Marak Maksiat di Masa Pandemi; Lupa pada Allah?

Tri Silvia

Pandemi covid-19 belum lagi berakhir. Menurut data yang dilansir dari berbagai sumber, pasien positif di dunia saat ini menembus angka lebih dari sepuluh juta, dimana lima ratus ribu jiwa diantaranya meninggal dunia. Serupa dengan dunia, pasien positif di Indonesia pun terus saja bertambah. Bahkan sebagaimana data yang dilansir dari berbagai sumber, jumlah positif covid-19 Indonesia telah mencapai lebih dari lima puluh empat ribu, yang dua ribu lebih diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut jauh melampaui rekor Singapura, baik yang positif terkena ataupun meninggal dunia (kompas.com, 28/6/2020).

Ditengah bertambahnya pasien secara konsisten dan banyaknya kegalauan kebijakan yang menerpa, masyarakat yang mulai jengah pun akhirnya melakukan hal-hal di luar akal sehat. Mereka melakukan banyak hal yang memperlihatkan apatisme mereka dengan berbagai kebijakan yang ada, meskipun nyatanya kebijakan tersebut justru untuk melindungi diri mereka. Selain itu rasa jengah itupun nampak dari maraknya kasus maksiat di tengah pandemi ini, mulai dari kriminalitas, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tindakan asusila dan pemakaian serta peredaran narkoba.

Iklan Pemkot Baubau

Tak ada yang menampik peningkatan jumlah kasus kriminalitas di Indonesia saat pandemi terjadi. Sebagaimana yang pernah disinggung oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, yang menegaskan bahwa pandemi korona (covid-19) turut memengaruhi peningkatan tersebut. Nana mengatakan, kenaikan kriminalitas itu linier dengan jumlah kasus yang diungkap. Persentasenya meningkat 34 persen, dengan jenis kejahatan paling sering terjadi yakni pencurian. Mulai pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan (curas), hingga pencurian kendaraan bermotor (curanmor). (medcom.com, 19/6/2020)

Selain masalah kriminalitas, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Nana Sudjana pun mengungkap adanya kenaikan jumlah tindak pidana narkoba selama terjadinya pandemi COVID-19. Jenderal polisi berbintang dua tersebut mengatakan para pengedar narkoba ini berupaya memanfaatkan situasi pandemi virus COVID-19 dengan harapan petugas mengendorkan pengawasan terhadap aksi jaringan narkoba. Selain itu, penyalahgunaannya pun semakin meningkat, menurutnya sebab adanya rasa jenuh atau hal psikologi lainnya dalam menghadapi kevakuman yang ada, mereka kemudian mencoba hal-hal yang baru dengan narkoba. (Antara, 12/6/2020)

Lalu terkait dengan kasus KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga, ini digadang-gadang juga mengalami peningkatan. Disebabkan tersendatnya masalah ekonomi dan berkurangnya penghasilan di masa pandemi yang akhirnya merangsang timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun secara data disampaikan bahwa kasus tersebut justru mengalami penurunan trend di akhir-akhir, namun banyak pakar yang tetap percaya adanya peningkatan tersebut. Alasannya sebab kondisi WFH (work from home) yang menambah sulitnya akses para wanita keluar rumah dan melaporkan kekerasan yang terjadi.

Selain itu, menjamurnya tindak asusila pun menjadi masalah lain di tengah pandemi ini. Faktor ekonomi lagi-lagi dijadikan sebagai kambing hitam. Mereka menganggap bahwa kurangnya pendapatan dan sulitnya orang untuk mendapatkan pekerjaan ditengah banyaknya pemecatan yang dilakukan, membuat banyak wanita yang akhirnya memilih untuk melacurkan diri dan mengais penghasilan daripadanya. Selain itu, kasus asusila berupa kekerasan seksual, perselingkuhan, juga perzinahan pun tak kalah marak terjadi. Begitupun konsumsi pornografi komersial yang meningkat tajam di masa pandemi ini sebagaimana yang diungkap oleh Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel (JPNN, 25/4/2020).

Kenapa semua hal tersebut terjadi? Bukankah bencana berupa pandemi ini seharusnya membuat masyarakat semakin dekat pada Allah, Tuhan mereka? Apakah masyarakat sudah begitu jauh dan lupa pada Rabb nya sendiri?

Bencana covid-19 ini memang nampak berbeda dari bencana alam yang biasa terjadi di bumi pertiwi. Jika biasanya, bencana alam selalu datang tiba-tiba dan merenggut nyawa serta merusak semua hal yang ada di sekitarnya dengan cepat. Namun kini, keberadaan bencana sudah dideteksi dan datang dari tempat yang sudah diketahui pula sebelumnya. Ia ada dan masuk melalui berbagai kanal ke dalam negeri ini. Eksis dan berkembang tanpa hambatan. Tampak diam menunggu penanganan serius dan tepat dari prosesi pengusiran. Di awal kemunculannya, sedikit jumawaq merasuk kepada para pengusung negeri, tindakan preventif pun tak sempat dilakukan secara maksimal. Alhasil ribuan nyawa harus terenggut dengan ratusan ribu lainnya harus terus berjibaku dengan virus tak kasat mata yang nampak bersahabat namun nyatanya amat berbahaya. Berbagai kebijakan terus saja berganti, mulai dari social distancing, pemakaian masker, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Semuanya dilakukan guna menghentikan jalur penyebaran virus ini.

Berbagai himbauan kepada masyarakat pun terus saja dilakukan, dan hampir semua pesan menyusupkan kata mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan bermohon kepada-Nya agar wabah ini bisa sesegera mungkin hilang dari bumi tercinta. Namun nyatanya kenapa masih banyak yang melakukan tindak maksiat, yang nyata-nyata bukan sebagai usaha mendekat pada Tuhan namun justru menjauhkan.

Islam menganggap bahwa segala apa yang terjadi di dunia tidak mungkin ada secara serta merta dan tanpa tujuan, termasuk bencana. Sebagaimana yang disampaikan pada ayat Alquran yang artinya : “Dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata ‘Lauhul Mahfudh’.“ (QS: Al An’am : 59)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa tidak ada yang tiba-tiba. Tidak mungkin ada peristiwa yang terjadi di luar pengetahuan Allah, baik dalam bentuk kecil maupun besar semisal bencana. Sungguh, baik dan buruknya berasal dari Allah. Tidak mungkin Allah memberikan sebuah bencana tanpa ada maksud dan tujuan apapun, apalagi hanya sekedar senda gurau semata. Alhasil, kita pun harus yakin dan percaya bahwa dibalik setiap bencana yang terjadi, pasti ada hikmah yang menanti.

Islam mengajarkan umatnya untuk terus bersyukur dan selalu berbaik sangka pada Allah atas segala peristiwa yang terjadi, termasuk dalam hal bencana. Sungguh, dalam setiap bencana yang terjadi selalu ada kebaikan dan rahmat Ilahi. Kita tidak boleh lantas mencaci maki dan lalai dari segala peringatan-peringatan Nya. Sebagaimana hadis yang artinya: “Janganlah kamu menuduh Allah dengan suatu tuduhan yang tidak baik pada setiap kejadian yang sudah ditaqdirkan-Nya“. (HR. Imam Ahmad).

Bencana bagi umat Islam bisa diartikan sebagai cobaan dalam arti titian menuju kemuliaan, atau bisa juga diartikan sebagai peringatan agar umat kembali dari kelalaiannya dalam mengingat Rabb semesta alam. Mereka pun lalai serta lupa dengan perdoman hidup hakiki sehingga manusia berbuat dosa dan kemaksiatan tanpa mengingat perintah dan laranganNya. “Maka apa saja musibah dan bencana yang menimpa kamu itu semua merupakan perbuatan kamu sendiri, dan Allah telah memaafkan sebagian besar dari kesalahan kamu.“ (QS. As-Syura : 30)
.
Pemahaman ini harusnya sudah menyatu di dalam diri kaum muslimin, namun kenapa nyatanya berbagai kemaksiatan semakin banyak dan menjamur di masa pandemi covid-19 ini?

Kegilaan demi kegilaan yang terjadi sungguh tidak terlepas dari sistem hidup yang dipakai oleh masyarakat saat ini, dimana mereka telah dicekoki dengan pemikiran liberal dan sekuler yang nyatanya tidak hanya menerpa masyarakat menengah ke bawah, namun juga menerpa seluruh lapisannya, para pengusaha dan juga para penguasa. Alhasil, tak perlu ada persangkutan antara bencana dengan Tuhan. Mereka berfikir bahwa Covid-19 terjadi begitu saja melalui sarana kelelawar yang kemudian menginfeksi manusia, menyebar begitu cepat hingga jutaan manusia pun terinfeksi karenanya, dimana puluhan ribu diantaranya telah meninggal dunia. Mereka tidak pernah berfikir tentang Rabb pencipta alam semesta termasuk kelelawar di dalamnya. Mereka pun tidak berfikir tentang apa dan siapa yang membuat virus tersebut ada dalam kelelawar, atau tentang bagaimana virus yang telah lama ada ini baru terkuak dan menjadi wabah akhir-akhir ini. Sungguh dangkal pemikiran mereka.

Ditambah lagi dengan ide liberal yang sudah kebablasan. Hingga tak ada lagi ide untuk menghabiskan waktu di masa pandemi selain dengan melakukan maksiat berupa narkoba ataupun perzinahan. Begitupun tindak maksiat berupa kriminalitas juga KDRT, dilakukan sebab telah hampa nya diri dan hilangnya akal akibat cacat urus negara yang dilakukan oleh Penguasa saat ini. Masyarakat diberikan anjuran social distancing dan pembatasan sosial tanpa ada jaminan terpenuhinya kebutuhan. Mereka pun akhirnya melakukan berbagai macam cara mendapatkan uang guna untuk mengganjal perut mereka, kriminalitas pun dilakukan. Ketika ada sedikit ketersinggungan, emosi pun memuncak dan terjadilah KDRT. Kebebasan adalah prinsip hidup dan aturan hanya akan menjadi penghambatnya.

Sungguh negeri ini harus mulai berfikir ulang tentang sistem hidup yang digunakan. Bukankah sistem yang ada saat ini sudah terbukti gagal untuk mencapai kesejahteraan? Sebaliknya, sistem ini telah terbukti menjauhkan umat dari Tuhan nya, pencipta alam semesta. Untuk apa mempertahankan sistem yang buruk dan telah terbukti keburukannya? Negeri ini jelas-jelas harus berfikir dan segera menggantikan sistem buruk tersebut dengan sistem hidup alami seorang muslim, yakni sistem Islam. Sungguh hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, umat akan mulia.
Wallahu A’lam bis Shawwab

Oleh : Tri Silvia