Solusi Tuntas Mengatasi Problem Ketenagakerjaan

Anhy Hamasah Al Mustanir

Dampak pandemi Covid-19, selain menyasar sektor kesehatan, juga memukul perekonomian. Khususnya keberlangsungan pekerjaan dan pendapatan masyarakat Indonesia. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Ketenagakerjaan, Ngadi, menyebutkan ada sekitar 15,6 persen dari tenaga kerja buruh/karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini berdasarkan hasil survei yang dilakukan secara daring pada 2.160 responden di periode 24 April – 2 Mei.

Sementara itu, dari sektor lapangan kerja paling banyak atau sebesar 29,3 persen PHK terjadi di sektor konstruksi dan bangunan. Menyusul setelahnya 28,9 persen dari sektor perdagangan, rumah makan, dan akomodasi. Kemudian 28,6 persen berasal dari sektor pertambangan penggalian. “Kemudian kalau kita lihat yang terendah, yang tidak terlalu banyak PHK, ini adalah di sektor pertanian di 4,1 persen, kemudian ada juga jasa kemasyarakatan ini relatif lebih rendah di banding sektor-sektor yang lain,” kata dia.

Iklan ARS

Bahkan, data informasi Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 mencatat sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Hal ini terjadi karena sejumlah perusahaan mengalami penurunan produksi bahkan berhenti berproduksi. (Merdeka.com. 20/5/2020).

Gelombang PHK massal yang terjadi dikala Pandemi saat ini, telah menambah banyak pengangguran di Indonesia. Hal itu, sejalan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan jumlah pengangguran di Indonesia bertambah menjadi 6,88 juta orang pada Februari 2020. Angka ini naik 60.000 orang 0,06 juta orang dibanding periode yang sama tahun lalu. Bahkan angka pengangguran ini belum dihitung sebelum pandemi virus corona merebak di Indonesia. Maka dapat dipastikan jika pengangguran setelah pandemi dua kali lipat lebih banyak ketimbang sebelum virus Corona ini merebak.

Tingginya tingkat pengangguran jelas mencemaskan. Salah satunya karena berpotensi menciptakan gejolak sosial. Tengok saja, setiap hari media massa menurunkan berita-berita kriminalitas. Bahkan, Jakarta telah diyakini sebagai kota yang makin tidak aman dari hari ke hari. Selain itu, pengangguran berarti menurunkan bahkan menghilangkan penghasilan masyarakat juga menciptakan ancaman terhadap kelangsungan pendidikan anak bangsa dan juga keterjaminan pasokan gizi yang memadai bagi mereka.

Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai masalah ketenagakerjaan, khususnya masalah pengangguran?

Kewajiban Bekerja
Allah SWT, telah mengaruniakan bumi dan seisinya untuk dimanfaatkan oleh manusia menurut ketentuan syariat yang Ia turunkan. Allah SWT berfirman:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu, berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kalian (kembali setelah) dibangkitkan. ” (TQS al-Mulk : 15).

Dan salah satu cara yang telah diizinkan oleh syariat agar manusia dapat memiliki harta dan jasa yang telah Allah limpahkan adalah dengan bekerja (ijârah/perburuhan). Dalam hal ini, seorang manusia baik Muslim ataupun non-Muslim, dapat bekerja pada orang lain dengan memberikan jasa atau manfaat pada pihak yang mempekerjakannya musta’jir atau dengan adanya ujrah (upah) dalam koridor hukum syariat. Seseorang tidak diperkenankan memberikan manfaat atau jasa yang terbilang haram, seperti menjadi perempuan penghibur, pembunuh bayaran, begal dan sebagainya. Sementara itu, majikan harus senantiasa menepati pembayaran upah yang telah disepakati bersama.

Bekerja dalam pandangan Islam bukanlah semata untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga merupakan perintah agama yang memberikan pahala bagi mereka yang melakukannya. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari yang dihasilkan tangannya (bekerja).”(HR Muhammad bin al-Hasan dalam kitab Al Iktisâb fî ar-Rizqi Mustathab).

Lebih dari itu, Islam juga menempatkan aktivitas bekerja sebagai sebuah kewajiban bagi kaum pria. Sebagaimana firman Allah SWT: ” Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (TQS al-Baqarah : 233). Oleh sebab itu, mereka yang melalaikan kewajiban tersebut berarti telah bermaksiat kepada Allah.

Negara dan Lapangan Kerja
Syariat Islam juga memberikan sejumlah tanggung jawab kepada negara untuk menjamin kehidupan setiap warga negara, Muslim ataupun non-Muslim. Dalam hal ini, negara juga harus mencegah terjadinya pengangguran, yakni dengan cara menyiapkan lapangan kerja bagi warga negara agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa pernah ada seorang pria yang mendatangi Rasulullah saw, dan meminta sedekah. Nabi saw. tidak memberinya sedekah melainkan memberinya kapak dan menyuruhnya pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar untuk menafkahi keluarganya. Beberapa hari kemudian orang itu datang menghadap Rasulullah dan menceritakan bahwa ia telah memperoleh dua belas dirham untuk nafkah keluarganya. Rasulullah saw. bersabda, “Ini lebih baik daripada meminta-minta dan mendapat aib di Hari Pengadilan kelak.”

Negara juga berkewajiban mendorong kaum pria untuk bekerja dan mencegah terjadinya sikap malas dan fatalistis yakni pasrah pada keadaan. Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khathab r.a. pernah mengusir sekelompok orang yang duduk-duduk di mesjid dan enggan bekerja. Sambil mengusir, Umar r.a. memberi mereka segenggam biji-bijian untuk mereka tanam.

Pengangguran tidak akan terjadi bila perekonomian dalam keadaan kondusif. Oleh karena itu, negara juga berkewajiban menerapkan sejumlah kebijakan (hukum syariat) yang akan menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dan mencegah terjadinya kerusakan perekonomian. Hukum-hukum syariat itu antara lain:
Melarang terjadinya penimbunan harta (kanz al-mal). Sebagaimana firman Allah Swt:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (TQS at-Taubah :34).
Selain itu, penumpukan uang tanpa tujuan untuk dibelanjakan lagi akan mencabut uang itu dari peredarannya di masyarakat dan itu berarti akan mengganggu kelancaran roda perekonomian. Produksi dan konsumsi bakal tersendat bahkan terhenti.
Disisi lain, Allah melarang adanya paraktek riba dalam bentuk apapun. Riba adalah musuh Allah dan RasulNya. Allah SWT berfirman:
“Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (TQS al-Baqarah : 279).

Riba atau yang kini lazim disebut bunga (interest) adalah kejahatan ekonomi. Riba telah menjerumuskan masyarakat pelaku ekonomi dalam kesulitan besar dan hanya menguntungkan sedikit orang. Riba juga memiliki andil besar dalam memacetkan roda perekonomian masyarakat serta menurunkan minat investasi dan daya beli masyarakat. Bahkan Pigou, seorang ekonom Barat, mengatakan bahwa suku bunga telah mendorong siklus ekonomi masyarakat di Barat ke dalam siklus terendah, atau apa yang disebut krisis. Sebaliknya, ketika suku bunga diturunkan justru ekonomi kembali bergerak maju.

Olehnya itu, negara harus memberikan kemudahan kepada rakyat untuk berusaha. Negara memberikan fasilitas atau kemudahan kepada siapapun warga negara tanpa pilih kasih untuk berusaha, baik dalam bidang pertanian, perdagangan, industri, maupun jasa. Negara tidak membebani para pengusaha dengan biaya administrasi dan pajak apapun, baik untuk perizinan maupun untuk aktivitas usaha. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di atas menunjukkan adanya hal itu. Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah memberikan modal sarana produksi pertanian kepada para petani di Irak tanpa diminta pengembalian dari mereka.

Meningkatkan kualitas pendidikan untuk memudahkan pencapaiannya.
Salah satu masalah ketenagakerjaan yang terjadi adalah rendahnya kualitas tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh rendahnya mutu pendidikan dan mahalnya biaya pendidikan. Dua hal inilah yang menyebabkan lemahnya daya saing masyarakat di sektor ketenagakerjaan. Karena itulah, Maha benar Allah yang telah mewajibkan pendidikan dan mewajibkan negara untuk menyelenggarakannya dengan sebaik-baiknya dan cuma-cuma.
Masih banyak lagi kebijakan syariat Islam yang harus diterapkan negara untuk menanggulangi masalah ketenagakerjaan, termasuk di antaranya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok kepada setiap warga negara yang belum memiliki nafkah sampai ia mampu menafkahi dirinya dan keluarganya. Dan juga negara menjamin kebutuhan kolektif masyarakat yang asasi, yaitu memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan jaminan keamanan yang gratis kepada seluruh warga negara, baik miskin maupun kaya. Dengan ini para karyawan tidak perlu dipotong gajinya untuk membayar polis BPJS atau asuransi apapun. Dan pengusaha juga tidak akan dipusingkan oleh berbagai tuntutan karyawan di luar gaji yang telah disepakati, karena berbagai jaminan itu telah menjadi tanggungjawab negara untuk seluruh warga negara.

Selain itu, Negara wajib untuk mengambil langkah-langkah tersebut karena memang ia adalah institusi resmi dalam pandangan syariat untuk mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Dengan menerapkan aturan Islam itu, hubungan ketenagakerjaan antara karyawan dengan majikan akan menjadi harmonis dan saling mengambil manfaat secara adil, bukan saling mengeksploitir dan merugikan.

Sebaliknya, perbedaan menonjol pada sistem kapitalisme yang justru membuat negara tidak ikut campur dalam masalah ketenagakerjaan dan membiarkan bumasyarakat harus menghidupi diri mereka sendiri. Kapitalisme juga memberlakukan prinsip survival of the fittest, siapa yang kuat ialah yang selamat, sementara yang lemah akan tersingkir dari kehidupan.


Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir (Pemerhati Media)