Oleh: Ummu Syaqieb
Pekan ini masyarakat diramaikan dengan kontroversi nilai sebuah foto. Hal itu bermula saat salah seorang artis, TB, memasang foto-foto bugilnya di akun Twitter miliknya, atas nama kampanye mencintai tubuh sendiri. Unggahan foto-foto tersebut tidak sedikit mendapat dukungan dari masyarakat. Namun banyak pula yang menilai unggahan tersebut melanggar norma kesusilaan.
Lembaga pemerintahan terkait, kementrian komunikasi dan informasi, menilai unggahan foto-foto tersebut tidak melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal ini ditegaskan oleh Menkominfo sendiri, Johny G Plate, yang menyebutkan unggahan artis TB tidak melanggar UU ITE, bukan bagian dari pornografi, dan musti disikapi dari sisi seni.
Pernyataan tersebut patut disayangkan. Sebab, dengan munculnya penilaian seperti ini dari lembaga resmi negara, dikhawatirkan kasus-kasus unggahan serupa akan semakin marak di media sosial. Semua bisa berdalih atas nama kebebasan berekspresi, seni, yang tidak bisa dijerat undang-undang ITE tentang pornografi dan pornoaksi.
Padahal jika kita menilik satu sisi, angka kriminalitas seksual makin meningkat dari waktu ke waktu. Berdasar catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, kekerasan yang menimpa kaum perempuan baik di ranah publik maupun di ranah privat didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Di ranah publik kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.521 kasus (64%). Kekerasan seksual dipicu oleh banyak faktor, salah satunya terpapar konten pornografi.
Lebih jauh, menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Samarinda, Adjie Suwignyo, konten amoral yang ditonton anak jauh lebih berbahaya dan merusak saraf otak ketimbang narkoba. Psikolog Dra Dwita Salvery, MM juga mengatakan, konten amoral yang dikonsumsi, apalagi pada anak dapat mempengaruhi keinginan untuk berhubungan suami istri (tribunkaltim.co, 01/03/2019). Maka jelaslah, konten pornografi memiliki daya rusak luar biasa sekaligus pemicu kasus kekerasan seksual. Tentu sulit dibayangkan, jika konten pornografi ke depan makin marak berkali lipat karena berlindung di balik alasan seni.
Munculnya pro-kontra kasus TB sekaligus menjadi gambaran bahwa undang-undang yang ada tidak mampu menyelesaikan permasalah terkait pornografi, pornoaksi. Hal tersebut disebabkan kaburnya tolak ukur untuk mendefinisikan pornografi pornoaksi. Maka terlihat lemahnya aturan yang dihasilkan dari buah pikir manusia yang lemah dan terbatas dalam memahami hakikat realitas. Padahal, andai dilihat dari sudut pandang Islam, kasus tersebut sangat terang benderang.
Islam memandang bahwa semua perbuatan manusia terikat dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam berkarya seni. Janganlah seorang muslim melakukan perbuatan kecuali setelah mengetahui hukumnya. Disinilah prinsip kita berkarya seni. Jadi, kita memiliki keleluasaan mengekspresikan karya seni selama tidak bertabrakan dengan hukum syara. Atau dengan kata lain, memiliki kebebasan tapi bukan tanpa batas.
Seni yang menampakkan aurat, baik aurat wanita maupun lelaki, jelas tidak diperbolehkan dalam Islam. Definisi aurat telah diuraikan oleh hukum syara secara detail dan terperinci. Sebagai contoh, aurat perempuan meliputi seluruh tubuh wanita kecuali muka dan telapak tangan. Karenanya, berkarya seni yang menampakkan aurat wanita, meski sebagian, tidak diperbolehkan. Aktifitas menampakkan aurat terkategori pornoaksi. Sedangkan setiap gambar, foto, ilustrasi dan sejenisnya yang menampakkan aurat disebut pornografi. Maka semua terlihat jelas ketika kita berpegang pada hukum syara.
Selama seni difungsikan dengan benar, semestinya akan mengantarkan setiap makhluk pada kesadaran tentang keindahan penciptaan. Darinya akan melahirkan pengagungan dan ketundukkan pada Tuhan semesta alam. Hal tersebut hanya dapat diraih ketika menempatkan seni sesuai aturan Islam.
Sebaliknya, selama seni diekspresikan berdasar sudut pandang kapitalisme-sekular yang meminggirkan aturan agama dari kehidupan, atau sudut pandang sosialisme-komunis yang meniadakan agama, maka seni yang hasilkan justru menjerumuskan pada keburukan dan kerusakan. Hal tersebut dikarenakan kebebasan berpikir menjadi landasan perbuatan manusia, termasuk berkesenian.