Mengkaji Langkah Extra-Ordinary Amarah Tuan Presiden

Ainul Mizan

Pada tanggal 28 Juni 2020, Kantor Kepresidenan merilis resmi pidato ‘marah – marah’ presiden di video YouTube. Pidato tersebut disampaikan di rapat paripurna presiden bersama menteri tanggal 18 Juni 2020.

Dalam pidatonya, Jokowi tampak memarahi para menterinya. Ia menegaskan keharusan adanya langkah Extra-Ordinary di masa pandemi ini. Semua harus cepat bergerak. Tidak biasa – biasa. Mengingat dalam penilaian Jokowi, kinerja menteri tidak ada progres signifikan.

Iklan ARS

Tulisan ini akan mengajak pembaca melakukan kajian terhadap apa yang disebut sebagai “langkah extra-ordinary” di masa pandemi oleh Jokowi. Tampaknya presiden serius dalam penegasannya. Memang kebangetan bila ada yang tidak bisa membaca keseriusan presiden.

Sepertinya yang menjadi titik poin kemarahannya adalah tidak ada progres yang signifikan dalam penanganan krisis covid-19. Tentunya bila mau jujur, tidak sepenuhnya salah menteri. Presiden sebagai pengambil kebijakan strategis harusnya mampu mengarahkan. Bukan membuat bingung.

Ambil contoh, terkait lomba new normal yang digagas Mendagri. Jawa Timur justru dinobatkan sebagai juara new normal. Padahal Jatim masuk zona merah. Yakin presiden pun mengetahuinya.

Begitu pula pernyataan presiden yang mengimbau agar hidup berdamai dengan covid-19. Eh, malah sekarang marah – marah pada menterinya. Jadi bisa dibilang, pidato marah – marah Jokowi ibaratnya “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”. Dengan kata lain, pidato demikian hanya membuka aibnya sendiri. Ini yang pertama.

Kedua, presiden menyebut siap mengorbankan reputasi politiknya dengan apa yang disebutnya Extra-Ordinary.

Lebih lanjut, presiden mengancam akan melakukan reshuffle kabinet dan atau membubarkan lembaga pemerintahan. Sepertinya Menteri Terawan bakal terancam direshuffle. Mengingat Kemenkes banyak disorot presiden.

Kalau mengorbankan reputasi politik hanya sebatas reshuffle, tentunya pihak lain yang dikorbankan. Padahal pidato kemarahan itu hanya menjadi bentuk ketidakmampuannya menjadi pemimpin di masa krisis. Reshuffle kabinet yang dibarengi sikap legowo untuk mengundurkan diri selaku pemimpin negeri, tentunya merupakan kedewasaan politik yang matang.

Ketiga, presiden mengumbar payung hukum seperti Perppu, Perpres, dan atau Permen. Seolah penanganan keadaan krisis terletak di payung hukum.

Sepertinya Jokowi akan dikenal sebagai presiden yang mengumbar Perppu. Sedikit – sedikit Perppu. Sejatinya Perppu hanya akan jadi sampah politik rejim. Ya, di kala dalam pelaksanaannya ditunggangi kepentingan sesaat.

Perppu Ormas tahun 2017 hanya menjadi alat penggebuk bagi HTI. Hasilnya BHPnya pun dicabut. Deliknya adalah ingin mengubah Pancasila dengan menegakkan Khilafah. Mestinya ormas atau kelompok apapun yang ingin mengubah Pancasila terkena Perppu Ormas. Saat ini ada yang berusaha mengubah Pancasila melalui RUU HIP. Lantas kemana Perppu Ormas tersebut? Jangan menjadikan Perppu Ormas sebagai alat pemadam dakwah Islam. Maka jangan heran bila rejim ini mendapat julukan dari umat Islam sebagai Rejim anti Islam.

Begitu pula nasib Perppu Corona. Stimulus dana dan re-alokasi anggaran dilakukan untuk menangani Covid-19. Bahkan dana 401 trilyun untuk penanggulangan Covid-19. Perppu Corona hanya menjadi alat imun pemerintah dalam menggunakan dana negara dengan alasan Covid-19. Bukankah di pasal 7 Perppu ini menjadi imunitas tersebut. Rapid test dan Swap menjadi barang mahal bagi rakyat. Bahkan teganya dengan alasan ekonomi, pemerintah mengumumkan “New Normal” di tengah badai pandemi. Lagi – lagi rakyat menjadi kelinci kebijakan coba – coba.

Keempat, presiden menyebut bahwa hambatan prosedural menjadikan dana kesehatan hanya terserap 1,53 persen. Presiden menyebut besaran dana kesehatan Covid-19 sebesar Rp 75 trilyun.

Sepertinya masalah prosedural yang berbelit memang penyakit di semua lembaga pemerintahan. Bansos covid-19 di Kemensos yang tidak segera disalurkan. Alasannya kendala prosedural pendataan. Parahnya ada yang lantaran menunggu rampungnya penyablonan tas bansos. Bahkan disinyalir lewat bansos resmi pemerintah ini terselip upaya pencitraan Tuan presiden. Tas sablon harus bertuliskan ‘bantuan presiden’ bukan bantuan negara.

Mestinya sejak awal presiden peka akan hal ini. Ataukah memang karakter sistem Demokrasi yang menjadikan para penyelenggara negara menjadi tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Kelima, pidato kemarahan presiden yang terjadi 18 Juni 2020, baru dirilis resmi di Youtube pada 28 Juni 2020, tentunya mendelegitimasi langkah extra-ordinary presiden sendiri.

Kalau memang isi pidato presiden tersebut sesuatu yang krusial, mestinya segera dirilis ke publik. Tujuannya agar publik bisa mengevaluasi isi pidato presiden, di samping mengawal apa yang disebut sebagai langkah extra-ordinary presiden. Justru dengan penundaan rilis hingga 10 hari kemudian hanya menguatkan dugaan adanya unsur pencitraan di tengah krisis ini.

Di tengah ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, memang bisa menjadi momen mendongkrak lagi elektabilitas. Kasus mega korupsi yang menguap begitu saja, pelemahan KPK, sejumlah RUU bermasalah, liberalisasi listrik, kenaikan iuran BPJS yang mencekik, program Tapera dan lainnya, menjadi bentuk kegagalan pemerintah. Artinya pidato kemarahan presiden tersebut hanya menjadi gimmik yang melengkapi penderitaan rakyat di tengah pandemi. Tidak mengherankan banyak rakyat yang mati rasa dengan pidato kemarahan presiden tersebut.

Ditambah lagi, pidato kemarahan presiden yang dirilis tersebut hanya menampilkan poin – poin global tanpa arahan dan strategi dalam menangani krisis. Lantas untuk apa dirilis pidato tersebut? Apakah dengan kemarahan, krisis selesai? Ataukah dengan kemarahan itu, rakyat menjadi simpatik?

Kalau yang terjadi demikian, untuk apa masih mempertahankan sistem Demokrasi yang memang penuh dengan kamuflase kedaulatan rakyat. Bukankah sudah saatnya kita kembali kepada sistem kehidupan yang memanusiakan manusia, yakni kembali kepada sistem Islam. Para penyelenggara negaranya merupakan orang – orang yang amanah dan takut kepada Allah SWT. Mereka betul – betul menghunjamkan ke dalam sanubari mereka akan sabda Nabi Saw yang menyatakan bahwa para pemimpin yang mati dalam keadaan berkhianat pada rakyat, maka Alloh mengharamkan surga baginya.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)