Seakan tidak pernah habis beban yang harus dirasakan rakyat jelata di negeri tercinta ini. Belum usai dari kasus pandemi corona yang berdampak pada beban hidup yang semakin sulit, iuran BPJS yang mengalami kenaikan, iuran TAPERA, tagihan listrik melonjak. Kini rakyat dipersulit lagi dengan adanya tes corona yang mahal dan mirisnya sampai memakan korban nyawa.
Seperti yang diketahui memasuki new normal pemerintah mewajibkan setiap warga memiliki surat keterangan negatif virus jika ingin bepergian atau memasuki suatu kota di Indonesia. Maka masyarakat mau tidak mau harus melakukan tes mandiri. Namun banyak warga yang mengeluhkan mahalnya pembayaran rapid test dan swab tes tersebut.
Bayangkan saja untuk biaya rapid test mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain. Masa berlaku rapid test hanya tiga hari, dan swab test tujuh hari. Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang. Bahkan tiap daerah dan rumah sakit juga berbeda-beda tarif pembayaran untuk sekali test corona.
Miris, tingginya biaya tes disebut telah menelan korban di masyarakat seperti dilansir dari laman berita makassar.kompas.com, 19/6/2020 seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan.
Menanggapi Uji tes covid-19 baik melalui rapid maupun swab test yang berbayar mahal ini menimbulkan dituding telah “dikomersialisasikan” oleh Pengamat kebijakan publik, hingga dia mendorong pemerintah untuk menggratiskan biaya tes virus corona.
Kalau pun tidak memungkinkan, pemerintah dinilai perlu melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap harga tes Covid-19 sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. (id.today 20/6/2020).
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Pertaonan Daulay meminta pemerintah mengevaluasi penyelenggaraan tes COVID-19, seperti rapid testdan polymerase chain reaction (PCR). Biaya tes corona tidak terjangkau masyarakat karena terlalu mahal, sehingga tidak memenuhi asas keadilan.
Menurutnya harga yang mahal memberatkan masyarakat, karena hampir semua orang butuh tes ini, (SINDOnews, Selasa, 23/6/2020).
Ya, sungguh kondisi saat ini serba dilematis dimana rakyat selalu jadi korban dalam pelaksanaan kebijakan dari pemerintah.
Di tengah kondisi yang tidak menentu seperti ini, adanya tarif dan harga yang fantastis untuk rakyat jelata dan simpang siurnya harga test corona, namun pemerintah terkesan membiarkan dan tutup mata.
Seharusnya dalam situasi ini pemerintah hadir memberikan dan memfasilitasi biaya rapid test dan PCR. Sebab pemerintah sendiri yang mewajibkan masyarakat menyertakan dokumen tersebut dalam beberapa urusan tertentu.
Maka wajar jika rakyat mempertanyakan di mana keberadaan dan perlindungan negara saat ini pada rakyat? Apalagi seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa anggaran negara untuk penanganan covid-19 sangat melimpah 600T lebih.
Andai seluruh rakyat Indonesia melakukan test corona hanya akan menghabiskan dana 40T kata Kiyai Cholil Dosen Pascasarjana UI dalam cuitan di akun twitter beliau yang dikutip id.today 21/6/2020.
Dengan dana 600T tersebut harusnya rakyat bisa untuk digratiskan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun faktanya test corona seperti dikomersilkan karena pemerintah tidak segera menetapkan harga standar atas tes yang dilakukan di luar rumah sakit rujukan. Dari kasus ini sangat terlihat bahwa standar kapitalis sangat dominan dalam menilai dan menempatkan negara sebagai regulator, bukan penanggung jawab (raa’in).
Ini bukan satu kasus yang negara terkesan lepas tangan terhadap nasib rakyat, mulai pemenuhan kebutuhan saat wabah yang minim, hingga mendapatkan surat sehat terhadap corona saja rakyat harus membayar mahal hingga menimbulkan korban nyawa.
Beginilah penguasa dalam sistem kapitalis, penguasa abai dan minim tangungjawab. Rakyat dibiarkan mengurusi diri sendiri dalam serba kesulitan hidup yang disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis sekuler.
Sangat berbeda bagaimana pelayanan dan pengurusan rakyat menurut sistem Islam. Negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan dan pelayanan terhadap kesehatan rakyat.
Sebab penguasa dalam Islam fungsinya yang begitu vital, sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Sepanjang sejarah penerapan syariah Islam dalam sistem bernegara melahirkan para pemimpin yang amanah, bertanggungjawab terhadap kemaslahatan rakyat, prioritas utama untuk rakyat.
Kepemimpinan yang super hero terbukti, tatkala penyelesaian wabah pandemi dialami rakyat saat kepemimpinan Islam.
Penerapan lockdown atau karantina total, pemenuhan kebutuhan rakyat hingga wabah cepat berakhir.
Untuk penyelenggaraan test kesehatan maka pastinya khalifah atau pemimpin Islam akan mengerahkan segenap tenaga medis dan peralatan yang canggih serta berbiaya gratis. Karena ini menyangkut maslahat umat yang wajib diberikan oleh negara dan pemimpinnya.
Dan pastinya tidak akan terjadi komersialisasi, sebab negara wajib mengurus rakyat dengan sebaik-baik pengurusan.
Negara akan menindak dan memberikan sanksi kepada siapa saja yang melakukan tindakan penyelewengan tugas dan wewenang, apalagi melakukan pemalakan pada rakyat. Namun ini tidak akan didapatkan sebab dalam sistem Islam keshalihan dan ketakwaan menjadi dasar perekrutan pegawai negara termasuk para medis dan staff yang turun kelapangan.
Begitulah gambaran sistem Islam dalam menyelesaikan setiap permasalahan kehidupan termasuk dalam mengurus negara dan rakyat. Selama penerapan sistem kapitalis sekuler yang diterapkan di negeri ini niscaya kesusahan dan kesulitan hidup akan terus dirasakan oleh rakyat.
Maka sudah saatnya untuk kembali pada sistem aturan yang benar yaitu yang bersumber pada Allah SWT dengan penerapan sistem Islam kaaffah dalam bernegara. Dijamin kehidupan sejahtera dan berkah akan dirasakan baik muslim maupun non muslim.
Wallahu ‘alam Bisshawab.
Oleh : Nelly, M.Pd
Aktivis Peduli Ibu dan Generasi, Pegiat Opini Medsos