Pandemi Covid-19 telah menyebabkan berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mengalami krisis ekonomi pada tahun ini. Ketidakpastian mengenai kapan berakhirnya pandemi ini dikhawatirkan akan membuat perekonomian semakin jatuh. Kepala ekonom CIMB Niaga, Adrian Panggabean, melihat krisis ekonomi global 2020 ini memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan krisis 1997-1998 maupun krisis ekonomi 2008.
Adrian menjelaskan, krisis ekonomi 2020 memiliki tiga dimensi besar yakni wabah Covid-19, kebijakan sosio-politik untuk menekan penyebaran Covid-19 melalui social distancing dan phisical distancing, serta pengaruh negatif bagi perekonomian dunia. Ketiga kombinasi tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Berdasarkan dari keterangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Adrian mengatakan vaksin untuk menangani pandemi Covid-19 diperkirakan baru bisa dilakukan 12-18 bulan ke depan. Artinya, solusi global terhadap krisis ekonomi sekarang baru akan terjadi pada pertengahan 2021 atau pertengahan tahun depan.
Adrian mengatakan masalah yang dihadapi dalam menangani krisis ekonomi 2020 ini adalah terjadinya polarisasi di dunia. Polarisasi itu antara lain terjadinya persaingan antara Rusia dengan OPEC, rivalitas antara China dan Amerika Serikat, Eropa versus Eropa, negara kaya dan negara miskin. Polarisasi inilah yang membuat solusi secara global menghadapi sejumlah kendala yang harus terlebih dahulu diatasi. (Republika.co.id, 27 april 2020)
Di tengah ketidakmampuan sistem kapitalisme neoliberal menyelamatkan manusia dari wabah, diikuti krisis multidimensi yang akan terjadi pasca wabah, seharusnya makin menyadarkan kaum muslimin bahwa kita butuh sistem baru. Sistem yang akan menyelamatkan manusia dan dunia dari berbagai malapetaka, serta membawa solusi yang akan menyejahterakan. Sistem hari ini telah gagal menyejahterakan manusia, baik pada saat tanpa wabah, terlebih lagi ketika terjadi wabah.
Satu-satunya harapan umat hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah. Inilah sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah SWT dan dituntun oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelahnya. Sistem yang pernah berdiri 12 abad lebih ini, telah menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi berbagai krisis di masanya.
Khilafah sebagai institusi pelaksana syariah Islam memiliki paradigma dan sistem yang sangat jauh berbeda dengan kapitalisme mengurusi rakyat serta menyelamatkan rakyat dari wabah. Solusi lockdown yang dijalankan Khilafah turut meminimalisasi terjadinya berbagai krisis ikutan pasca wabah.
Hal ini karena penguncian total wilayah yang terkena wabah dengan segera, akan meminimalisasi penularan ke wilayah lain. Sehingga masyarakat yang berada di luar wilayah wabah tetap menjalankan aktifitasnya secara normal. Tentu ini akan mengurangi terjadinya krisis ekonomi, pangan, dsb seperti kekhawatiran dunia saat ini.
Terkait tata kelola pangan, Khilafah dengan seluruh paradigma dan konsepnya adalah sistem yang memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan yang kuat baik di masa normal maupun menghadapi krisis. Apalagi seandainya terjadi di Indonesia di mana negeri ini telah dianugerahi Allah SWT berbagai potensi sumber daya pertanian baik lahan subur, biodiversitas sumber pangan, iklim yang mendukung, hingga SDM petani dan para ahli.
Semua potensi ini jika dikelola dengan Islam akan mampu membangun ketahanan dan kedaulatan pangan sehingga membawa kesejahteraan bagi rakyat serta akan mengeluarkan rakyat dari krisis dengan segera.
Peran sentral pengaturan seluruh aspek kehidupan termasuk tata kelola pangan yang berada di tangan Negara/Khilafah. Sebab, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….”(HR Muslim).
Dengan kedua fungsi politik ini, maka seluruh rantai pasok pangan akan dikuasai negara. Meskipun swasta boleh memiliki usaha pertanian, namun penguasaan tetap di tangan negara dan tidak boleh dialihkan kepada korporasi. Negaralah yang menguasai produksi sebagai cadangan pangan negara.
Jika penguasaan negara secara penuh terhadap produksi dan stok pangan, maka negara akan leluasa melakukan intervensi dalam keadaan apa pun. Seperti ketika dilakukan lockdown, pemenuhan pangan rakyat sangat mudah dilakukan karena ketersediaan pangan dijamin penuh oleh negara
Begitu pula penguasaan stok berdampak pada stabilitas harga di pasar. Sebab distorsi pasar yang ditimbulkan oleh spekulan, mafia atau kartel disebabkan penguasaan mereka pada stok pangan melebihi stok negara sehingga leluasa mengendalikan harga. Seperti saat ini ketika terjadinya fluktuasi harga beras, diantaranya disebabkan kendali Bulog hanya kurang dari 10%, sebagian besar lainnya dikuasai swasta.
Negara Khilafah juga memiliki visi ketahanan dan kedaulatan pangan yang diarahkan oleh ideologi Islam.
Kewajiban Khilafah mewujudkan kedaulatan pangan berasal dari seruan Allah SWT dalam QS An Nisaa: 141 yang artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman”. Oleh karena itu Khilafah tidak dibolehkan memiliki ketergantungan pangan pada impor. Di samping itu visi ketahanan pangannya diarahkan pada 3 target yaitu 1) ketahanan pangan untuk konsumsi harian, 2) ketahanan pangan untuk kondisi krisis (termasuk bencana, wabah dsb), serta 3) ketahanan pangan untuk kebutuhan jihad.
Dengan visi inilah Khilafah akan serius memaksimalkan semua potensi pertanian yang dimiliki di dalam negeri untuk membangun ketahanan pangan tanpa tergantung pada negara asing.
Sedangkan kapitalisme membangun pertanian bukanlah untuk ketahanan pangan demi kemaslahatan rakyat namun untuk mengejar target ekonomi semata. Sehingga abai terhadap ketahanan pangan bagi rakyatnya sendiri. Ketidakjelasan visi ini membiarkan negara terperangkap dalam jebakan impor pangan yang direkayasa lembaga internasional dan negara-negara adidaya.
Untuk mewujudkan visi dan target ketahanan dan kedaulatan pangan, Khilafah memiliki konsep anggaran negara yang unik, sangat berbeda dengan kapitalisme. Konsep APBN Khilafah baik pemasukan dan pengeluaran diatur berdasarkan syariah. Di antara sumber pemasukan APBN Khilafah adalah harta milik umum yang sangat berlimpah seperti tambang, kekayaan laut, hutan, dsb.
Ditambah harta milik negara seperti pungutan jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, dst. Dengan kekayaan yang sedemikian besar sangat memungkinkan negara Khilafah mampu mengurusi hajat rakyatnya termasuk dalam kondisi pandemi baik untuk kebutuhan pangan, kesehatan, kebutuhan energi, dan sebagainya. Didukung pula dengan prinsip anggaran yang bersifat mutlak untuk pemenuhan hajat rakyat yang bersifat asasi terhadap seluruh daerah yang terkena wabah. Tentu tanpa adanya sekat otonomi daerah bahkan batas wilayah.
Sebagaimana yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab ketika menghadapi krisis beliau membangun pos-pos penyedia pangan di berbagai tempat, bahkan mengantarkan sendiri makanan ke setiap rumah. Apalagi ketika masyarakat di-lockdown, kebijakan ini akan menekan jumlah mobilitas rakyat sedang kebutuhan mereka tetap terpenuhi oleh jaminan negara.
Begitu pula SDM yang dibutuhkan untuk mendistribusikan bahan pangan, yakni aparatur Khilafah. Aparatur Khilafah selain memiliki kompetensi juga amanah menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat, serta memiliki kesadaran ruhiyah tinggi bahwa tugas yang dijalankan ialah bagian amal saleh yang akan mendapat ganjaran yang sangat besar di sisi Allah SWT.
Kesahihan visi negara dan konsep politik ekonomi pertanian pangan akan menjadikan Khilafah mampu mengatasi krisis secara cepat dengan dampak yang seminim mungkin. Hal ini juga telah terbukti di berbagai masa ketika Khilafah pernah tegak.
Sebaliknya, sistem kapitalisme neoliberal telah nyata kegagalannya menyejahterakan manusia sekalipun tanpa wabah pandemi. Apalagi pada saat wabah saat ini, ketika kekhawatiran bahkan kekacauan telah terjadi di mana-mana sementara solusi yang benar tak kunjung hadir. Waallahu’alam bishawab.
Oleh : Fatimah Azahria (Aktivis Muslimah)