Oleh. Alfiyah Kharomah., STr. Batra
Revowriter Jawa Tengah
Perempuan menangis di era kapitalis. Jika mereka masih memegang teguh posisi domestiknya maka ia akan tergilas dan menjadi santapan zaman. Ini era dimana uang adalah segalanya. Yang papa akan sengsara. Yang tak punya akan menderita. Perempuan, ibu rumah tangga yang rela meninggalkan pekerjaan demi anak-anaknya, meski suami terhimpit ekonomi karena lapangan pekerjaan yang sempit. Apakah kita masih bertanya lagi? Salah sendiri malas tak mau bekerja.
Di tengah wabah yang sedemikian ganasnya. Masyarakat dihimbau di rumah saja, tetapi tidak diberi makan. Rupanya Jaring Pengaman Sosial, tak merata, tak menyentuh semua warga. Dalam pidatonya, presiden akan menggelontorkan dana 110 triliun untuk masyarakat lapisan bawah. Ia menyampaikan program tersebut terdiri dari PKH (Program Keluarga Harapan), Kartu Sembako, Kartu PraKerja, Program tarif listrik. Namun pada faktanya, data yang berantakan menyebabkan masyarakat banyak yang tak tersentuh bantuan.
Meninggalnya ibu rumah tangga di serang karena kelaparan, menjadi pukulan telak bagi pemerintah. Bahwa pemerintah, tak benar-benar memastikan warganya kenyang di kala wabah. Sempat di wawancara oleh wartawan kompas, ia menyampaikan hanya minum air putih sebagai pengganjal perut yang lapar. Tentu saja ini membuat publik tercenung. Meski, hal seperti ini sudah banyak terjadi, bahkan sebelum wabah corona menghampiri. Warga meninggal karena tak makan.
Ironinya, ibu meninggal di tengah euforia feminis menyuarakan kesejahteraan perempuan. Di saat Indonesia ramai menyuarakan emansipasi wanita, yang diklaim R.A kartini juga menyuarakannya. Tentu duka ibu rumah tangga di serang ini menjadi pelajaran bagi kita semua, tak hanya para perempuan, tetapi masyarakat juga negara. Dimanakah mereka saat ibu rumah tangga ini menangis menahan sakitnya perut yang tak terisi, menderita kelaparan akut karena tak ada beras yang bisa di masak. Ia tak sendiri, ada suami dan empat anaknya yang sama tak makan juga.
Duka ibu rumah tangga yang papa ini bisa jadi tak hanya di serang saja. Dua kakak beradik, warga Gelumbang, Muara Enim, Sumatera Selatan, ditemukan dalam kondisi kurus kering karena kelaparan. Mereka ditemukan oleh aparat TNI di sebuah rumah dalam kondisi sangat kurus. Satu terbaring di atas tempat tidur dengan tubuh yang sudah kurus kering. Tentu miris hati ini melihat saudara sebangsa dan setanah air kita seperti itu. Itu yang ditemukan media, bagaimana dengan yang tak ditemukan oleh media?
Harusnya, pemerintah sudah waspada di tengah wabah, kelaparan akan merajalela. Sehingga, sejak awal harus sudah memiliki data keluarga mana yang pasti terdampak, akan terdampak dan calon terdampak kemiskinan karena wabah. Sehingga, kementerian sosial sudah melakukan hitung-hitungan untuk mengatasi dampak wabah yang sebenarnya tak ada satu orang pun yang menginginkan wabah. Hitung-hitungan tersebut harusnya diteruskan ke menteri keuangan untuk ditindak lanjuti. Sehingga, dana yang digelontorkan adalah dana yang sebenarnya bukan sekedar angka. Pencairan dana pun benar-benar yang menyentuh akar masalah. Bukan hanya gimik belaka. Pancairan dana, benar-benar sampai ke warga yang membutuhkan. Segera. Tak perlu menunggu ada yang kelaparan dan diliput media.
Sayangnya, kita hidup di era kapitalistik yang tak mungkin ditemukan pemandangan rakyat bahagia, sejahtera dan makan kenyang secara merata. Sistem kapitalisme telah menciptakan ketidakadilan bagi rakyat kecil. Sudah menjadi maklumun, rakyat miskin semakin melarat dan yang kaya hartanya semakin melimpah ruah. Kapitalisme telah menciptakan jurang yang sempurna soal kesenjangan sosial. Cuma di negara penganut sistem mataduitan ini saja ditemukan ironi bak dua sisi koin mata uang, masyarakat yang kekenyangan sampai obesitas dan rakyat yang belum makan sampai mati kelaparan.
Tentu tidak akan sekompleks ini karut marutnya penanganan wabah corona jika pemerintah sudah waspada sejak kemunculannya di Wuhan, Cina. Bukannya persiapan, malah sesumbar tak berkadar. Andai lockdown sejak awal. Maka, wabah tak akan berlama-lama. Hanya demi pariwisata, devisa dan menyelamatkan rupiah, pemerintah tarik ulur soal solusi terbaik atasi wabah. Tak menggubris kata-kata para ahli, tenaga medis dan para ulama. Mengorbankan perut rakyat yang kelaparan bahkan bertaruh nyawa rakyat.
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Sungguh, kisah dua Umar ini menjadi pelajaran kita semua tentang menghargai nyawa satu orang papa. Pertama kisah Umar bin Khattab saat dilanda paceklik, musim kemarau panjang membuat tanah-tanah di arab tandus. Suatu malam Khalifah Umar bin Khattab melakukan patroli bersama Aslam. Langkah Umar terhenti di sebuah tenda yang lusuh yang di dalamnya terdapat seorang ibu yang memasak batu. Ia memasak batu karena saking tak ada apapun untuk dimasak untuk mengenyangkan perut anak-anaknya yang senantiasa menangis karena lapar. Singkat cerita, Umar bin Khattab memanggul sendiri satu karung gandum tersebut dari penyimpanan hingga ke rumah ibu tersebut. Karena rasa bersalah tiada tara akibat lalainya Umar memperhatikan rakyatnya.
Kedua adalah kisah Umar bin Abdul Aziz, yang di masa kepemimpinannya tak ada satupun orang yang kelaparan. Di masa pemerintahannya, ia telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Hingga tak ada yang layak menerima zakat, tak ada budak yang dimerdekakan, tak ada yang terlilit hutang, tak ada lagi yang belum menikah karena tak mampu membayar biaya mahar dan pernikahan. Semua berkecukupan. Masha Allah sungguh luar biasa sistem keuangan di era keemasan. Islam telah memberikan contoh yang sempurna dalam mengelola harta. Islam juga memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin yang amanah.
Pemimpin yang amanah dan dicintai rakyat, kesejahteraan dan keadilan hanya didapatkan dalam sistem Islam. Tentu saja kita semua merindukan itu semua. Di Ramadhan yang mulia ini, mari kita senatiasa berdo’a agar Indonesia dikaruniai pemimpin yang amanah yang mencintai rakyatnya, begitupula rakyatnya juga mencintai pemimpin mereka. Serta diliputi keberkahan di langit dan bumi dengan sistem negara yang mulia dan diridhoi Sang Pencipta alam semesta.
Wallahu’ala bisshawab.