Gepeng Menjamur, Buah Sistem Kapitalisme

Irayanti

Gepeng singkatan dari gelandangan dan pengemis mulai semakin marak dan nampak di kota bertakwa (Kendari). Di masa pandemi korona, keberadaan gelandangan dan pengemis di kota Kendari bukannya berkurang justru kian bertambah. Terkadang alasannya adalah kemiskinan.

‘Kemiskinan’ merupakan padaw-nan kata yang menjadi masalah tak kunjung usai di negeri Indonesia yang ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’. Kemiskinan inilah kemudian memicu setiap orang untuk melakukan segala cara agar bisa menghasilkan materi. Tak ayal, menjadi gelandangan dan pengemis pun dilakoni demi sesuap nasi.

Iklan Pemkot Baubau

Gepeng oh Gepeng
Para gepeng di kota Kendari biasanya berkumpul di pinggir jalan terutama di area traffic light. Saat lampu merah, mereka mulai beraksi dengan berbagai modus mulai menjajakan tisu, mengamen, mengelap kendaraan dan meminta sumbangan. Namun, ada pula yang secara terang-terangan meminta-minta.

Keberadaan mereka cukup membahayakan pengendara yang melintas. Sebab mereka kerap merobos jalan. Untuk itulah, salah satu anggota DPRD Kota Kendari Ilham Hamra, mendesak Pemkot untuk segera melakukan penertiban kepada para gepeng dan para pedagang yang berhamburan di pinggir jalanan. Menurutnya, penertiban gepeng dan penjual sangat penting. Pasalnya, para pengamen yang ada dijalan beberapa masih di bawah umur, yang diduga telah dieksploitasi oleh orang-orang tertentu secara terorganisir. (Kendaripos.co.id,10/06/2020)

Kota Kendari sebenarnya telah banyak melakukan penertiban atau razia gepeng. Namun, seperti yang telah dikatakan oleh Kepala Satpol-PP Kota Kendari Amir Hasan bahwa pihaknya bersama Dinsos dan jajaran Polres Kendari telah maksimal dalam melakukan razia. Puluhan gepeng terjaring razia tiap bulannya. Hanya saja, gepeng terus saja bermunculan bahkan rata-rata adalah pemain lama. Padahal pembinaan juga telah dilakukan namun sayang sungguh sayang mereka kembali turun ke jalan lagi.

Kapitalisme dan Gepeng
Gelandangan diartikan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan pengemis diartikan sebagai orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain.

Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan si pengemis, sebab motif mereka bisa jadi karena terpaksa sebab tidak ada nasi yang bisa mengenyangkan perut, dipaksa atau karena memang malas. Jika kita melihat fakta yang ada, penyelesaian persoalan gepeng tidak cukup dengan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada masyarakat dan pelatihan bagi para gepeng. Buktinya gepeng malah semakin bertambah dan tak jera. Problem sosial ini ada akar masalahnya.

Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), penggelandangan sendiri merupakan bentuk kegagalan negara memenuhi kesejahteraan warga. Padahal pemerintah memiliki kewajiban sepertu tertuang pada pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Hal ini, mengonfirmasikan bahwa tidak pernah terealisasikan amanat pembukaan UUD 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum, Lalu apakah mesti belajar lagi berdemokrasi dan berpancasila sedangkan negara ini pun sudah melewati usia remaja. Tampuk kekuasaan berganti, peraturan terubah-ubah namun masyarakat tidak pernah sejahtera malah semakin mengguritanya gepeng (kemiskinan).

Mengguritanya gepeng adalah suatu kewajaran, karena sistem negeri ini menganut sistem demokrasi-kapitalisme. Sebuah sistem yang memainkan percaturan kehidupan adalah dia yang berduit, jika tidak berduit maka akan terpinggirkan. Siapa yang berduit ia senang, yang tidak berduit ia malang.

Di kota Kendari sendiri dan secara umum Sulawesi Tenggara yang notabenenya banyak tambang malah menerima TKA yang tidak jelas ahli ataukah tidak serta visa yang digunakan. Miris!

Cara Menuntaskan Gepeng
Sistem kapitalisme membiarkan warga miskin berjuang sendiri dalam memenuhi hajatnya. Entah mengemis atau menggelandang, terpaksa maupun dipaksa demi sesuap nasi dilakukan. Dalam sistem saat inipun rakyat hanya dibutuh suaranya tiap 5 tahun di bilik suara, money politic menjadi pelicinnya setelah itu rakyat dinomorduakan. Karena yang terpenting adalah kepentingan para kapitalis (pemilik modal). Maka tidak dapat dipungkiri kekayaan alam kita pun dikuasai oleh para kapitalis atau swasta.

Berbeda dengan sistem Islam, yang memiliki kewajiaban memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. sehingga warga yang tak mampu akan dibantu dalam pengurusan hajatnya. Kebutuhan pokok bukan hanya sandang, pangan, dan papan, tapi juga kesehatan, keamanan dan pendidikan. Bahkan orang yang tidak bekerja akan diberi pekerjaan oleh negara, para janda dan anak yatim akan dibiayai oleh negara.Itu semua dijamin oleh negara yang menjadikan Islam sebagai sumber hukum tertinggi dalam negara bukan aturan manusia. Karena sungguh setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak dihadapan Allah SWT.

Rasulullah mengingatkan dalam sabdanya:
”Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kembali kepada aturan Islamlah sebaik-baik aturam bagi manusia. Dan hanya dalam pemerintahan Islam (Khilafah) semua hal itu akan terwujud.
Wallahu a’lam bi showwab

Oleh : Irayanti
(Pemerhati Sosial)