“Esensi dari ilmu adalah buat mengenali apa itu ibadah serta ketaatan.”– Imam Ghazali.
Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) melakukan aksi demo di pelataran rektorat UHO. Mereka menuntut turunnya uang kuliah tunggal (UKT) secara keseluruhan. Alasannya kondisi pandemi dirasakan membuat beban orang tua semakin berat. Sayang tuntutan ditanggapi secara normatif. Pihak kampus sepenuhnya tunduk pada kebijakan dari pemerintah pusat. (zonasultra, 22/6/2020).
Entah apa yang berkelebat dalam benak para mahasiswa tersebut. Setelah berbulan-bulan tersandera wabah sehingga terpaksa menjalani kuliah daring, ditambah lagi menyaksikan sukarnya orang tua mencari penghasilan maka kepekaan mereka diuji.
Lumrah bila mereka menginginkan ada keringanan biaya kuliah dari pihak yang berwenang. Namun hal itu pun seperti menemui jalan buntu. Padahal andai mahasiswa dan khalayak umumnya lebih jauh memahami, tak hanya keringanan bahkan dihilangkannya UKT bukanlah perkara mustahil. Bagaimana bisa? Izinkan opini ini mengutarakan, Semoga mencerahkan.
Sistem Pendidikan (Harusnya) Berorientasi Ilmu, Bukan Profit
Harapan publik untuk dapat mengakses pendidikan tinggi berkualitas dengan biaya yang murah tak bisa dipungkiri semakin lama bagai pungguk merindu bulan di negeri ini. Sulit dijangkau. Utamanya sejak Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) berlaku. Lewat PP ini, setiap kampus didorong untuk men-upgrade diri menjadi BLU yang berorientasi bisnis. Dengan harapan institusi tersebut bisa mencukupi dirinya sendiri tanpa harus sepenuhnya ditanggung oleh negara melalui subsidi.
Jadilah kampus-kampus menggenjot diri mencari dana dan mengelola keuangan layaknya badan usaha yang lainnya. Soal biaya pendidikan? Alih-alih murah, porsi terbesar sumber dana justru dibebankan kepada publik. Contoh kasus, untuk bisa terdaftar di Fakultas Kedokteran sebuah PTN melalui jalur ‘khusus’, konon orang tua calon mahasiswa harus merogoh kocek ratusan juta hingga miliaran. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin mengharap layanan pendidikan yang bermutu tapi murah?.
Ditilik lebih jauh, melangitnya ongkos kuliah dan pihak kampus yang terkesan minim empati di tengah pandemi disebabkan satu hal. Ya, apalagi kalau bukan diadopsinya neoliberalisme yang nyata menggerogoti tubuh hingga ke sendi-sendi ibu Pertiwi.
Mengutip dari wikipedia, neoliberalisme dimaknai sebagai ide keturunan dari ideologi kapitalisme yang memandang bahwa semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harus menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi.
Dengan sendirinya Neoliberalisme tidak memprioritaskan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan mendatangkan kesejahteraan umum. Semua wilayah kehidupan dapat dijadikan komoditi alias barang yang bisa dijual demi meraih laba. (wikipedia.
Siapa Bilang Pendidikan Harus Mahal? Tapi Ada Syaratnya!
Jika pendidikan murah dan berkualitas bagai menggarami air laut dalam pandangan neoliberalisme, berbeda dalam Islam.
Pendidikan sepenuhnya diamanahkan Islam pada negara. Tak lain karena pendidikan termasuk kebutuhan pokok masyarakat, bersama dengan kesehatan dan keamanan yang wajib diampu oleh negara. Dengan kata lain tiga kebutuhan ini wajib tersedia secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.
Nabi SAW bersabda :
“Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim)
Sirah meriwayatkan bahwa setelah perang Badar, pada sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya diharuskan oleh Rasulullah saw. mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah. Sebagai upahnya mereka dibebaskan dari status tawanan perang. (NU Online, 15/2/2019).
Apa yang dilakukan para sahabat sepeninggal Rasul saw. kemudian mengikuti teladan Rasulullah. Khalifah Umar bin Khattab ra. bahkan tanpa ragu memberikan gaji kepada para guru hingga sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000!.
Adapun pembiayaannya bersumber dari pos pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara. Sehingga tak ada cerita negara kehabisan dana atau meminta lembaga pendidikan berjuang sendiri mencari biaya. (Zallum, Al -Amwal fi Dawlah Khilafah, 1983).
Jika guru sudah diberi gaji, bagaimana dengan siswa maupun mahasiswa?
Ajib! Sejarah mencatat dengan dawat emas perihal kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.
Di era kekhilafahan terakhir yaitu Khilafah Utsmaniyah, Sultan (Khalifah) Muhammad Al-Fatih juga memberi fasilitas pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu.
Sampai di sini jelas pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, namun Islam tidak melarang bila ada di antara rakyatnya khususnya mereka yang berkecukupan mengambil peran lebih dalam dunia pendidikan. Melalui wakaf yang diatur syariat, histori menunjukkan terdapat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas dengan merogoh kocek sendiri. (KH. Shiddiq Aljawi, Pembiayaan Pendidikan dalam Islam, 2011).
Walhasil, pendidikan formal dan non formal bisa dijamin dan berlangsung secara murah, bahkan tak mustahil gratis alias bebas biaya.
Syaratnya hanya satu, terapkan syariat Islam yang sempurna secara kaffah. Dengannya sistem satu dan yang lainnya dapat saling bersinergi, seperti pendidikan ekonomi misalnya. Mengingat Alquran memang diturunkan sebagai penjelas segala sesuatu dengan sempurna.
“……dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89). Wallaahu a’lam.
Oleh : Ummu Zhafran
(Praktisi Pendidikan, Komunitas AMK)