Sejatinya, Ketahanan Keluarga Terwujud dengan Penerapan Syariat Islam

Oleh : Murni Sari S.A.B MM (Praktisi Pendidikan Baubau )

Tidak bisa dipungkiri  lagi bahwa sudah terlalu banyak pelanggaran norma, moral, dan perbuatan bebas yang menyimpang yang telah merusak keluarga dan generasi muda. Oleh karena hal itu kesadaran untuk menyelesaikan duduk persoalan itu melalui perancangan dan pemberlakuan undang-undang.

Iklan KPU Sultra

Rancangan Undang-Undang (RUU) ketahanan keluarga baru-baru ini menjadi sorotan dan perbincangan terpopuler. Pasalnya pro-kontra terjadi antara pihak  pengusul dan  pihak  penolaknya. Pengusul RUU ini bermaksud untuk memperbaiki kualitas keluarga dan menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa keluarga. Mereka juga mengatakan agar jangan skeptis karena RUU ini dapat memproteksi keutuhan keluarga. Sementara pihak penolak menyorot (RUU) Ketahanan keluarga  sebagai sebuah draf yang sangat menyentuh ranah privat dan terlalu mengatur kawasan pribadi manusia bahkan mengklaim bahwa ada upaya memasukkan ideologi agama tertentu pada RUU ini.

Poin-poin  yang menjadi kontroversial terhadap pasal dari RUU ini diantaranya adalah pasal 33 yang mewajibkan anak laki-laki perempuan pisah kamar begitu pula dengan kamar kedua orang tua. Pasal 25 lama cuti melahirkan dan menyusui bagi pekerja perempuan selama 6 bulan. Pasal 31 larangan jual-beli dan donor sperma atau ovum dan surogasi (penyewaan rahim). Pasal 85 yang mengatur soal aktivitas seksual. Dalam pasal itu, ada pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokhisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM), pasal mengenai LGBT dan kehidupan rumah tangga berpotensi melanggar HAM.

Poin-poin  diatas  dinilai terlalu melibatkan agama, karena bertolak belakang dengan hasil kesepakatan negara agar tidak melibatkan agama dalam kehidupan publik selain itu juga  bertentangan dengan ide universal HAM atau kebebasan, dan kesetaraan gender.

Bagaimana menanggapi persoalan ini?

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, tidak akan bisa jika harus memegang nilai sekularisme dan memisahkan agama dengan kehidupan sehari-hari. RUU ketahanan keluarga seharusnya menjadi solusi dan niat baik dari para pengusungnya dalam menyelesaikan permasalahan di masayarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi pada keadaan riil niat baik itu tidak selalu disambut bagaimana semestinya. Perbedaan persepsi dan pendapat menghasilkan sikap yang berbeda sehingga memicu munculnya perdebatan diantara mereka hingga akhirnya saling menyalakan. Pada akhirnya perbaikan yang diusulakn tidak akan tercapai malah pada kondisi menambah kondisi buruk dari sebelumnya.

Dari pasal-pasal yang menjadi topik perdebatan di atas, dapat disimpulkan bahwa pro-kontra ini lahir dari perbedaan perspektif yang tajam tentang peran negara dan agama dalam menyelesaikan persoalan. Polemik ini niscaya akan terus terjadi pada bangsa yang menyepakati sekularisasi agama. Semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan yang lahir dari pemahaman syariat akan mendapat perlawanan sengit dari pihak moderat sekuler. Agama tidak akan pernah mendapat tempat semestinya, hanya diposisikan sebagai keyakinan individu atau kelompok. Tidak boleh ada norma agama sedikit pun dalam perundang-undangan negara.

Undang-undang tersebut juga nyata-nyata tidak bisa menghentikan berbagai masalah yang menimpa keluarga. Kemiskinan keluarga, krisis moral, kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan sejumlah problem lainnya, alih-alih berkurang, justru dilaporkan meningkat jumlahnya.  Ini bukti nyata bahwa konstitusi yang lahir dari pemikiran manusia yang pragmatis tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dari paparan realita di atas, menguatkan keyakinan kita sebagai muslim bahwa aturan yang tidak bersumber dari syariah Allah subhanahu wa ta’ala telah menghasilkan gunungan masalah.

Mewujudkan Ketahanan Keluarga Melalui Penerapan Syariah Kafah

Islam menetapkan negara sebagai penanggung jawab utama untuk kebaikan bangsa, masyarakat termasuk keluarga. Ketahanan keluarga adalah isu penting dalam Islam, sebagai madrasah ula, keluarga ditempatkan sebagai dasar pembentukan identitas bangsa. Antara negara dan keluarga punya ikatan sinergi yang kuat dan strategis. Suksesnya kepemimpinan kepala keluarga dalam mewujudkan keluarga sholih – mushlih (baik dan memberi kebaikan pada masyarakat dan negara) wajib ditopang oleh kepemimpinan di tingkat negara.

Karena itu Islam memberi tugas pada negara untuk menyiapkan berbagai perangkat untuk mewujudkan ketahanan keluarga. Negara melanjutkan pembentukan manusia utuh yang sudah disiapkan keluarga. Negara menciptakan suasana masyarakat tempat generasi menimba pengalaman hidup dan menempa mentalnya. Menyediakan pendidikan formal dengan kurikulum yang bertarget melahirkan calon orang tua sholih-mushlih, dan siap membina rumah tangga.

Pembentukan keluarga yang benar, pergaulan di tengah masyarakat yang sehat dan produktif, penerapan syariat Islam di aspek ideologi, politik, social, ekonomi, pendidikan, kesehatan layanan publik, ketahanan dan keamanan, oleh negara serta pengurusannya dengan benar dan bertanggung jawab penuh, secara efektif akan melahirkan keluarga yang kuat, masyarakat mulia dan umat terbaik.

Tidak ada buruk sangka pada syariat Allah, sehingga ringan saja untuk menjalankan. Aturan Islam dipegang kuat dan diyakini akan melahirkan manusia yang benar, saling bantu dengan sesama, berguna bagi dunia, selamat di akhirat.

Karena itu, sebenarnya jika kita bersemangat untuk meningkatkan kualitas keluarga yang menentukan kebaikan bangsa, tidak lain hanya dengan menerapkan syariat Islam kafah dalam format pemerintahan Islam, yaitu khilafah.

Sebagaimana telah disinggung sedikit di atas, bahwa penyelesaian masalah keluarga dan bangsa dalam kondisi sekularisasi agama adalah fatamorgana. Terlebih harapan umat untuk menerapkan tugas umat Islam yang utama hari ini justru adalah mengubah format pemerintahan yang ada hari ini dengan pemerintahan Islam, Khilafah, agar syariat Islam kafah tegak seluruhnya. Wallahu A’lam Bissawab.