Diguyur Impor : Kebijakan Anyar, Petani Lokal Ambyar

Oleh : Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)

Sungguh ironis harga pangan terus melonjak di tahun ini, pemerintah pun semakin diguyur impor. Padahal sumberdaya alam pertanian sangat berlimpah di negeri ini, didukung pula jumlah sumberdaya manusia yang banyak serta lahan subur yang terhampar luas. Serta musim yang juga sangat mendukung. Misalnya saja impor beras, bawang, garam dan kini gula, sebelumnya 2 tahun terakhir Indonesia menjadi importir terbesar untuk gula. Sementara menurut NSEAS Study, hingga saat ini terdapat 29 komoditas pangan dan pertanian yang masih terus diimpor.

Iklan ARS

Dilansir dalam Kontan.Co.Id –  Jakarta. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengkhawatirkan produksi gula tahun ini berada di bawah 2 juta ton. Hal itu disebabkan sejumlah faktor, salah satunya musim hujan yang mundur. Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Soemitro Samadikoen mengatakan, selain faktor hujan yang mundur, adanya serangan hama tikus, hingga pengurangan pupuk subsidi juga turut menekan produksi gula nasional di 2020. Soemitro menerangkan, mundurnya musim hujan akan menyebabkan masa pertumbuhan tebu berkurang. Dia menjelaskan, biasanya musim hujan dimulai pada Oktober, namun kali ini, musim hujan dimulai pada akhir Desember.

“Pertumbuhan tebu ini mundur, dulu kan pertumbuhannya di bulan Oktober, lalu panen di Mei dan Juni. Nah dengan kemunduran ini, dipanen di Mei dan Juni, saya tidak yakin akan menghasilkan tebu dengan kualitas bagus,” ujar Soemitro kepada Kontan, Minggu (9/2).

Dilansir juga dalam Jakarta, CNBC Indonesia – Rencana pemerintah akan membuka impor gula raw sugar untuk keperluan gula konsumsi atau rumah tangga (non-industri) pada 2020 mendapatkan kritik. Impor gula diperkirakan tak akan mampu meredam harga gula yang saat ini terjadi, meski pemerintah menegaskan impor dilakukan karena secara pasokan dalam negeri masih terbatas.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono menjelaskan, kebutuhan konsumsi GKP di Indonesia mencapai 2,8 juta ton. Sedangkan Indonesia hanya mampu memproduksi 2,2-2,3 juta ton GKP. Artinya, ada kekurangan kebutuhan GKP di Indonesia 500-600 ribu ton. Pemerintah sudah sepakat akan membuka impor raw sugar sebesar 495.000 ton. Negara yang dijajaki adalah India.

“Saya lihat gula produk yang inelastis. Jadi artinya impor gula konsumsi dibuka belum tentu harga turun. Pertama karena struktur pasar oligopoli, kedua gula dari rafinasi (pabrik) bocor duluan,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada CNBC Indonesia, Selasa (18/2/2020)

Kapitalisme Akar Masalahnya

Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak pada rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga.Tentu masih terngiang di benak kita sikap instan pemerintah yang mengatasi kelangkaan bahan pangan melalui kebijakan impor, kasus impor 500 ribu ton beras tahun lalu yang dinilai tidak efektif dan dirasa aneh serta terburu-buru karena justru pada saat itu negeri ini menghadapi masa panen raya, padahal data dari Kementerian Pertanian mengklaim bahwa saat itu kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton.

Sejatinya, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak mafia yang bermain di sektor ini dan tidak pernah berpihak pada rakyat, bahkan berdampak pada semakin terpuruknya kesejahteraan rakyat terutama petani. Namun sayang, kebijakan pemerintah ini beberapa waktu lalu justru berlanjut  pada komoditas lainnya seperti bawang putih, garam untuk kebutuhan industri serta gula. Oleh karena itu, slogan swasembada pangan di negeri ini hanyalah jargon pencitraan belaka.

Problem kenaikan harga pangan yang  selalu berulang, adanya mafia pangan dan ketidaksinkronan antara kebijakan impor dengan data kementerian pertanian_seperti pada kasus impor beras tahun lalu_menunjukkan betapa carut marutnya tata kelola dan data pangan di negeri kita ini. Penyebabnya tidak lain adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme dimana pihak penyelenggara pemerintah terfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Padahal sumberdaya alam pertanian sangat berlimpah di negeri ini. Didukung pula jumlah sumberdaya manusia yang banyak serta lahan subur yang terhampar luas. Serta musim yang juga sangat mendukung. Semestinya dengan beragam potensi ini, Indonesia mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri tanpa tergantung pada impor. Apalagi anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan pertanian demi mewujudkan ketahanan dan kedaulatan panganpun tidak sedikit. Tapi, impor pangan justru semakin dahsyat.

Inilah buah pahit akibat sistem kehidupan sekuler. Khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah hadir hanya sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporat dan agenda hegemoni kafir penjajah. Akibatnya sangat fatal, korporasi penguasa hajat pangan dan pertanian dari produksi, distribusi hingga konsumsi.

Kebijakan impor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil rezim. Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi. Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas. Berbagai bentuk agreement perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia World Trade Organization (WTO). Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, dominasi AS dan Uni Eropa nampak dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO.

Masih tingginya domestic support negara maju dan kuatnya tekanan kepada negara berkembang untuk membuka pasar (market access) membuat negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi pertarungan yang asimetris dengan negara maju. Institusi tersebut telah memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasar mereka sebelum produsen lokal memiliki kapasitas untuk berkompetisi. Konsekuensinya kekuatan ekonomi yang timpang antarnegara maju dan negara-negara berkembang dan miskin yang tergabung dalam WTO didorong untuk beradu dalam ring pasar bebas.

Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara-negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.

Islam, Solusi Sistemik Masalah Pangan

Cukuplah firman Allah SWT sebagai pengingat bagi kita: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu..” (TQS Al Anfaal:24).

Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.

Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.

Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya.

Walhasil, satu-satunya jalan kesembuhan dari penyakit kronis impor pangan, hanyalah dengan perubahan mendasar dalam tata kelola pangan dan pertanian hari ini. Yakni, dengan hadirnya kembali kepemimpinan Islam yang menerapkan syariah secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwwah. Wallahu a’lam.