RUU HIP telah menuai penolakan yang meluas dari umat Islam. Dari konsiderannya yang tidak mencantumkan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang pelarangan PKI hingga beberapa pasal bermasalah. RUU HIP ini berpotensi kuat guna menghidupkan lagi paham Komunisme di Indonesia.
Momentum 212 yang diawali di tahun 2016 telah mengedukasi umat dengan baik. Umat Islam tidak lagi alergi dengan persoalan politik. Mereka sadar, apabila umat abai tentunya akan tetap bercokol penjajahan di negerinya.
Melalui MUI se- Indonesia yang bulat menyerukan penolakan terhadap RUU HIP, menjadi triger magnet yang kuat menyatukan suara umat. Atas asas keimanan, mereka bergerak. Tuntutan hanya satu agar MPR/DPR mencabut pembahasan RUU HIP. Bukan menundanya. Apalagi mengganti nama menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila) ala Bamsoet.
Rabu, 24 Juni 2020, menjadi pembuktian keseriusan umat dalam tuntutannya. Gedung MPR/DPR digeruduk umat.
Satu per satu fraksi – fraksi yang setuju membahas RUU HIP berlepas tangan. Mereka sadar sedang berhadapan dengan umat. Tersisa fraksi PDIP yang keukeuh. Artinya, PDIP sendirian menghadapi demonstrasi umat. Ini namanya bukan pemberani, tapi bonek. Mereka bisa digulung oleh umat Islam.
Umat Islam telah memiliki kedewasaan politik cukup baik. Tuntutannya adalah penolakan terhadap RUU HIP. Tujuannya agar MPR/DPR mencabut pembahasannya. Ini dari satu sisi.
Di sisi yang lain, hal ini menunjukkan bahwa hanya umat Islam yang struggle dalam perang ideologi. Islam yang sejatinya adalah ideologi telah menjadi motor penggerak umat. Umat sadar bahwa seorang muslim yang mengambil ideologi selain Islam, hanya menjadi split personality. Ia muslim tapi tidak mau hidupnya diatur dengan Islam. Ia muslim tapi memusuhi upaya penerapan Syariat Islam. Ia muslim tapi melegalkan berbagai kemaksiatan dan pelanggaran lewat undang – undang yang dibuatnya.
Yang belum dewasa secara politik justru ditunjukkan oleh para politisi. Karena fraksi PDIP sendirian, gelombang penolakan itu seolah ditujukan pada mereka. Sehari setelah aksi umat tanggal 24 Juni 2020, PDIP Jaktim turun jalan. Tentunya ini adalah aksi yang reaktif. Padahal ketentuan aksi turun jalan harus melakukan perijinan kepolisian selama 3 x 24 jam. Artinya, aksi turun jalan PDIP Jakarta Timur tersebut menjadi ilegal. Tentunya hal demikian hanya mengundang rasa tidak simpatik rakyat. Dengan kata lain, PDIP telah mendelegitimasi dirinya sendiri.
Lebih aneh lagi adalah wacana – wacana yang diangkatnya, misalnya “Go to hell Khilafah”, dan “Saya bukan PKI, Saya bukan HTI”. Jelas konter opini sedemikian tidak nyambung dengan aspirasi umat.
Semakin membela diri, semakin mengungkap jati diri mereka. Mari kita lihat satu per satu.
Saat para tokoh dan MUI melakukan penolakan terhadap RUU HIP karena konsiderannya tidak mencantumkan pelarangan Komunisme. Hasto Kristiyanto, sekjend PDIP justru meminta juga adanya pelarangan terhadap radikalisme dan Khilafah-isme. Hasto menuntut ajaran Khilafah juga dilarang. Narasi Hasto justru hanya menjelaskan bahwa jika Khilafah tidak dilarang, maka Komunisme juga jangan dilarang. Artinya, memang ada upaya sistematis untuk melegalkan paham Komunis lewat RUU HIP ini.
Bahkan beberapa personal politisi PDIP misalnya Ganjar Pranowo dan Zuhairi Misrawi. Mereka sama – sama bersuara melakukan pembelaan. Mereka bukan PKI, mereka bukan HTI.
Mereka lupa, umat Islam sesungguhnya alergi terhadap PKI karena komunisnya. Umat Islam tidak alergi terhadap HTI dan Khilafah. Mereka lupa dengan fenomena bendera tauhid. Berbagai upaya memisahkan bendera tauhid dengan Islam, justru mengembalikan bendera tauhid kepada umat. Hal yang sama juga akan terjadi pada ajaran Khilafah. Berbagai upaya memisahkan Khilafah dari Islam, justru itu mengembalikan Khilafah kepada umat. Alasannya, Khilafah itu ajaran Islam. Umat Islam secara pasti akan bergerak untuk mengembalikan dan menerapkan semua ajaran Islam.
Yang lucu adalah pernyataan Zuhairi Misrawi. Ia mencatut embel – embel sebagai alumni Al Azhar Mesir. Mengenaskan. Alumni Al Azhar Mesir mestinya berjuang untuk mengembalikan penerapan Islam secara paripurna.
Sekali lagi saya katakan. Umat Islam akan terus bergerak dan menggulung semua upaya menghalangi kembalinya Islam. Secara pasti umat akan berdiri bersama dalam perjuangan bagi tegaknya Khilafah. Umat sadar hanya dengan tegaknya Khilafah menjadi jaminan bagi keutuhan bangsa. Di samping, Khilafah yang akan mencerabut semua bentuk penjajahan Kapitalisme maupun Komunisme dari semua negeri Islam. Jadi paham kan mengapa narasi pembelaan mereka justru menyerang Khilafah. Ya, karena dengan Khilafah, Islam akan menggulung ideologi Komunisme termasuk Kapitalisme.
Oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)