Kebijakan Berdamai dengan Corona, Solusi yang Membingungkan

Inayah bersama anak

Di tengah pandemi Corona, yang angkanya masih mengalami kenaikan, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan bagi rakyat Indonesia. Sebagaimana yang dilansir oleh laman, CNN Indonesia (09/05/2020) Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui akun resmi media sosialnya, pada Kamis (7/5), meminta agar masyarakat bisa berdamai dan berdampingan dengan Covid-19 hingga vaksin virus ditemukan.

Sontak saja, pernyataan presiden Joko Widodo tersebut menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Meskipun akhirnya, pernyataan Jokowi itu diluruskan oleh Deputi Bidang protokol pers, dan media sekretariat presiden Bey Machmudin. Bey menyatakan, maksud berdamai dengan Corona sebagaimana yang dikatakan Jokowi itu adalah menyesuaikan dengan kehidupan, yang artinya masyarakat harus tetap produktif di tengah pandemi covid-19.

Iklan ARS

Pernyataan Jokowi tersebut membuat berbagai kalangan bingung bahkan menuai kritikan pedas. Salah satunya dari analis politik Pangi Syarwi Chaniago, direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, yang mengatakan ajakan Presiden Jokowi ini bisa dimaknai bahwa pemerintah putus asa, sebagai indikasi pemerintah telah berputus asa dalam menangani virus dan sudah tidak sanggup lagi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Kebijakan ini juga dinilai sebagai kebijakan yang plin-plan, kemarin menakuti rakyat untuk tidak mudik, sekarang dilonggarkan, kemarinnya pesawat dan transportasi dilarang beroperasi, sekarang dibolehkan. Publik bertanya-tanya ada apa dengan pemerintah?

Berdamai dengan Corona saat belum ada vaksin? Vaksin Covid-19 belum menunjukkan adanya tanda-tanda ditemukan. Asosiasi Rumah sakit Swasta Indonesia (ARSSI) cabang Bekasi mengaku khawatir dengan pernyataan Presiden Jokowi ini. Ketua ARSSI cabang kota Bekasi, Dokter Eko S. Nugroho menegaskan bahwa saat ini Indonesia tidak bisa berdamai dengan Corona Lantaran tenaga medis yang menjadi korban dan terinfeksi virus semakin banyak, dan korban masyarakat pun makin meningkat belum menunjukan penurunan.

Di tengah situasi pelik, penguasa yang diharapkan menjadi pelindung dan menjadi sandaran rakyat dalam mengatasi virus ini, dan penenang hati di kala lara, justru melontarkan kebijakan yang membingungkan dan menegaskan inkonsistensi kebijakannya. Imbauan ‘hidup damai dengan Corona’, sungguh tidaklah pantas dan tidak tepat dikeluarkan oleh seorang penguasa dalam kondisi genting seperti ini, apapun tujuannya.

Seorang penguasa seyogyanya wajib mengupayakan dengan segala cara agar dapat menjaga keselamatan nyawa rakyatnya, terlebih di saat terjadi pandemi. Seorang penguasa tentu wajib berjuang sekuat tenaga agar tidak bertambah korban jiwa. Penguasa juga wajib berupaya keras menemukan vaksin untuk menangkal Covid-19, dengan mengerahkan sumber daya manusia dan juga sumber daya alam dalam mendanai para peneliti untuk menemukan vaksinnya, sehingga para peneliti dengan mudah dapat melakukan risetnya dan segera ditemukan vaksinnya.

Namun, sungguh ironis memang, dalam demokrasi kapitalis yang bercokol di negeri ini, telah melahirkan penguasa yang abai dan lalai serta gagal dalam menjamin keselamatan dan keamanan serta perlindungan pada rakyatnya. Hitungan untung dan rugi yang menjadi pertimbangan sistem kapitalisme, menjadi negara dan penguasa yang plin-plan, berubah-ubah dalam mengeluarkan kebijakan meskipun nyawa rakyat yang menjadi taruhannya.

Berbeda dengan sistem Islam, sebagai sebuah ideologi, yang memiliki pemikiran dan jalan keluar dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan, termasuk bagaimana Islam mengatasi virus Covid-19 ini. Karena pemerintah dalam Islam adalah ra’in (sebagai pengurus rakyat). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Al-Imam ra’in wa huwa mas ul(un) ‘an ra’iyyatihi (imam/khalifah/kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya). ( HR al-Bukhari)

Dulu, ketika wabah penyakit terjadi di masa kepemimpinan negara Islam di bawah Khalifah Umar bin Khaththab ra yang berpusat di Madinah, negara Islam juga tidak lepas dari krisis ekonomi. Beliau langsung memerintahkan pendirian posko-posko bantuan, kemudian membagikan makanan dan pakaian langsung kepada rakyat yang jumlahnya mencapai enam puluh ribu orang.

Kemudian para ilmuwan mendapatkan dana bagi penelitian yang besar dari Baitulmal (lembaga keuangan negara khilafah saat itu). Dan didukung langsung oleh Khalifah, sehingga mereka bisa fokus dengan penelitian dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dana wakaf berkontribusi hampir 30% dari pemasukan Baitulmal. Besarnya dana ini membuat layanan penelitian kesehatan maju karena tidak ada beban untuk mengembalikan “keuntungan”. Dalam Islam juga akan menjadikan ilmu pengetahuan tentang virus sebagai ladang pahala, sehingga dikembangkan dengan prosedur seefektif mungkin untuk kepentingan sebesar-besarnya umat manusia.

Catatan sejarah ini menunjukan bahwa negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warga dari penyakit, tanpa memandang status sosialnya. Sehingga warga negaranya terjaga dari berbagai penyakit dan terpenuhinya seluruh kebutuhan asasinya.

Maka dari itu , mari kita wujudkan kembali sistem Islam yang mengikuti contoh Rasulullah saw. dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat. Dan kita campakkan sistem kapitalis demokrasi yang telah nyata gagal dalam menjaga dan melindungi rakyatnya.
Walahu a’lam bi-ashawab.

Oleh : Inayah
Ibu Rumah Tangga