Semesta Keluarga Butuh Penerapan Islam Kaffah

Oleh: Citra Hardiyanti (Member Akademi Menulis Kreatif}

Hari ini setiap keluarga diseluruh belahan dunia bersegera membentengi keluarga mereka agar bebas dari virus corona, bahkan lebih dari upaya untuk membentengi dari virus sifilis (sekulerisme, feminis dan liberalisme) yang sudah lama menjadi penyakit kronis di negeri muslim.

Iklan KPU Sultra

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus Mengungkapkan kronologi pembunuhan terhadap bocah berusia 6 tahun yang dilakukan gadis remaja berusia 15 tahun di jakarta Pusat. Dia mengatakan pelaku berinisial NF memang memiliki hasrat membunuh orang (Liputan6.com). Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Ai Maryati menghimbau kepada para orangtua untuk memantau kehidupan sosial anak, termasuk film-film yang dikonsumsi anaknya. Sebab berkaca dari kasus pembunuhan tersebut pelaku pembunuhan mengaku terinspirasi dari film yang ditontonnya (Kompas.com).

Lagi-lagi keluarga muslim didera berbagai macam persoalan yang menghimpit. Tidak hanya bahaya yang ditimbulkan oleh tontonan yang tidak mendidik, apalagi membangun karakter berkepribadian kuat yang ada hanya membentuk generasi yang jauh dari kriteria generasi berkepribadian unggul, yang tergambar jelas sosoknya di dalam islam. Jauhnya keharmonisan hubungan antara anggota keluarga kerap kali menjadi alasan bagi seorang anak melakukan tindak kriminal, sebagaimana yang terjadi pada kasus pembunuhan tersebut, yang disebabkan oleh amarah yang dipendam anak terhadap ayah kandungnya (Tribunnews.com).

Boleh jadi kerenggangan hubungan anak dan ayah tersebut disebabkan oleh kesibukan ayah dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga muncul kekecewaan dan perasaan diabaikan dalam diri anak. Bagaimana tidak, tingginya harga kebutuhan sehari-hari dan semakin sempitnya lapangan kerja dengan gaji memadai menyebabkan seorang ayah rela menggadaikan waktunya demi mengais rezeki. Sungguh hari ini keluarga muslim dalam lingkar kemiskinan yang terstruktur dan sistematis. Kemiskinan yang memberikan efek domino terhadap keluarga muslim berimbas dalam berbagai aspek, misalnya meningkatkanya kasus anak mallnutrisi, tingginya kematian ibu dan anak, rendahnya hunian yang layak, meningkatnya angka perceraian dan berimbas pada menurunnya angka pernikahan yang dapat dijadikan indikasi bahwa generasi saat ini tidak mempercayai pernikahan sebagai institusi yang penting hingga mudahnya generasi saat ini terpapar pengaruh pergaulan bebas dan narkotika.

Berangkat dari berbagai kasus yang mendera keluarga muslim saat ini, lima politisi dari partai yang berbeda mengusulkan agar dibentuk RUU Ketahanan Keluarga, karena dianggap tidak ada aturan yang menyeluruh yang mengatur hal tersebut, aturan yang memuat hal tersebut misalnya UU KDRT, UU perlindungan anak, UU sistem sosial, dll hanya tersebar di dalam UU yang belum diramu secara khusus dan belum dilaksanakan dengan pendekatan aturan yang sistematis.

Namun usulan UU ini mendapatkan penolakan yang lebih banyak disorot dibandingan dengan yang mendukung diketoknya palu terkait RUU ketahanan keluarga. Hal ini disebabkan telah terjadi perang pemikiran yang sejatinya niat baik tidak akan selalu disambut dengan baik. Jika kita mencermati isi dari RUU tersebut maka kita akan dapat menilai dengan bijak bagaimana seharusnya dalam bersikap.

Berikut pasal-pasal yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat, misalnya:

Pasal 25 yang memuat kewajiban istri dalam mengatur rumah tangga dan peran suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini mendapatkan penolakan dari kaum feminis, yang mengusung pemahaman bahwa seorang perempuan lebih layak berperan di sektor publik dibanding dengan sektor domestik, sebab ketika perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya di sektor domestik, maka perempuan akan bergantung secara materi kepada laki-laki, dan ini sangat bertentangan dengan nilai yang diusung oleh mereka, bahwa perempuan akan memiliki kedudukan dan dihormati oleh lelaki jika mandiri secara materi.

Pasal 74 yang memuat penyimpangan seksual salah satu penyebab krisis keluarga. Hal ini mendapatkan penolakan dari pegiat LGBT, yang mereka memahami bahwa apa yang menimpa mereka adalah takdir bukanlah kelainan yang harus diluruskan.

Pasal 86 kewajiban melaporkan anggota keluarga yang melakukan penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud adalah sadisme, masokisme, homoseksual dan inces. Maka secara otomatis RUU ini akan ditolak oleh pelaku yang memiliki penyimpangan orientasi seksual, yang menganggap hal yang dilarang dalam pasal tersebut adalah bagian dari variasi hubungan laki-laki dan perempuan.

Serta RUU yang lain misal pemisahan kamar anak dan orang tua, tidak bolehnya donor sperma dan ovum, dan sebagainya. Sebagian besar alasan penolakan ruu karena dianggap negara terlalu mengotak atik privasi keluarga dan ruu yang diusung bernuansa ideologi lain, selain sekulerisme-kapitalis.

Jika kita mencermati RUU tersebut, misalnya saja pasal 25 yang mengatur hubungan suami istri, maka hal ini adalah aturan universal yang sudah ada sejak dahulu kala, dan menjadi bias ketika masuknya pemahaman feminis yang menganggap perempuan berperan disektor domestik adalah bentuk penjajahan terhadap perempuan. Perempuan dengan segala keindahanya layak mewarnai jagat dunia publik, meski dengan begitu perempuan harus rela dieksploitasi demi terwujudnya tujuan kapitalis, yang menganggap perempuan tak lebih dari sekedar pemuas nafsu. Hal ini tentu saja bertentangan dengan sunnatullah penciptaan perempuan, yang seharusnya dijaga dan dihormati dengan segenap aturan yang memuliakan mereka.

Baik buruknya RUU ini bukan pada letak manfaat yang dibawanya, tetapi apakah sejalan dengan nilai islam ataukah tidak, jika sejalan maka baik, dan begitu sebaliknya. Namun hal ini belum mampu mencerminkan sistem pengaturan terhadap keluarga sebagaimana dalam islam, yang telah mengatur secara terperinci tentang bagaimana pengaturan kehidupan laki-laki dan perempuan. Mulai dari pengaturan hubungan antara laki-laki dan perempuan, bagaimana cara memilih pasangan, hingga pengesahan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, sampai kepada bagaimana hubungan persahabatan yang terjalin diantara suami dan istri, serta bagaimana peran ibu atau bapak di dalam keluarganya. Gambaran keluarga ideal adalah keluarga yang sesuai dengan aturan Allah, dimana setiap keluarga menjalankan perannya sebagaimana peran yang telah ditetapkan Allah. Mengapa demikian? Sebab Allah lah yang menciptakan manusia, maka Allah yang paling mengerti bagaimana aturan yang tepat untuk manusia.

Sebagaimana keluarga adalah institusi terkecil dari bangunan masyarakat dan negara, maka tidak cukup jika institusi terkecil ini menjadi tameng untuk membentuk ketahanan keluarga, maka harus membentuk semesta keluarga yang saling menjaga satu sama lain didukung oleh negara yang menerapkan aturan yang sistematis dalam mewujudkan hal ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dari Nafi’ Abdil Harist berkata :

“diantara kesenangan bagi seorang muslim adalah tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalihah, dan kendaraan yang tenang”.

Sungguh, hal ini tidak akan terwujud selama sistem ekonomi masih menggunakan sistem kapitalis, dimana pekerja dianggap layaknya mesin, yang dapat diganti sewaktu-waktu jika dianggap tidak memenuhi target produksi serta di bayar dengan upah minimum bahkan dibawah minimun, karena dianggap sebagai beban produksi. Maka bagaimana mungkin dapat memiliki rumah yang luas terlebih kendaraan yang baik?

Dan bagaimana pula dapat terwujud tetangga yang baik, jika sistemnya membentuk generasi individualis, yang ditanamkan dalam benaknya hidup untuk sekedar mendapatkan materi, jika sistem pendidikan tidak pernah mengajarkan bagaimana menjadi tetangga yang baik, dan jika media sosial masih mempertontonkan tetangga yang tak akur sebab harta gono-gini, dsb.

Maka sungguh, tidak cukup dan tidak akan bisa menambal sulam sistem yang bobrok ini dengan aturan yang baik, maka solusi yang tepat adalah dengan merombak secara keseluruhan dengan sistem yang baru, yang dapat membentuk keluarga islami, masyarakat islami, dan aturan yang islami, sebab masyarakat bukan sekedar kumpulan manusia saja, tetapi mereka berkumpul dan diikat dengan perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama, maka jika ingin menjadikan semesta keluarga menjadi keluarga islami, maka perasaan, pemikiran dan peraturannya harus islami.

[Wallahu ‘alam bi showab].