Panggung Pencitraan yang Tak Lagi Dilihat

Oleh: Fatimah Azzaria

Virus Covid-19 memainkan perannya sebagai ujian bagi dunia. Virus tersebut tak hanya mengubah kondisi kesehatan tubuh masyarakat, namun juga mengubah kesehatan mental dan perekonomian dunia. Berdasarkan data Center for Systems Science and Engineering (CSSE) Universitas John Hopkins, jumlah kasus positif virus corona tercatat sebanyak 1.118.921 kasus hingga Sabtu (4/4/2020) siang dengan jumlah negara yang terkonfirmasi adalah 175 negara di seluruh dunia. Tak terkecuali, wabah virus pun juga menyerang negeri kita tercinta, Indonesia.

Dampak kesulitan ekonomi dan kelaparan akibat pandemi covid-19 menjadi pemandangan yang mudah ditemui di seantero negeri. Kini, rakyat Indonesia berjuang untuk mencari sesuap nasi di tengah kehidupan yang begitu sempit untuk bertahan hidup. Dilansir dari regional.kompas.com, nasib tragis dialami salah satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu diketahui sedang hamil besar. (30/4/2020)

Itu hanya salah satu contoh saja, jika faktanya memang banyak rakyat yang mengalami penderitaan akibat dampak dari pandemi ini. Di tengah sulitnya hidup dan banyaknya kelaparan di tengah masyarakat, angin segar pun datang menyapa, pemerintah akan menyalurkan bantuan sosial berupa paket sembako kepada masyarakat kurang mampu. Namun kenapa bantuan sembako tak kunjung turun?

Lagi dan lagi, para pemangku kebijakan membuat rakyat geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Bantuan sosial berupa sembako terlambat datang hanya karena harus menunggu tas paket sembako. Tas untuk mengemas paket sembako itu bewarna merah putih dan bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Di tas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona.

“Pemberian bantuan sosial semestinya tidak boleh tersendat karena persoalan non-esensial seperti itu. Masyarakat saat ini benar-benar sangat membutuhkan bantuan. Mereka sebetulnya tidak mempermasalahkan tas pembungkusnya. Yang mereka tunggu saat ini adalah bagaimana agar kebutuhan hidup mereka tercukupi,” ujar Saleh, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN kepada Liputan6.com, Kamis (30/4/2020).

Sudah menjadi rahasia umum, jika pemerintah sekarang memang dikenal hobi melakukan pencitraan. Bantuan sosial hanyalah sebagai alat untuk memperbaiki citra diri penguasa. Apalagi pencitraan dilakukan lewat tas paket sembako yang bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Padahal bantuan sosial tersebut bukan berasal dari kantong pribadi presiden, namun dari APBN yang notabene uang rakyat. Maka, wajar jika kebutuhan perut rakyat bukan menjadi hal yang diprioritaskan oleh negara.

Namun sayang, pencitraan itu selalu terbongkar. Rakyat sudah merasa lelah dengan banyaknya janji manis penguasa dan segala bentuk pencitraan. Kebijakan-kebijakan yang diambil penguasa pun seringkali menafikan kepentingan rakyat banyak. Bahkan makin lama membuat rakyat tambah muak. Segala bentuk pencitraan ini hanya terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Sistem fasad (rusak) yang hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak menomorsatukan kehidupan dan nyawa rakyat.

Berbeda dengan sistem Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Khilafah akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjamin setiap kebutuhan rakyatnya. Negara tidak akan membuat mekanisme yang sulit dan berbelit-belit. Serta akan melakukan kontroling untuk memastikan seluruh rakyatnya mendapat bantuan.

Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bingung Khattab dalam menangani kelaparan di masa krisis yang terjadi di Jazirah Arab pada tahun 18 H. Beliau langsung mengambil langkah-langkah tepat dan cepat. Solusi yang tuntas dan menyeluruh, bukan solusi tambal sulam. Apalagi hanya sebatas basa basi dan pencitraan.

Sikap khalifah Umar bin Khattab saat mengatasi kelaparan di masa krisis, yakni:

Pertama, beliau menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi dengan tidak bergaya hidup mewah, makan pun seadanya. Bahkan jenis makanan yang dimakannya sama dengan rakyat yang paling miskin bahkan lebih dari itu. Dan hal itu pun diterapkan pada keluarganya.

Kedua, memerintahkan lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan rakyat untuk segera bergerak cepat memberikan bantuan kepada rakyat. Khalifah sendiri yang bekerja dalam posko-posko dan memastikan semua berjalan optimal.

Ketiga, meminta bantuan ke wilayah negara lainnya yang kaya dan mampu memberi bantuan, ketika melihat kondisi keuangan baitul mal tidak mencukupi untuk menanggulangi krisis. Sebagai contoh Khalifah Umar mengirimkan surat ke beberapa gubernur di wilayah negara untuk mengirimkan bantuan ke pemerintah pusat.

Sungguh, reaksi yang diberikan pemimpin Khilafah terasa sangat jauh sekali dengan pemimpin hari ini. Penanganan bansos sangat lamban, birokrasi yang bertele-tele, dan masih saja sibuk melakukan pencitraan di tengah pandemi. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi kapitalis. Sudah saatnya kembali kepada aturan Sang Khalik, aturan Allah SWT. Sudah saatnya, kembali menerapkan hukum Islam secara kaaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah, yang dengannya lahir para Negarawan sejati yang akan mengemban tugasnya dengan amanah dan penuh tanggung jawab. Sosok pemimpin yang mencintai rakyatnya dan dicintai rakyatnya. Wallahu a’lam bish-shawab.