Boikot Unilever, Sudah Betulkah?

Ita Harmi

Tak tahu malu. Itulah ungkapan yang cocok untuk kaum penyuka sesama jenis. Melawan fitrah kemanusiaan itu mungkin enak untuk sebagian kalangan, tapi hanya sesaat. Hanya selama oksigen masih bisa masuk ke kerongkongan. Mabuk, judi, bahkan berzina itu mungkin enak, tapi hanya sebentar saja. Pelaku perbuatan ini memang salah. Begitu pula dengan pihak-pihak yang mendukung perbuatan tak tahu malu ini.

Sejumlah perusahaan tingkat global telah ‘mengazzamkan’ diri untuk berkomitmen mendukung penuh kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dibalik wacana Hak Azasi Manusia, mereka menyatakan secara terang-terangan dukungannya. Sekurang-kurangnya sudah ada 20 jenis perusahaan global yang berani memberikan dukungannya pada kaum penyimpang ini. Belakangan, perusahaan global seperti Unilever juga turut meramaikan dukungan tersebut dalam akun resminya di sosial media. Dalam akunnya, pihak Unilever jelas menyatakan bahwa dukungannya adalah sebagai bentuk toleransi atas keberagaman hidup manusia. Unilever bahkan merubah warna logo perusahaannya menjadi warna pelangi sesuai warna yang diusung LGBT.

Hal ini ditanggapi serius oleh MUI sebagai lembaga resmi negara bidang keagamaan. Pasalnya, perilaku penyimpangan orientasi seksual ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam, dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang kesehariannya memakai berbagai produk Unilever. Seruan boikot dari MUI pun keluar seiringan dengan banyaknya protes dari netizen pasca dukungan yang diunggah Unilever dalam sosial medianya. Himbauan boikot diharapkan dapat menekan pihak Unilever secara halus bahwa kesalahan kebijakan yang telah diambil tersebut bisa diperbaiki.

MUI menganggap bahwa selama masyarakat muslim masih menggunakan produk-produk harian dari Unilever, juga menjadi bentuk dukungan mereka kepada kaum salah orientasi ini. Dan hal ini tentu menjadi haram, karena telah mendukung eksistensi keharaman.

Dalam pandangan Islam, salah kaprah dalam orientasi seks seperti kaum LGBT ini hukumnya memang haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskannya dalam Al Qur’an,
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf : 80-81)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut perbuatan kaum di negeri Sodom saat Nabi Luth diutus ke tengah-tengah mereka sebagai perbuatan yang keji, faahisyah, dimana pada saat itu belum ada manusia yang melakukan kekejian itu sebelumnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (no. 2915) dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, beliau sampaikan sampai tiga kali.” (Dihasankan Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth)

Maka tak perlu diragukan lagi bahwasanya penyimpangan orientasi seksual yang dilakoni oleh kaum LGBT dan sejenisnya adalah perbuatan terlarang yang diharamkan dan dilaknat oleh Allah Ta’ala. Memberikan dukungan walau bukan bagian dari kaum LGBT atau diam dengan perkara ini sama saja dengan melakukan perbuatan keji tersebut. Sama seperti istri nabi Luth yang dilarang untuk menoleh kebelakang saat mereka diperintahkan untuk melarikan diri ketika Allah timpakan bencana atas Kaum Sodom. Namun ia malah melanggarnya dengan melihat kebelakang tatkala negerinya hancur. Akhirnya Allah binasakan istri Nabi Luth bersama Kaum Sodom.

Melakukan aksi boikot untuk sesaat memang berdampak pada eksistensi LGBT. Setidaknya mereka kehilangan penyokong moral dan dana untuk legalisasi kemaksiatannya. Namun hal itu tidak akan membuat perilaku penyimpangan orientasi seksual menjadi hilang di muka bumi. Satu-satunya jalan untuk menangani masalah ini hanyalah dengan Islam, sebagai solusi berbagai masalah kehidupan.

Islam hadir bukan hanya sekedar konsep atau ide (fikroh), namun ia juga datang bersamaan dengan metode (thoriqoh). Islam tidak hanya menetapkan sebuah perbuatan adalah maksiat, akan tetapi juga memberikan sanksi kepada pelaku maksiat. Hal ini bertujuan agar perilaku maksiat tersebut tidak dilakukan lagi oleh manusia berikutnya.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Tirmidzi dan yang lainnya, dishahihkan Syaikh Al-Albani)

Perilaku penyimpangan orientasi ini sifatnya menular. Seseorang yang awalnya normal bisa berubah orientasi seksualnya saat dia intens atau sering bergaul dengan orang yang sudah memiliki penyimpangan orientasi seksual. Oleh karenanya, Islam memberikan sanksi tegas terhadap masalah ini. Sanksi dibunuh itu diberikan jika pelaku sudah diingatkan untuk bertaubat dari kemaksiatan yang dilakukannya. Sekiranya si pelaku menolak dan bersikukuh dengan kemaksiatannya, barulah sanksi dari Allah ini diterapkan. Memutus rantai penyakit menular yang efektif tentunya adalah dengan cara membunuh virus penyebab penyakit itu sendiri. Inilah akar masalahnya. Dengan begitu manusia dapat hidup sesuai fithrahnya.

Jadi dukungan dibalik wacana Hak Azasi Manusia tidak bisa dipakai untuk legalisasi perilaku maksiat seperti yang diterapkan oleh liberalisme. Bahkan hanya akan menjadi pupuk yang menyuburkan bagi perbuatan maksiat tersebut. Apa yang menjadi larangan Allah adalah haram untuk dilakukan. Demikianlah Allah turunkan Islam sebagai petunjuk kehidupan untuk diterapkan secara totalitas sebagai ide dan metode, agar manusia berjalan sesuai fithrahnya.
Wallahu a’lam bishowab.

Oleh : Ita Harmi
Pengamat Sosial dan Politik