Strategi Pengelolaan Hutan Masyarakat Untuk Menanggulangi Terjadinya Bencana Alam Banjir dan Longsor Di Desa Ambapa Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka Timur

Strategi Pengelolaan Hutan Masyarakat  Untuk  Menanggulangi Terjadinya  Bencana Alam Banjir dan Longsor  Di  Desa  Ambapa Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka Timur

Awal bulan Juni 2019 bencana Banjir  melanda Provinsi Sulawesi Tenggara dari 17 Kabupaten/kota yang ada di Sultra, 6 Kabupaten, yaitu Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kota Kendari, Buton Utara dan Bombana terendam banjir. Akibat Banjir di Konawe Utara mengakibatkan 4.089 warga mengungsi, 1.484 hektar lahan pertanian, perkebunan dan perikanan juga terendam. selain itu, menyebabkan putusnya jembatan Asera yang menghubungkan wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di Kabupaten Konawe dari 29 Kecamatan hanya lima kecamatan yang tak terendam banjir, dampak dari banjir di Kabupaten Konawe membuat ribuan warga mengungsi, ribuan hektar sawah terendam dan jembatan penghubung antar kabupaten putus dan satu orang meninggal dunia.         Menurut Kepala BPBD Sultra, Boy Ihwansyah,( https://kumparan.com 12 Juni 2019) penyebab terjadinya banjir di Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Konawe adalah alih Fungsi Lahan resapan air, menjadi area pertambangan dan perkebunan. Hutan memiliki Fungsi Resapan air, rusaknya hutan disebabkan pengelolaan hutan yang tidak berwawasan lingkungan. Salah satu daerah hulu sungai Konawe yang menghadapi ancaman kerusakan hutan adalah Hutan yang terdapat di Desa Ambapa. Desa Ambapa secara administrasi, berada di Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka Timur namun sungai seperti sungai Ambapa dan sungai Ameroro bermuara di sungai Konawe Kabupaten Konawe dan merupakan salah satu sungai yang menyebabkan meluapnya Sungai Konawe sehingga Kabupaten Konawe dilanda Banjir.

            Hutan merupakan sumber daya alam yang memberikan berbagai manfaat bagi kesejahteraan manusia baik manfaat yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh manusia. Seiring dengan pertambahan penduduk, ekonomi dan industrialisasi menyebabkan tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Untuk melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan hutan dilakukan secara berkelanjutan,   pemerintah   membuat   kebijakan   dengan   menetapkan   berbagai   kawasan tertentu  untuk  dijadikan  kawasan  hutan  produksi,  hutan  lindung,  atau  hutan  konservasi. Kawasan Hutan yang berada di Hulu sungai Konawe seharusnya dikelola menjadi kawasan hutan lindung sehingga pengawasan terhadap perabahan hutan dapat dicegah. Selain itu, Kerusakan hutan di hului sungai Konawe juga diakibatkan oleh kebijakan pengelolan hutan secara sektoral yang seharusnya ada kerjasama antara Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur terkait pengelolan hulu sungai atau DAS Konawe.

            Kebijakan pembangunan di Kolaka Timur berupa pembukaan areal perkebunan, pembukaan pemukiman transmigrasi dan pemberian izin pengelolaan hutan kepada pihak swasta  khususnya di daerah hulu sungai Konawe telah mengakibatkan Kabupaten Konawe dilanda Banjir. Selain itu, ancaman banjir dan longsor juga sewaktu-waktu dapat terjadi di daerah hulu sungai Konawe termasuk desa Ambapa.

            Masyarakat      yang berdiam di  desa Ambapa sebagian    besar bermata pencaharian  sebagai   petani   atau   buruh   tani   dan   memelihara   ternak.   Mereka beraktifitas di kawasan Hutan untuk mengambil rumput sebagai sumber pakan ternak dan kayu bakar untuk memasak. Pemanfaatan tersebut semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akibat rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan peningkatan jumlah penduduk.

            Pihak pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dan sarana prasarana) dan luasnya kawasan yang dikelola untuk mewujudkan tujuan pengelolaan sehingga memerlukan dukungan dan peran serta dari semua pihak khususnya masyarakat di sekitar kawasan hutan. Desa Ambapa merupakan salah satu desa yang letaknya di DAS Konawe yang memiliki  Potensi sumber daya ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan potensi desa‐desa lain di sekitar DAS Konawe, yaitu potensi pertanian dan peternakan. Walaupun memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan hutan, sebagian mereka mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian hutan.

Beberapa permasalahan yang saat ini terjadi pada mitra, diantaranya, Saat ini masyarakat belum memahami perlindungan hukum terhadap hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan?. Belum tercipta sistem manjemen pengelolaan hutan secara terpadu dengan memperhatikan fungsi  keseimbangan hutan. Kepedulian masyarakat masih kurang untuk melakukan tuntutan  terhadap pengelolaan hutan oleh pihak lain yang tidak berwawasan lingkungan hidup. Belum ada kesadaran hukum dan mulai hilangnya nilai-nilai adat dan kearifan lokal masyarakat di desa Ambapa khusunya dalam pengelolaan hutan.

Hasil dan Luaran yang Dicapai

Berdasarkan Indikatortercapainya hasil dan luaran dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat maka berikut ini  akan disajikan  hasil dan luaran yang telah dicapai sebagai berikut, Kesadaran hukum masyarakat desa Ambapa terhadap perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan.

Penyuluhan hukum atau sosialisasi hukum adalah bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. menurut Beni Ahmad Saebeni[1] kesadaran hukum adalah Keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani dalam mengakui dan mengamalkan  sesuatu sesuai dengan tuntunan yang terdapat di dalamnya, yang muncul dari hati nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan yang terdapat dalam hukum ”. selanjutnya Soerjono   Soekanto   mengemukakan   empat   unsur   kesadaran hukum yaitu :[2]

  1. Pengetahuan tentang hukum
  2. Pengetahuan tentang isi hukum
  3. Sikap hukum
  4. Pola perilaku hukum

Dengan demikian, kesadaran  hukum  adalah  kesadaran bahwa hukum itu melindungi kepentingan manusia dan oleh karena itu harus dilaksanakan serta pelanggarnya akan terkena sanksi. Pada hakekatnya kesadaran hukum adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya „kebatilan‟ atau „onrecht‟, tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu.

Asas hukum yang berbunyi “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang”   menunjukkan   bahwa   kesadaran   hukum   itu   pada dasarnya ada pada diri manusia. Asas hukum merupakan persangkaan, merupakan cita-cita, sebagai sesuatu yang tidak nyata, sebagai presumption  yang  banyak  terdapat  di  dunia  hukum.  Setiap  orang  di anggap tahu akan undang-undang agar melaksanakan dan menghayatinya, agar kepentingan diri sendiri dan masyarakat terlindungi terhadap gangguan atau bahaya dari sekitarnya.[3]

Di Indonesia, perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat diatur didalam Pasal 18 B. ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 “negara mengakui  dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang  masih  hidup  dan  sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Selain  pasal  18B ayat  (2)  UUD  Negara Republik   Indonesia tahun  1945,  terdapat pula   pasal   28I   ayat   (3)   UUD   Negara Republik  Indonesia tahun 1945  yang  juga merupakan hasil  amandemen kedua  UUD Negara   Republik    Indonesia  tahun  1945Tahun 2000.  Pasal  28I  ayat  (3)  berbunyi: “Identitas budaya  dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman  dan  peradaban.” Materi muatan pasal 28I ayat (3) ini hampir sama  dengan  materi   muatan Pasal  6  ayat (2)  UU  No.  39  Tahun 1999  tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)  yang berbunyi: “Identitas budaya  masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat  dilindungi, selaras dengan  perkembangan zaman.”

Pengaturan masyarakat hukum adat juga terdapatdalam sejumlah undang-undang. Istilah   masyarakat  hukum  adat   pertama kali   ditemukan   secara    resmi   di   dalam undang-undang yang  berlaku  di Indonesia adalah  pada UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Di dalam undang-undang tersebut masyarakat hukum adat  dipertimbangkan  sebagai bagian   dari   pemerintahan  republik  yang akan berkedudukan sebagai daerah  otonom pada   tingkat  ketiga,   bersamaan  dengan desa.

Peraturan perundang-undangan berikutnya yang mengatur masyarakat adat adalah UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk  Peralihan Untuk Mencapai Terwujudnya  Daerah Tingkat III  di  Seluruh Wilayah Republik  Indonesia. Dalam undang-undang   ini    masyarakat  hukum adat dan kesatuan-kesatuan hukum lainnya yang  berbasis  teritorial ditetapkan  sebagai daerah   tingkat  ketiga   yang   disebut   dengan  Desapraja. Bahkan   di  dalam  undang- undang itu pula disadari  pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam menyukseskan agenda revolusi.

Pengaturan  mengenai  masyarakat hukum adat  dalam  konteks hukum agraria terdapat di  dalam  UU  No.  5 Tahun  1960 tentang Peraturan Dasar  Pokok-Pokok Agraria    (UUPA).Pada  pasal   2   ayat   (4) UUPA    disebutkan   bahwa     pelaksanaan hak menguasai dari negara  dalam pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan  masyarakat- masyarakat hukum adat.  Dalam  hal ini masyarakat hukum adat bisa menerima delegasi   kewenangan  penguasaan  negara atas bumi, air, ruang  angkasa  dan kekayaan alam.  Jika ada bidang  tanah yang dikuasai langsung  oleh  negara  (tanah negara), termasuk  yang  berasal   dari   tanah  bekas hak  erfpact bahkan bekas  hak  guna  usaha (HGU), penguasaannya dapat didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk  sebesar-besar kemakmuran  rakyat bisa dicapai.[4]

Penyebutan   masyarakat   hukum   adat lebih lanjut  terdapat dalam pengaturan pengakuan  keberadaan  hak   ulayat.    Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan    bahwa     pelaksanaan    hak ulayat   dan  hak-hak yang  serupa   itu  dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus  sedemikian rupa sehingga sesuai dengan  kepentingan nasional dan  negara, yang  berdasarkan  atas   persatuan  bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang  dan   peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pada  masa  orde  baru  tidak  ada undang- undang baru  yang mengatur mengenai hak masyarakat  hukum  adat.   Tercatat  hanya UU No. 11 Tahun 1974  tentang Pengairan yang menentukan bahwa  pelaksanaan hak menguasai negara  dalam  bidang  pengairan tetap  menghormati hak  yang  dimiliki  oleh masyarakat adat  setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional (Pasal 3 ayat   [3]).   Undang-undang ini sekarang sudah  tidak  berlaku   lagi  karena sudah   diganti   dengan   UU  No.  7  Tahun 2004  tentang Sumber  daya  Air,  yang  juga menegaskan   bahwa    masyarakat  hukum adat diperhatikan.

Pasal 6 ayat (2) UU No. 11 Tahun 1947 ini menyatakan bahwa  penguasaan sumber daya  air    oleh    negara    diselenggarakan oleh  Pemerintah dan/atau  pemerintah daerah  dengan  tetap  mengakui hak  ulayat masyarakat hukum adat  setempat dan  hak yang  serupa   dengan   itu,  sepanjang tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) memberikan arahan teknis pengaturan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat  atas  sumber  daya air tetap diakui  sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah  setempat.

Hak  dan  perlindungan masyarakat adat atas  hutan adat  tertuang dalam  pasal  71 sampai dengan pasal 73 Undang-Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal  ini  telah  sangat  jelas  mengatur cara masyarakat menyampaikan aspirasi  dan mengajukan  gugatan   perwakilan   apabila hak-hak  mereka   terhadap  hutan  diklaim oleh pihak  lain. Penerjemahan dari  isi ketentuan di atas dimuat dalam Surat  Edaran MENHUT, Nomor   S.75/Menhut-II/2004 perihal masalah  Hukum Adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat adat. Surat  edaran yang ditujukan ke Gubernur, Bupati/Walikota tersebut memberikan petunjuk kepada  kepala  daerah   manakala ada  tuntutan masyarakat hukum adat,  hal tersebut dapat  dilihat  dalam  poin  2 huruf (a) yang berbunyi.[5]

“Apabila di wilayah  Saudara terdapat tuntutan oleh  masyarakat  hukum   adat di dalam kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan Hak  Pengusahaan Hutan/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan  Kayu  (IUPHHK), maka  terhadap permohonan  atau tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian  oleh pakar hukum  adat, tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk  menentukan apakah  permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat  hukum  adat  atau  bukan. Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan  masyarakat hukum  adat sebagaimana  ditentukan dalam  penjelasan Pasal 67 ayat  (1) UU Nomor 41 Tahun 1999.”

Pada masyarakat hukum adat suku Tolaki pada umumnya termasuk di Desa Ambapa Kecamatan Tinondo mengenal tanah adat sebagai hak tradisional seperti Areal tanah bekas ladang, lokasi tumbuhnya pohon sagu, lokasi melepaskan kerbau, lokasi tempat perburuan, rawa dan bagian batang sungai tempat menangkap ikan, kintal yang penuh tanaman yang biasanya terdapat kubur leluhur, semuanya merupakan tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh suatu keluarga, baik karena keluarga itu pernah secara langsung mengolahnya, maupun karena merupakan warisan secara turun temurun.

            Hingga kini tanah-tanah dimaksud di atas masih dikenal sebagai: (1) ana homa atau ana sepu (belukar bekas perladangan); (2) O galu (tanah Persawahan) (3) O epe (lokasi tanaman sagu) (4) Walaka (areal tempat melepaskan kerbau); (5) Lokua (areal Tempat berburu); (6) arano atau pinokotei (rawa atau bagian batang sungai tempat menangkap ikan; (7) waworaha (areal tanaman jangka panjang); (8) Pombahora (kintal yang ditinggalkan).

            Tanah-tanah tersebut ada yang  dapat dimiliki secara pribadi ada yang merupakan kepemilikan bersama  atau hak ulayat dari kampung yang bersangkutan, serta dapat diwariskan secara turun-temurun. Menurut Muslimin Suud [6] orang luar kampung  dapat mengunakan tanah tersebut, atas izin  Pu,utobu setempat melalui rekomendasi/ persetujuan dari penguasa adat kampung (Toono motuo) tampa izin Pu,utobu maka ia dianggap melanggar hukum adat dengan sanksi membayar 1 ekor kerbau, atau diusir pergi.

            Pemaparan yang dilakukan oleh Guswan Hakim tentang hak-hak tradisional dan perlindungannya menuruh hukum di Indonesia telah memberikan pengetahuan/ kesadaran hukum  kepada masyarakat desa Ambapa yang selama ini menggangap bahwa tanah adat atau hak tradisionil mereka tidak diakui lagi. Sehingga ketika terdapat perusahaan atau oknum tertentu menggambil tanah di Ambapa mereka hanya pasrah saja menggangap hal itu sesuatu  bukan merupakan pelanggaran Hukum.[7]  Ibu jumiati Ukkas menjelaskan Pengaturan  mengenai  masyarakat hukum adat  dalam  konteks hukum agraria terdapat di  dalam  UU  No.  5 Tahun  1960 tentang Peraturan Dasar  Pokok-Pokok Agraria    (UUPA).Pada  pasal   2   ayat   (4) UUPA    disebutkan   bahwa     pelaksanaan hak menguasai dari negara  dalam pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan  masyarakat- masyarakat hukum adat.  Dalam  hal ini masyarakat hukum adat bisa menerima delegasi   kewenangan  penguasaan  negara atas bumi, air, ruang  angkasa  dan kekayaan alam.  Jika ada bidang  tanah yang dikuasai langsung  oleh  negara  (tanah negara), termasuk  yang  berasal   dari   tanah  bekas hak  erfpact bahkan bekas  hak  guna  usaha (HGU), penguasaannya dapat didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk  sebesar-besar kemakmuran  rakyat bisa dicapai.[8]

            Penyebutan   masyarakat   hukum   adat lebih lanjut  terdapat dalam pengaturan pengakuan  keberadaan  hak   ulayat.    Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan    bahwa     pelaksanaan    hak ulayat   dan  hak-hak yang  serupa   itu  dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus  sedemikian rupa sehingga sesuai dengan  kepentingan nasional dan  negara, yang  berdasarkan  atas   persatuan  bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang  dan   peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

      Pada  masa  orde  baru  tidak  ada undang- undang baru  yang mengatur mengenai hak masyarakat  hukum  adat.   Tercatat  hanya UU No. 11 Tahun 1974  tentang Pengairan yang menentukan bahwa  pelaksanaan hak menguasai negara  dalam  bidang  pengairan tetap  menghormati hak  yang  dimiliki  oleh masyarakat adat  setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional (Pasal 3   ayat   [3]).   Undang-undang ini sekarang sudah  tidak  berlaku   lagi  karena sudah   diganti   dengan   UU  No.  7  Tahun 2004  tentang Sumber  daya  Air,  yang  juga menegaskan   bahwa    masyarakat  hukum adat diperhatikan.

            Pasal 6 ayat (2) UU No. 11 Tahun 1947 ini menyatakan bahwa  penguasaan sumber daya    air    oleh    negara    diselenggarakan oleh  Pemerintah dan/atau  pemerintah daerah  dengan  tetap  mengakui hak  ulayat masyarakat hukum adat  setempat dan  hak yang  serupa   dengan   itu,  sepanjang tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) memberikan arahan teknis pengaturan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat  atas  sumber  daya air tetap diakui  sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah  setempat.

            Selanjutnya dalam pemaparan tersebut, oleh Haris Yusuf Abadi menjelaskan tentang syarat sahnya perjanjian jual beli tanah yang berlandaskan pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

  1. Untuk sahnya jual beli tanah adat harus dilakukan melalui kesepakatan antara para pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan jual beli tanah tersebut. Maka setiap jual beli tanah harus melibatkan tokoh adat atau kepala desa yang mengetahui kedudukan/ status  tanah adat di desa Ambapa sekaligus memastikan bahwa yang melakukan jual beli tanah atau para pihak yang bersepakat dalam jual beli tersebut adalah merupakan  pihak yang punya kewenangan untuk melakukan jual beli. Cara tersebut adalah untuk menghindari atau mencegah  jual beli tanah yang dilakukan bukan pemiliknya ataukah tanah tersebut merupakan tanah adat ulayat yang harus disepakati oleh Puutobu atau Tonomotuo di desa Ambapa. Selain itu, dalam jual beli tanah dilarang dilakukan cara-cara intimidasi atau menimbulkan rasa ketakutan kepada pihak penjual dalam bentuk apapun yang kemudian seseorang menjual tanahnya.
  2. Syarat kecakapan dalam melakukan jual beli tanah adat, kecakapan dalam KUHPerdata merujuk pada kemampuan phisik dan akal manusia. Seseorang dikatakan cakap untuk melakukan jual beli tanah adat kalau orang tersebut telah dewasa. Dewasa menurut KUHPerdata adalah mereka yang telah berumur 21 Tahun atau telah melakukan perkawinan, sedangkan kemampuan akal manusia ditandai  bahwa para pihak penjual maupun pembeli dari aspek pikiran atau akal tidak terganggu atau gila. Selain itu, orang yang akan melakukan jual beli tanah oleh keputusan pengadilan tidak berada dibawah pengampuan.
  3. Obyek atau tanah yang akan dijual luasnya jelas sehingga pihak pembeli dan pihak ketiga mendapatkan kepastian hukum terhadap obyek yang dijual.
  4. Jual beli tanah tidak boleh dilakukan dengan cara bertentangan dengan hukum atau sebab yang halal.

      Ibu Dr Ruliah dalam kesempatan yang sama menjelaskan pentingnya masyarakat memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup. Manusia dituntut untuk mencari kehidupan dimuka bumi tetapi tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan alam yang tidak merugikan orang lain maupun masyarakat sekitarnya. Olehnya itu setiap masyarakat hukum adat dituntut untuk hidup sesuai kearifan lokal yang merupakan warisan dari nenek moyang berisi tentang tata cara pengelolaan alam untuk mewujudkan kesimbangan alam. walaupun kearifan lokal tersebut pesannya dalam bentuk pesan relegi dan magis tetapi dapat diterjemahkan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan alam oleh manusia.

Pemaparan keempat narasumber dari LPPM Universitas Halu Oleo berhasil menumbuhkan keasadaran hukum masyarakat Desa Ambapa, hal ini ditandai berhasilnya didesain sistem manajemen pengelolaan hutan secara terpadu antar kabupaten, desa dan Masyarakat serta pengelompokan kawasan hutan yang dapat dikelola dan yang sama sekali tidakdapat dikelola. Serta Pembentukan kelompok masyarakat peduli lingkungan dalam pengelolaan hutan didesa Ambapa. Serta Penguatan lembaga adat di desa Ambapa guna menggali dan melestarikan  nilai-nilai adat khususnya dalam pengelolan hutan di desa Ambapa.

  • Desain sistem manajemen pengelolaan hutan secara terpadu antar kabupaten, desa dan Masyarakat serta pengelompokan kawasan hutan yang dapat dikelola dan yang sama sekali tidakdapat dikelola.

            Dari kegiatan penyuluhan hukum yang menghasilkan kesadaran hukum masyarakat hukum adat tentang hak-hak masyarakat hukum serta pengelolaan lingkungannya berhasil mendesain ulang system tatakelola hutan yang bersumber dari kearifan local masyarakat adat setempat. Wilayah Adat Tobu Ambapa/ Desa Ambapa berdasarkan data Desa Ambapa[9] seluas 26.295,32 hektar. Luasan tersebut merupakan hasil identifikasi dan hasil dari proses hasil pemetaan partisipasi masyarakat pada tahun 2002 dan diperbaharui pada bulan Juni tahun 2004, Pengelompokan hutan tersebut  adalah sebagai berikut:

  1. Ahoma mbue (hutan Inti).

Ahoma Mbue adalah Hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat desa ambapa yang dilarang dikelola. Wilayah ini merupakan areal dari gunung loiyo-iyo yang dalam  mitologi asyarakat Desa Ambapa merupakan tempat tinggal para mahluk halus (Owali) didalam hutan tersebut adalah merupakan Hutan alam dan merupakan sumber mata air masyarakat adat Desa Ambapa. Hutan ini merupakan lokasi upacara dan ritual moli wonua oleh masyarakat adat tobu/desa Ambapa. Moli Wonua dilakukan untuk meminta permisi untuk masuk wilayah tersebut, dirangkaikan dengan upacara montewali wonua (pencucian kampung) Ahoma Mbue merupakan hutan primer yang memiliki luas 4.623,44 hektar. Secara mitologi diyakini sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus yang disebut Owali.

  • Ahoma popalia (hutan Penyangga)

Ahoma popalia memiliki luas 2.599,50 hektar. Ahoma popalia adalah hutan keramat yang dipercaya sebagai tempat makhluk halus owali. Oleh karena kepercayaan itulah Ahoma popalia tersebut tidak pernah diganggu oleh manusia dari turun temurun (Binta hai Soro-Soro) serta di dalam Ahoma popalia tersebut merupakan sumber mata air (Mata Bundu) serta tempat perlindungan segala jenis hewan. Ada kepercayaan dari masyarakat adat Hukaea Laea bahwa jika seseorang memasuki hutan tersebut tanpa sepengetahuan tetua kampung maka akan ketimpah bencana pada orang tersebut. kelompok hutan sejenis tempat tertentu yang pernah ditempati/diolah (arti pekampoa/waworaha) baik untuk bercocok tanam maupun berburu dan meramu serta dijadikan tempat penguburan para sangia (Mokole) pemimpin yang ksatria. Di tempat diyakini tempat persemayaman makhluk halus Owali yang sering memperlihatkan wujudnya. Tempat tersebut tidak boleh diganggu oleh manusia. Masyarakat Adat Desa/Tobu Ambapa sangat menghargai tempat tersebut dan selalu menjaganya jika ada orang yang sengaja merusaknya, sehingga masyarakat adat Desa Ambapa menyebutnya hutan/tempat keramat.  Tempat keramat tersebut adalah tempat peristirahatan satwa karena dirasa aman dari gangguan manusia, wilayah sebaran HUtan tersebut  dapat dijumpai di beberapa daerah yaitu didaerah sampa ondibu (cabang/pertemuan sungai-sungai), sebagai tempat mandi untuk berobat, di kuburan sangia wambakowu (lore) sangia wawompo’o sangia olobu meheo (Tuamba), sangia wumbu roda, sangia ambau, sangia molomo dan sangia pu’untokulo.

  • Ahoma Potasua (hutan Perkebunan)

Ahoma Potasua memiliki luas 2.420,31 hektar merupakan hutan perkebunan yang sewaktu-waktu dapat diolah oleh masyarakat untuk dijadikan kebun. Sedangkan ahoma potasua adalah lokasi bekas lading masyarakat yang pernah diolah kemudian ditinggalkan, lokasi sebaran perkebunan tersebut dapat dijumpai di daerah seperti Pondapoa Oato, Posambalia, Ulu Ambapa dan pobendea.

  • Olobu (hutan Kecil)

Olobu memiliki luas 1.077,56 hektar adalah kelompok hutan kecil yang ada di tengah padang dengan pepohonan yang jarang, satwa jarang dijumpai dihutan tersebut dan kadang tidak dijumpai sama sekali.

  • Ana homa atau ana sepu atau hutan bekas Perladangan

Lokasi/areal memiliki luas 1.195,34 hektar merupakan bekas kebun/ladang yang pernah diolah, kemudian pindah ke tempat yang baru. Tempat ini akan dijadikan kebun setelah perpindahan telah dilakukan di beberapa tempat, biasanya jangka waktu memanfaatkan kura tangka dilakukan selama lebih kurang 5 sampai 10 tahun atau tergantung dari kesuburan tanah. Perladangan adalah bekas kebun/ladang yang pernah diolah sekitar 1 sampai 10 tahun kemudian ditinggalkan dengan hamparan luas (lowo lue). Perladangan adalah bekas kebun yang pernah diolah dengan hamparan kecil kemudian ditinggalkan 1 sampai 5 tahun. Perladangan adalah bekas kebun yang pernah diolah dan baru tahap penanaman tiba-tiba pemilik kebun meninggal dengan terpaksa kebun tersebut tidak dapat dilanjutkan dan jika padi tersebut sudah terlanjur ditanam maka alasan tertentu padi tersebut tidak dijadikan bibit. Kura Sailela adalah bekas kebun yang pernah diolah baru tahap perintisan (umawu) atau penebangan kayu (monea) tiba-tiba pemiliknya meninggal. Kebun tersebut harus ditinggalkan dan tidak bisa ditanami. Tinalui adalah kebun yang sudah ditanami kemudian hasilnya dipanen kembali secara berturut-turut atau dua kali panen. Didalam areal tersebut oleh masyarakat adat desa/Tobu Ambapa diperkenankan untuk mengolah O galu (tanah Persawahan) , O epe (lokasi tanaman sagu), Walaka (areal tempat melepaskan kerbau); , Lokua (areal Tempat berburu); arano atau pinokotei (rawa atau bagian batang sungai tempat menangkap ikan; dan waworaha (areal tanaman jangka panjang);

  • Pembentukan kelompok masyarakat peduli lingkungan dalam pengelolaan hutan didesa Ambapa. Serta Penguatan lembaga adat di desa Ambapa guna menggali dan melestarikan  nilai-nilai adat khususnya dalam pengelolan hutan di desa Ambapa.

            Lembaga adat di desa Ambapa adalah merupakan bagian secara struktur dengan lembaga adat Kalosara Kesatuan Masyarakat adat Suku Tolaki yang diberi tugas untuk melaksanakan Hukum adat Kalosara kesatuan masyarakat adat suku Tolaki. Sistem kelembagaan lembaga adat Kalosara pada awalnya mengikuti sistem perkembangan pemerintahan yang terjadi di Kerajaan Konawe, maupun setelah berdirinya Kerajaan Mekongga. Pada setiap wilayah Otobu, yang sekarang ini dapat disamakan dengan wilayah Kecamatan, terdapat seorang penguasa adat wilayah yang diberi gelar Pu’utobu, dengan tugas pokok sebagai Ketua Pengadilan Adat setempat, yang membawahi seorang Toonomotuo sebagai Wakil Ketua Pengadilan; seorang Tolea sebagai hakim anggota dalam persidangan perkara sengketa / urusan perkawinan; seorang Pabitara sebagai hakim anggota sekaligus sebagai jaksa penuntut umum, juga sebagai pengacara dalam persidangan perkara perdata; dan 2 (dua) hingga 3 (tiga) orang Sesepuh Adat setempat sebagai Hakim Anggota.

            Keberadaan lembaga adat tersebut selain sebagai dalam fungsi penyelesaian sengketa juga sebagai lembaga yang memahami hukum/status tanah adat sekaligus lembaga peduli lingkungan di Desa Ambapa Kecamatan Tinondo.

Pelaksanaan Pengabdian kepada masyarakat oleh Universitas Halu Oleo melalui Lembaga penelitian dan Pengabdian telah memberikan kontribusi langsung dalam pengelolaan hutan untuk mencegah terjadi bencana banjir dan longsor melalui penguatan hak-hak Tradisionil masyarakat hukum adat serta pembentukan kelompok peduli Lingkungan hidup yang beraggotakan lembaga adat.  selain itu, Pelaksanaan PKM dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat khususnya dalam bidang hukum pertanahan dan  hukum perjanjian jual beli Tanah didesa Ambapa Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka Timur.

Oleh : DR Guswan Hakim, SH.,MH