Belum selesai pandemi Covid-19, kini pemerintah tengah memberlakukan New Normal atau kehidupan normal baru. Padahal, penyebaran virus corona masih mengalami kenaikan. Masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa tapi tetap dengan menerapkan protokol kesehatan, itulah yang dimaksud dengan kehidupan normal baru. Namun, apakah kebijakan New Normal ini bisa efektif dilakukan sehingga tidak akan menambah jumlah korban?
Banyak kalangan menilai bahwa New Normal yang akan diberlakukan pemerintah terkesan terburu-buru di tengah kondisi masih meningkatkan korban positif virus corona. Sebagaimana dilansir dari Kanalkalimantan.com, Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus Covid-19 di Tanah Air masih tinggi.
Ridwan menjelaskan, setiap negara pasti akan memikirkan dua hal, yakni bagaimana menangani Covid-19 dan bagaimana roda perekonomian tetap berjalan. Diandaikan sebagai piramida, sebuah negara akan menyelesaikan masalah keamanan dan kesehatan publik. Lalu ketika pandeminya sudah dapat dikendalikan, barulah masuk ke konsen ekonomi.
Kalau melihat dari piramida itu, Indonesia justru langsung lompat ke tahap kedua, yakni memikirkan menjalankan roda perekonomian meski pandemi Covid-19 belum selesai. Sedangkan, Indonesia masih di puncak bahkan belum mencapai puncak tapi sudah mau implementasi, jadi terlalu dini (28/05/2020).
Sejalan dengan itu, dilansir dari Merdeka.com, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia, belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari (25/05/2020).
Melihat semakin meningkatnya korban positif corona seharusnya pemerintah tidak terburu-buru menerapkan kehidupan normal baru. Bukannya penurunan angka kematian yang akan terjadi justru sebaliknya, akan semakin banyak angka kematian akibat Covid-19. Ditambah dengan kebijakan akan dibukanya kembali sekolah. Inilah kebijakan pemerintah agar rakyat bisa berdamai dengan Corona. Miris!
Meskipun protokol kesehatan dilakukan mulai dari menjaga kebersihan, selalu mencuci tangan, menggunakan handsanitizer, memakai masker, physical dan social distancing, juga harus selalu menjaga kesehatan untuk menjaga imunitas tubuh, hal itu tidak bisa menjamin dapat melandainya jumlah korban hingga new normal life bisa diberlakukan.
Sebagai contoh, di negara Korea Selatan sudah memberlakukan new normal selepas kurva infeksi menurun. Nyatanya tak bisa bertahan lama. Bahkan terjadi lonjakan infeksi terbesar. Sehingga diterapkan kembalikan pembatasan sosial hingga 14 Juli.
Lembaga dunia WHO pun telah mengeluarkan beberapa pedoman yang harus diperhatikan pemerintah jika ingin menerapkan new normal. Pedoman tersebut yaitu: pertama, bukti yang menunjukkan bahwa transmisi Covid-19 dapat dikendalikan. Sementara yang terjadi di lapangan justru belum bisa dikendalikan, bahkan seperti kota Surabaya penambahan positif setiap harinya terus meningkat sampai mengalami zona hitam.
Kedua, kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit yang tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina, nyatanya masih banyak rumah sakit dengan alat seadanya. Bahkan, alat pelindung diri pun tak disiapkan pemerintah. Ruangan isolasi juga tidak mampu menampung lonjakan pasien.
Dari fakta itu, benarkah Indonesia telah layak untuk menerapkan kebijakan new normal? Nyatanya, di lapangan, antara upaya mengurangi jumlah kasus corona dengan kebijakan yang ada seolah tak sejalan. Sebab, upaya yang ada seakan menunjukkan untuk menormalkan kondisi ekonomi yang sedang terpuruk saat ini. Sementara kasus corona belum menurun jumlahnya.
Selain itu, tak diiringinya peningkatan penanganan dari aspek kesehatan justru akan membahayakan manusia. Alih-alih menumbuhkan kembali sektor ekonomi, justru mengundang kemungkinan gelombang kedua kasus peningkatan Covid-19.
Kepentingan ekonomi tersebut pun dapat tercium dengan diberlakukannya new normal life oleh pembuat kebijakan. Seperti yang diketahui bahwa sumber penghasilan negara terbanyak berasal dari pajak. Sebagaimana per April 2020 penerimaan pajak baru 30% dari target. Realisasinya hingga saat ini baru mencapai Rp 376,7 triliun. Sehingga, ketika roda ekonomi berjalan lagi, maka pemasukan pemerintah dari pajak pun berjalan. Tidak heran jika para kapitalis akan lebih diuntungkan meskipun nyawa rakyat akan menjadi taruhannya.
Di samping itu, lonjakan impor di tengah wabah makin tak terkendali. Sebagaimana dilansir dari Kompas.com, Prihasto Setyanto mengatakan bahwa volume impor bawang putih mencapai 38,62 persen dari total nilai impor seluruh jenis sayuran. Disusul kentang olahan industri, bawang bombai, dan cabai kering.
Hal ini juga dipermudah dengan adanya Perpres No. 58 Tahun 2020. Dalam Perpres tersebut, Jokowi mengatur penyederhanaan impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku.
Jadi bisa dikatakan kebijakan yang ada saat ini belum menunjukkan usaha signifikan untuk benar-benar mengurangi wabah.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam keselamatan jiwa rakyat menjadi hal yang utama. Seperti dalam sebuah hadis, Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai).
Karena negara tidak akan mengorbankan nyawa rakyat demi kepentingan ekonomi, apalagi untuk para kapitalis. Negara akan mengeluarkan dana besar untuk membantu memenuhi kebutuhan masyarakat di saat masa pandemi seperti sekarang ini, bahkan tidak hanya memenuhi kebutuhan tetapi menyediakan berbagai fasilitas kesehatan yang memadai dan pastinya dapat dinikmati secara cuma-cuma, tanpa dipungut biaya baik oleh muslim maupun non muslim.
Upaya menyelesaikan wabah pun telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, yaitu dengan isolasi wilayah sehingga mencegah penyebaran yang akan meluas. Khalifah Umar juga mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat. Ia mengirimkan surat ke beberapa Gubernurnya di beberapa daerah seperti Abu Musa di Basrah, Amru bin Ash di Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Saad bin Waqs di Iraq, untuk mengirimkan bantuan kebutuhan pokok ke Madinah. Solidaritas antar daerah ini diberikan masyarakat guna mendukung kehidupan warga Madinah.
Selanjutnya Khalifah Umar juga menghimbau kepada masyarakat untuk hemat dalam konsumsi. Kalifah Umar melarang warganya di tahun itu untuk menyajikan minyak samin dan daging dalam satu hidangan. Sekalipun Umar yang dulu terbiasa menyantap susu, samin, dan daging dalam keadaan normal dan stabil, namun sejak musim paceklik hanya menyantap minyak zaitun. Bahkan tak jarang pengganti Khalifah Abu Bakar As-Siddiq justru mengalami kelaparan.
Inilah berbagai kebijakan pemerintah di dalam sistem Islam. Semua itu dilakukan karena tanggung jawab mereka sebagai pemimpin, yakni mengurusi urusan rakyatnya. Karena amanah tersebut akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt. kelak.
Dengan demikian, sulit berharap wabah ini akan segera berakhir, jika kepentingan ekonomi lebih dikedepankan daripada keselamatan masyarakat. Oleh karena itu, mari kembali pada aturan Islam seperti yang telah dicontohkan para khalifah terdahulu. Wallahu ‘alam.
Oleh: Hasriyana
(Aktivis Perempuan dan Pemerhati Sosial asal Konawe, Sultra)