Demokrasi Suburkan Prostitusi Berkedok Wisata Seks Halal

Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)

Polisi telah membongkar praktik prostitusi berkedok kawin kontrak di kawasan Puncak, Bogor. Praktik prostitusi ini sempat membuat heboh publik di penghujung 2019 lalu lantaran menjadi lokasi wisata seks halal terutama bagi turis dari Arab Saudi.

Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan penanganan perkara kawin kontrak ditunda karena terjadinya sejumlah bencana di wilayah barat Kabupaten Bogor. (SuaraJabar.Id, 17/2/2020)

Labelisasi halal pada praktik perdagangan orang “bermantelkan” wisata seks sama saja dengan mengkapitalisasi syariah. Karena “halal” identik dengan syariah Islam juga dengan banyaknya pelanggan yang berasal dari Arab. Inilah akibat dari penerapan sistem sekuler-kapitalistik sehingga manusia rela melakukan apapun demi meraup banyak keuntungan.

Jalan yang halal adalah melalui pernikahan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Inilah satu-satunya jalan yang sah menurut syariah Islam dan diridhoi Allah bagi seorang laki-laki untuk menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan. Sebaliknya jalan yang haram adalah jalan yang menyimpang dari syariah Islam dan tidak diridhoi Allah.

Salah satu bentuk perzinaan yang cukup marak saat ini adalah apa yang disebut dengan istilah “kawin kontrak”, yaitu perkawinan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya sehari, dua hari, seminggu, dan sebagainya dengan imbalan sejumlah uang bagi pihak perempuan.

Kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang yang melakukan kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi telah berbuat zina yang merupakan dosa besar dalam Islam. Nauzhu billahi min dzalik. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al Israa` [17] : 32).

Prostitusi terus tumbuh subur karena dijadikan sebagai ajang bisnis. Hukum penawaran dan permintaan berlaku. Begitulah wajah kapitalisme demokrasi. Perempuan dihargai dari sisi materi dan dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Kehormatan dan kesucian perempuan sudah tidak diindahkan lagi dan rela dikorbankan begitu saja demi sejumlah rupiah. Para perempuan menjadi begitu “murah”, bisa dibeli dengan uang, melayani nafsu biadab para lelaki hidung belang.

Apapun alasannya, perbuatan melacur atau prostitusi jelas diharamkan dalam Islam. Ini termasuk zina dan dosa besar. Pelegalannya hanya akan merusak moral masyarakat, menambah-nambahi kemaksiatan dan memunculkan masalah baru.

Lima jalur yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi maraknya prostitusi. Pertama, penyediaan lapangan kerja. Dalam hal ini negara menyediakan lapangan pekerjaan –terutama bagi kaum laki-laki  sehingga masyarakat mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Para perempuan pun tidak dibebani untuk mencari nafkah utama bagi keluarganya.

Kedua, pendidikan/edukasi yang seiring sejalan. Pun pendidikannya adalah yang bermutu, bebas biaya, mampu menanamkan pondasi keimanan yang kuat dan membekali keterampilan yang mumpuni sehingga para PSK tidak akan tergiur untuk kembali ke dunia kelam mereka.

Ketiga, jalur sosial. Pemerintah berupaya menanamkan kesadaran para masyarakat untuk care kepada apa yang terjadi di sekitarnya sehingga terbentuk kontrol sosial terhadap segala bentuk kemaksiatan.

Keempat, jalur hukum atau supremasi hukum. Harus ada sanksi tegas terhadap para PSK, para pelanggan PSK, mucikari atau pihak-pihak yang terkait. Sanksi di dunia bagi pezina sudah jelas yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika ia sudah pernah menikah, atau dicambuk seratus kali kemudian diasingkan selama satu tahun jika ia belum pernah menikah.

Yang terakhir, jalur politik. Negara harus menutup semua bentuk lokalisasi, menghapus situs prostitusi online, serta melarang produsen tayangan berbau seksualitas seperti pornografi dan pornoaksi.

Solusi dari masalah prostitusi membutuhkan pemahaman utuh bahwa akar permasalahannya adalah karena sistem permisif demokrasi yang diterapkan oleh negara. Sistem sekuler negara inilah yang menyebabkan benih-benih kemaksiatan masih dapat leluasa bergerak.

Maka seluruh masyarakat harus menyadari bahwa prostitusi tidak akan pernah bisa dibasmi habis jika kita masih bertahan dengan sistem kehidupan yang sekarang, tidak beralih kepada sistem Islam yang dari awalnya mencegah dan melarang tindakan kemaksiatan.

Islam bahkan punya aturan yang tangguh dan mampu membuat jera para pelanggar hukum syariatnya. Dengan keadaan sistem negara yang kondusif seperti itu, harga diri perempuan akan terjaga dan kembali pada fitrahnya yang juga mulia secara kemanusiaan.

Wallahua’lam bishshawab.