Corona, Menguak Lemahnya Sistem Sekuler Mengurusi Rakyat

Dilansir JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo meminta masyarakat di tingkat kelurahan untuk menyediakan rumah untuk karantina bagi warga yang baru pulang dari luar negeri (30/03/2020).

Himbuan tersebut, membuat rakyat bertanya-tanya. Apakah tepat himbuan itu ditujukan kepada rakyat untuk menyediakan rumah isolasi bagi WNI yang baru pulang dari luar negeri?. Kalaupun serius, dihimbau untuk rakyat yang mana?

Mengapa pemerintah tidak saja menghimbuan dengan sangat dan action nyata kepada para pejabatnya yang memiliki rumah sangat layak, bagus, bahkan bisa lebih dari satu unit, untuk kesediaannya memberikan izin guna pakai untuk WNI selama masa isolasi.

Pandemi covid -19 begitu banyak menguak sikap ambyar penguasa dalam mengurusi masholih Al-ummah (masalah rakyat). Disaat rakyat butuh sikap tegas, tanggap dan nyata, justru satu persatu bermunculan statemen dan himbuan, yang membuat rakyat harus mencerna lebih dalam, memahami apa yang hendak dimaksud penguasa berserta jajarannya.

Papan adalah kebutuhan rakyat yang sangat primer. Kebutuhan yang satu ini-pun masih menjadi sebuah masalah bagi rakyat Indonesia, pasalnya masih banyak keluarga indonesia, yang belum memiliki tempat tinggal. Sekalipun ada masih banyak yang jauh dari layak. Padahal ini adalah kebutuhan primer rakyat yang harus dipenuhi penguasa. Belum juga beres mengurusi segala kebutuhan medis. Negara tak memiliki kekuatan menghadapinya, kini semakin berharap kepada rakyatnya.

Ya PDP Covid-19 memang perlu ruang khusus agar virus tak menyebar luas ke orang lain. Satu ruangan hanya khusus ditempati seorang diri. Tim medis yang menanganinyapun harus memakai perlengkapan khusus yaitu APD (Alat Pelindung Diri). Begitupun bagi ODP atau ter-suspect agar tidak membahayakan orang lain maka perlu dikarantina minimal selama 2 pekan, jika tidak muncul gejala maka tak perlu mendapat perawatan khusus, selanjutnya tetap melakukan preventif agar tubuh tidak lemah.

Rakyat terus dihimbau agar
selalu jaga kebersihan (cuci tangan dengan hand Sanitizer) jaga pola makan sehat, Jaga imunitas tubuh, lakukan Social distance, Physical Distance dengan taat Stay at Home, Work for Home. Bahkan pemerintah daerah sudah melakukan lockdown mandiri. Ternyata Hal itu belum cukup memberikan solusi jitu dalam menghadapi pandemi.

Tersebab, pemerintah pusat masih ambyar dalam menghadapi pandemi ini, salah satunya tidak mau melakukan lockdown. Hal ini menunjukkan ketidaksinergian antara yang di pusat dan di daerah.

Bisa dibayangkan jika sikap ambyar pemerintah pusat terus hadir, maka akan memunculkan berbagai masalah baru. rakyat terancam menjadi tumbal akibat lamban bertindak. kian bertambahnya ODP dan PDP bagaikan bola salju. Berapa ruang isolasi yang harus di siapkan, jika ini dibebankan ke rakyat, tentu rakyat akan melambaikan tangan. Apakah penguasa tak berfikir, sudah begitu berat beban rakyat yang harus dirasakan, akibat kebijakan penguasa sendiri. Dampak lain juga akan terjadi kekacauan multidimensi, seperti masalah ekonomi, pendidikan, sosial dan lain-lain akan mengalami ketidakstabilan atau ombang ambing yang berkepanjangan.

Perlu bercermin kepada Daulah Islam saat mengalami pandemi dan kas negara defisit.

Pertama, dilakukan ikhtiar preventif yang sigap, cepat, tepat dan cerdas oleh penguasa. Sikap lamban dan berbelit-bekit dalam menyelesaikan masalah, bukan karakter kinerja pemerintah Daulah Islam.

Kedua, tatkala Baitul Maal (kas negara) kosong dalam melakukan kuratif atau merecovery kondisi negara, entah saat dilanda wabah, atau peperangan. Maka Daulah islam tidak akan meminjam dana ke negara asing, apalagi berhutang dengan transaksi ribawi.

Penguasa akan memberikan tawaran kesedian rakyat untuk membantu menanggulanginya. Tawaran pertama kali ditujukan kepada rakyat yang aghniya (kaya raya), jika sudah mencukupi maka tidak dibebankan kepada rakyat keseluruhan.

Namun jika masih jauh dari cukup maka rakyat secara luas dihimbau untuk membantunya. Hal ini dilakukan kesadaran dan keikhlasan diri rakyat untuk tergerak membantu mengatasi masalah negara secara bersama dan bersinergi. Hal ini bersifat insidental saja sampai kondisi keuangan negara membaik. Namun membaiknya kas negara karena pengelolaan harta yang sesuai dengan tuntunan ekonomi islam bukan ekonomi kapitalis dan dipastikan para pejabat tidak melakukan korupsi uang rakyat yang disimpan dalam kas negara.

Kondisi Kholifah dan rakyat dalam Daulah Islam, bagaikan sahabat yang saling menyayangi, tolong menolong dan mengingatkan dalam kemaslahatan negara.

Bahkan ide-ide brilian para khubaro (para ahli) terkait Masholih Al- ummah (masalah rakyat) siap didengar penguasa dan akan diambil saran yang terbaik. Dalam hal ini ide-ide ahli kesehatan akan menjadi masukan berharga demi menyelamatkan jiwa rakyat.

Saat itu sikap rakyat-siap sedia membantu, karena tampak tergambar Sistem Islam yang cerdas menjawab segala masalah rakyat berdasarkan sumber hukum Islam. Kholifah layaknya ayah yang berusaha mengurusi anak-anaknya dengan pengurusan yang terbaik.

Terpenuhinya hajatul udawiyyah (kebutuhan primer) seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan serta keamanan.Hubungannya tidak ada motif untung rugi, bagaikan bisnis seperti kaum kapital. Efeknya rakyat akan sangat peduli apa yang sedang dihadapi penguasa.

Namun pada hari ini, sudah sekian lama rakyat dianaktirikan, dengan begitu banyak beban yang ditimpakan penguasa atas kebijakan dan salah dalam pengelolaan hartanya. Penguasa-pun lebih akrab kepada kaum kapital yang telah nyata membuat rakyat sengsara bahkan terhambat menikmati hartanya.

Kekayaan alam milik umum/rakyat diprivatisasi atau diswastanisasi secara terang-terangan tanpa izin rakyat. Yang kaya makin kaya, yang sengsara makin sengsara. Begitu banyak hak rakyat yang diabaikan dengan berbagai kebijakan serba liberal.

Tak dipungkiri, kondisi rakyat kian terpuruk secara sistemik dengan kondisinya yang tidak teriayah (terurusi). Sementara penguasa pusat tetap kalem, tidak satu suara dengan pemerintah daerah. Suara para pakar atau ahli dan ulama cenderung diabaikan.

Lagi-lagi Corona telah memberikan pelajaran dan menguak lemahnya peran penguasa sebagai Mas’ul (penanggung jawab) dan Ro’in (pelayan) rakyat. Hal ini tentu semakin membuka mata serta pikiran kaum berakal. Bahwa sistem sekuler dan kapitalis yang kerap kali disanjung-sanjung telah menampakkan keburukannya dalam meriayah (mengurusi) masalah umat. penguasa masih berhitung untung rugi materi layaknya otak kapitalis.

Sejatinya, jika pemimpin negeri ini peduli terhadap jiwa rakyat, maka rakyat-pun dengan kesadaran yang tinggi akan siap membantu menanggulangi masalah negeri. Wallahu’alam bishowab.

HAWILAWATI, S.Pd (MUSLIMAH REVOWRITER)