“Pajak Demi Kesehatan Rakyat, Benarkah?”

Oleh: Sherly Agustina, M.Ag

(Revowriter Waringin Kurung)

Iklan KPU Sultra

“Rencana pemberlakuan cukai pada minuman berpemanis kini tengah dalam upaya realisasi. Pada Rabu (19/9), dilansir dari Liputan6.com menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajukan usulan pengenaan cukai minuman berpemanis kepada Komisi XI DPR RI.” (Merdeka.com, 21/02/20).

Cukai  Minuman Pemanis Untuk Kesehatan?

Dilansir oleh Tirto.id, Menurut laman Sobat Diabet, pada 2017 lalu ada 10,6 juta warga Indonesia yang menderita diabetes, alias terbanyak keenam di seluruh dunia. Jika pertumbuhannya tak dihambat, WHO memprediksi Indonesia akan menduduki peringkat keempat penderita diabetes terbanyak pada 2030 nanti.  (Tirto.id, 24/02/20).

Berdasarkan data WHO di atas, pemerintah berinisiatif mengenakan cukai minuman manis. Kebijakan ini dlakukan oleh menteri keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Sri Mulyani juga berharap kebijakan ini akan menurunkan beban BPJS Kesehatan–yang saat ini masih terjebak dalam lingkaran setan defisit keuangan. Sejauh ini BPJS Kesehatan masih menanggung penyakit diabetes, sementara prevalensi diabetes mellitus di atas 15 tahun terus meningkat, dari 1,5 persen pada 2013 menjadi 2 persen.

Kementerian Keuangan pun memproyeksikan, produksi minuman berpemanis akan turun masing-masing sebesar 8,03% setelah dikenakan cukai. Teh kemasan diperkirakan produksinya menjadi 2,02 miliar liter, minuman berkarbonasi menjadi 687 juta liter, dan minuman lainnya sebesar 743 juta liter.

Namun Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) menolak rencana pemerintah mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis karena berpotensi menurunkan pendapatan masyarakat kecil dan menengah. Sekretaris Jenderal ASRIM Suroso Natakusuma mengatakan, lebih dari 60% distribusi minuman berpemanis dilakukan di pasar tradisonal. Distributor kecil dan menengah bisa menurun pendapatannya.

Selain berpotensi mengganggu distribusi dan produksi, pengenaan cukai juga akan menyebabkan kenaikan harga jual. Diprediksi harga minuman berpemanis akan naik 30-40% dari harga saat ini. Adapun, harga teh kemasan saat ini memiliki harga jual Rp 1.500/liter, minuman berkarbonasi Rp 2.500/liter, dan minuman lainnya Rp 2.500/liter.

Oleh karena itu pemerintah harus  berhati-hati dalam menerapkan kebijakan. Sebab, pengenaan cukai dinilai bukan menjadi solusi untuk menekan obesitas.  Proporsi minuman berpemanis terhadap kalori masyarakat hanya 6-7% kecil sekali. Asupan kalori paling banyak berasal dari nasi. Selain itu, penyebab obesitas lainnya masyarakat kurang berolahraga. Maka lebih baik pemerintah mendidik masyarakat  berperilaku hidup sehat untuk menekan obesitas. (Kata-kata.co.id, 24/02/20).

Kesehatan Dan Pajak Di Dalam Islam

Sebenarnya kebijakan cukai atau pajak minuman manis ini benarkah untuk kesehatan atau sumber pemasukan negara? Karena nyatanya dalam kapitalisme, kesehatan dan kesejahteraan bukan topik utama yang diperhatikan melainkan para pemilik modal yang menguasai dan bagaimana pemerintah mempunyai pemasukan dari manapun tak peduli rakyat terjepit kesakitan atau tidak.

Jika kebijakan ini diberlakukan, maka harga jual akan meningkat, kemungkinan daya beli masyarakat menurun, pendapatan menurun. Lalu, bagaimanan perusahaan tersebut bisa membayar gaji para pegawainya.  Maka dikhawatirkan terjadi PHK dan pengangguran, lalu bisakah diambil cukai jika seperti ini?

Dalam Islam, kesehatan menjadi tanggung jawab negara karena bagian dari kebutuhan pokok rakyat selain sandang, pangan, papan dan keamanan. Tidak ada hubungannya antara cukai makanan dan minuman dengan kesehatan. Daulah akan memperhatikan kesehatan warganya dengan berbagai cara, pola hidup, tempat tinggal, rumah sakit yang berkualitas, dan sebagainya.

Adapun pemasukan keuangan daulah khilafah yaitu:

1. Pengelolaan atas Kepemilikan Umum

Fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum; jika tidak ada dalam suatu masyarakat atau suatu komunitas maka akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan. Kemungkinan kategori ini yang disebut oleh Said Hawwa sebagai hak-hak umum Negara Islam. Sebagai Contoh adalah lahan gembala, air, padang rumput, api (energi), dan lain-lain.

Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang-barang ini milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Said Hawwa menyebutnya sebagai hasil-hasil kekayaan milik negara baik dari permukaan ataupun perut bumi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, batubara dan pasir. Benda-benda yang karena sifat pembentukannya menyebabkan individu terhalang untuk memilikinya. Benda-benda ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.

2. Harta Milik Negara dan BUMN.

Jenis pendapatan kedua adalah berasal dari pengoperasian harta milik negara dan badan usaha Negara (BUMN-red). Harta milik negara dapat kita contohkan dengan gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, serta aktiva tetap lainnya. Harta milik Negara bukanlah milik individu dan bukan pula milik umum. BUMN bisa merupakan harta milik umum kalau produk/bahan bakunya merupakan milik umum PERTAMINA; bisa juga badan usaha yang produknya bukan merupakan milik umum seperti PT Kereta Api.

3. Ghanimah, Kharaj, Fai, Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang serta Beacukai

Kelima jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah sebagai dampak dari politik luar negeri negara muslim. Ghanimah merupakan harta rampasan perang yang diambil dengan cara kekerasan. Sedangkan Fai diambil secara sukarela yaitu diambil tanpa melalui pengerahan tentara dan persenjataan perang. Kharaj (pajak) serupa dengan pajak hasil bumi, dikenakan pada tanah yang ditaklukan lalu penduduknya merelakan atau membuat kesepakatan damai dengan Khalifah. Jizyah (upeti) dikenakan kepada ahlul dzimmah yang mengelola tanah-tanah yang ditaklukan kaum muslimin atau hidup dibawah kekuasaan kaum muslimin akan tetapi mereka tidak ingin masuk Islam. Beacukai muncul sebagai politik perdangan dengan negara lain atas lalu lintas barang dagangan.

4. Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah, dan Hadiah. Ini adalah mekanisme distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya non-ekonomi.

5. Pendapatan Insidentil (Temporal)

Pendapatan insidentil antara lain adalah pajak, harta ilegal para penguasa dan pejabat, serta harta yang didapatkan sebagai sanksi-sanksi financial atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap aturan negara. Termasuk dalam kelompok ini adalah harta peninggalan yang tidak ada ahli warisnya dan yang tidak ada pemiliknya serta penyitaan yang diperbolehkan. Pajak dan pengaturannya adalah sesuatu yang diperbolehkan dengan syarat: (1) apabila sumber-sumber pendapatan yang lain tidak mampu mencukupi kebutuhan umat dan (2) hendaknya pembelanjaan negara tidak pada jalan-jalan yang tidak diperbolehkan, (3) pajak berlaku tidak selamanya namun berlaku karena adanya kebutuhan. Beberapa pendapatan insidentil biasanya tidak bisa diprediksi secara jelas dalam hal jumlah.

Jelas di dalam Islam pajak adalah alternatif terakhir, berbeda dengan kapitalisme pajak menjadi sumber pendapatan negara yang utama. Sejatinya, hanya aturan dari Allah Swt saja yang menjamin kesehatan, keamanan dan kesejahteraan warga negaranya. Tidakkah ingin kembali pada aturanNya?.

Allahu A’alm Bu Ash Shawab.