak ada kontrol masyakat.

Masyarakat tidak mau tau atau ikut campur tangan dengan masyarakat yang lain. Yang ada dibenaknya yang terpenting tidak merugikan dirinya.

Lantas bagaimana bisa menghapuskan jaminan halal pada UKM hanya untuk alasan kemudahan itu sebagai solusi? Padahal masih banyak pertimbangan yang harus dipertimbangkan untuk makanan halal. Sedangkan islam sudah memberi solusi menyeluruh bagaimana suatu makanan bisa dikatakan sebagai makanan halal? Tak hanya itu, islam juga menyuruh kita makan makanan yang toyyib.

Kesadaran individu, kontrol masyarakat dan jaminan ekonomi bisa kita dapat ketika kita menerapkan aturan islam secara menyeluruh.

Waalahualambisshowab.