Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun. Realisasi itu baru mencapai 41,7 persen dari target pembiayaan 2020 sebesar Rp852,9 triliun. Namun, kenaikannya sangat pesat, yakni mencapai 122,6 persen dari catatan pada Mei 2019 yang hanya mencapai Rp159,9 triliun.
“Ini terjadi kenaikan 122,6 persen dibanding tahun lalu,” kata Sri saat konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta Mei 2020, Selasa, 16 Mei 2020. Meningkatnya pembiayaan APBN itu, kata dia, dikarenakan defisit APBN Mei 2020 yang mencapai Rp179,6 triliun atau mencapai 1,10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit itu naik 42,8 persen dari catatan Mei 2019 sebesar Rp125,8 triliun. “Dengan defisit yang naik, saya sudah sampaikan jumlah realisasi pembiayaan kita Rp356,1 triliun,” tutur Sri.
Merampas rasa aman
Defisit adalah problem universal, akselerasi defisit anggaran terjadi karena pengeluaran Negara melonjak sementara pemasukan kian anjlok selama pandemi Covid-19.
Utang dianggap sebagai pendapatan negara juga sebagai bentuk kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah. Padahal utang luar negeri sangat berbahaya bagi negara yang berutang, berkaca pada konsekuensi yang diterima Srilanka atas uluran tangan Negeri tirai bambu. Negara di kawasan Asia Selatan tersebut terpaksa menjual pelabuhan strategisnya, Hambantota karena tidak mampu membayar utang ke China.Untuk Indonesia sendiri, utang luar negeri ini sudah sangat membebani APBN. Indikasinya bisa dilihat dari aspek penerimaan maupun pengeluaran APBN. Dari sisi penerimaan, sumber utama RAPBN berasal dari pajak yang diambil dari rakyat kian meningkat dari tahun ke tahun.
Adapun dari sisi pengeluaran, APBN selalu dibebani oleh anggaran pembayaran hutang luar negeri yang natabene berbasis praktek ribawi. Di sisi lain rakyat harus mengalami reduksi subsidi, alhasil pribumi harus gigit jari menghadapi pahitnya kondisi ekonomi.
Ketika utang negara sudah semakin membesar, ini akan menjadi beban bagi generasi mendatang dan negara akan kehilangan pengaruh politis dalam percaturan global. Negara sulit untuk menjadi kuat dan mandiri karena mudah didikte oleh asing melalui memaksakan kehendak dan kebijakan strategis mereka yang sangat merugikan negara. Fenomena ini seyogianya tak perlu terjadi jika negara tidak berada dalam pusaran kapitalisme.
Negeri Berkah Tanpa Utang
Semua pasti merindukan Indonesia yang mandiri dan berdaulat dimata dunia. Untuk itu harus ada upaya membangun kesadaran umat bahwa utang tidak lain adalah jerat kapitalis yang merampas rasa aman, mencengkram negeri dan mengancam kedaulatan negara. Apa solusinya agar negara tidak semakin terlilit utang?
Mekanisme kebijakan fiskal Bayt al-Mal, sebuah sistem keuangan negara berbasis syariah.
Intitusi ini secara khusus mengatur harta yang diterima negara dan mengalokasikannya untuk kaum muslim. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Mal kaum Muslim.
Pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Mal terdiri dari yaitu fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam. Kemudian harta milik umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari‘ kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Salah satu sumber pendapatan yang akan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah kekayaan alam yang berlimpah yang ditetapkan Allah sebagai kepemilikan umum, yang dimiliki oleh seluruh rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air dan api.” (HR Sunan Abu Daud, no 3745)
Selain itu diperintahkan pula untuk mengeluarkan zakat bagi orang kaya yang diperuntukkan bagi fakir miskin. Syariat Islam sudah mengaturnya dengan sangat rinci dan secara tegas melarang praktek ribawi. Tinggal menunggu agar kita mau berendah hati untuk mempelajari, meyakini, dan mengamalkan untuk kemaslahatan umat. Wallahu a’lam.
Oleh: Izzah Saifanah – Pegiat Media Kolaka