“Potret Pendidikan di Negeri Merah Putih”

Oleh : Rahmi Ekawati

Pendidikan menjadi trending topic di era medernisasi bulan Mei. Why? karena tanggal 2 Mei telah diresmikan menjadi salah satu hari kebesaran yang ada di Indonesia. Inilah salah satu landasan para patriotisme dalam mencintai tanah airnya. Tak heran, sangat banyak kejadian bahkan problem dalam perayaan-perayaan tersebut. Banyak dari kalangan mahasiswa memberikan aspirasi mereka dalam setiap perayaan yang menjadikan kampus gempar, kuliah dihentikan sampai berkoar-koar menyeru pada kebaikan namun tak memberikan solusi yang pas dalam jangka panjang. Itulah para generasi saat ini. Eitss, itu hanya sedikit contekan untuk pemuda masa kini. Selanjutnya kita akan beralih beberapa langkah ke belakang mengenai potret pendidikan dalam sejarah di Indonesia.

Saya teringat kembali dengan kalimat ini “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya“. Itulah slogan yang sering kita dengar di republik tercinta ini. Pahlawan tidak selalu identik dengan mengangkat senjata dan berperang meski sebagian besar penafsiran menyatakan bahwa pahlawan adalah orang yang berjasa membela negara melalui medan perang.

Namun sesungguhnya siapa saja yang telah berjasa membawa bangsa ini menuju kemajuan baik dibidang sosial, budaya, teknologi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia maka patut kiranya kita beri julukan sebagai pahlawan.

Bicara hari pendidikan Nasional, tak lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara. Siapa sebenarnya Ki Hajar Dewantara? Mengapa 2 Mei sebagai tanggal kelahirannya yang dijadikan hari pendidikan nasional? Adakah tokoh pendidikan di Indonesia selainnya?

Indonesia adalah salah satu negara yang sangat mementingkan peringatan hari-hari bersejarah. Bulan April ada hari Kartini, Mei ada hari kebangkitan nasional, Juni ada hari kelahiran Pancasila, Agustus ada hari kemerdekaan Indonesia dan seterusnya. Termasuk juga hari pendidikan nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei.

Selain Ki Hajar Dewantara, Indonesia sebenarnya memiliki tokoh-tokoh pendidikan seperti KH. Hasyim Asy’ari, seorang pemimpin Nahdldatul ‘Ulama yang mengasuh pesantren tebu ireng dan KH. Ahmad Dahlan, seorang pendiri Muhammadiyah. Tapi mengapa bukan tanggal kelahiran diantara mereka yang dipilih sebagai hari pendidikan nasional? Ada apa dengan sejarah yang telah kita pelajari selama ini? Apakah sejarah telah menjadi kambing hitam ataukah musuh dalam karung tak terlihat?

Ternyata dibalik sejarah yang manis tersimpan rahasia yang tak kunjung orang temui di dalamnya. Kedekatan Ki Hajar Dewantara dengan penguasa saat itu yaitu Soekarno dan Muhammad Yamin menjadi faktor kuat terpilihnya hari kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai hari pendidikan nasional. Dilihat dari pengaruhnya, tokoh pendidikan yang sebenarnya perlu disebut pertama kali adalah tokoh-tokoh pesantren di Indonesia. Karena sejak 1600an, jauh sebelum ada sekolah taman siswa yang didirikan tahun 1922, lembaga pendidikan di Indonesia yang paling tua dan lama serta ikut mencerdaskan kehidupan bangsa ini untuk menghadapi perubahan adalah pesantren.

Dalam coretan tinta  “Lajur-Lajur Pemikiran Islam” karya Tiar Anwar Bachtiar di hal. 26, disebutkan bahwa Muhammadiyah sejak awal mengadopsi sistem pendidikan Belanda (HIS, MULO, Kweekschool, dsb) yang diberi tambahan pelajaran agama. Dengan demikian, pengaruh KH. Ahmad Dahlan di bidang pendidikan lebih besar dari Ki Hajar Dewantara karena sekolah Muhammadiyah lebih awal ada.

Sangat disayangkan saat itu, kelompok Nasionalis yang tergabung dalam PNI (Partai Nasional Indonesia) mengambil jarak yang serius dengan kelompok Islam. Hal ini karena kelompok Islam menerima Islam sebagai dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok nasionalis menolaknya. Soekarno dan anggota kelompok Nasionalis yang menguasai pemerintahan saat itu sedang tidak senang dengan kelompok Islam. Kemudian, Soekarno dan Muhammad Yamin tidak serius melihat pesantren dan sekolah Islam sebagai pendidikan yang mencerdakan kehidupan bangsa. Terlebih pesantren yang menjaga bangsa ini tetap terdidik, memiliki literasi dan peradaban yang tinggi.

Soekarno malah memandang pesantren sebagai kaum sarungan yang terbelakang. Karena itu, jika Soekarno mengangkat tokoh pesantren, tidak memberikan kesan bahwa Indonesia punya pendidikan yang maju. Akhirnya, sangat dimengerti mengapa Soekarno tidak memilih tokoh Islam seperti KH. Hasyim Asy’ari atau KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh pendidikan Indonesia sesungguhnya. Sejarah hari pendidikan Nasional ditulis dengan tinta kekuasaan yang buram, bukan dengan fakta sejarah yang terang. Begitulah tinta sejarah menggambarkan lukanya pada masa silam dan menjadi keagungan di masa hari ini. Menggambarkan kontradiksi antara keinginan dan realita. Inilah yang disebut sebagai masalah.

Korelasi antara fakta konkret dijadikan abstrak oleh sejarah masa kini. Bahkan banyak diantara kita melek dan tertipu oleh sejarah yang menggemborkan kebaikan para Nasionalisme. Tanpa mencari tahu apakah itu sudah benar ataukah ada sebuah pemalsuan identitas sejarah di dalamya. Apalagi para masyarakat saat ini kebanyakan mengambil mentah-mentah sejarah yang telah tertoreh dalam ensiklopedia sejarah.

Jadi, telah menjadi sebuah tinta sejarah  bahwa Islam selalu hadir dalam setiap agenda sejarah. Bukan hanya dicatat dalam koridor Madinah tetapi Islam telah berjuang dalam segala aspek di Negara kita sendiri yaitu Indonesia. Telah menjadi seruan kepada para pemuda muslim masa kini, bahwa kita sebagai penerus agama dan harapan masa depan Islam jangan mengikuti arus jalur demokrasi yang akan mengantarkan pada kegelapan bahkan menyimpan sejarah emas yang tak akan ada yang tahu tanpa kita menguak kembali sejarah yang sesungguhnya.

Islam adalah menjadi gambaran umum kau muda saat ini dalam hal pendidikan. Bukan malah mendukung kurikulum masa kini yang jelas-jelas akan membawa kita pada keterpurukan. Seharusnya dan menjadi kewajiban kita, setelah terbongkarnya sejarah pendidikan Nasional kita harus mampu mengubah dan menjadi salah satu inspirasi agar pendidikan Islam yang harus dijadikan sebagai kurikulum pendidikan dengan diterapkannya sistem Islam d tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Yaitu  menyatukan persepsi terhadap persoalan bangsa saat ini dengan momentum dibulan Mei tentang Hari Pendidikan Nasional dan Kebangkitan yang masih dipahami secara rutinitas belaka tanpa di ikuti bukti dan tindakan nyata. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui secara jelas untuk mewujudkan kebangkitan hakiki dalam pandangan Islam.

Ust Dedi Mustofa menuturkan “Berbicara kebangkitan di bidang pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan di bidang yang lainnya.” Maka dari itu ketika berbicara tentang bangkit kita harus melihat akar masalahnya kemudian kita tentukan kebangkitan seperti apa yang kita harapkan. Tentunya adalah kebangkitan yang hakiki, yaitu kebangkitan yang di dasari ideologi Islam. Wallahu a’lam.