Impor Beras, Ditengah Panen Melimpah?

Hamsina Halisi Alfatih

Dilansir dari Antaranews.com, (21/06/20) Badan Urusan Logistik Kantor Wilayah Sulawesi Tenggara menguasai 9.000 ton beras yang dibeli dari hasil panen petani setempat. Kepala Bulog Kanwil Sultra Ermin Tora di Kendari, Minggu mengatakan stok beras yang dikuasai Bulog dijamin masih terus bertambah karena panen masih berlangsung di sentra-sentra produksi.

Dari sini kita bisa melihat bahwa persediaan stok pangan dinegeri ini mampu memenuhi permintaan konsumen maupun pasar. Jadi tidak ada alasan bila tiba-tiba pemerintah harus melakukan impor maupun terjadinya lonjakan harga beras dipasar.

Iklan ARS

Sebagai informasi, stok beras CBP (Cadangan Beras Pemerintah) di Bulog yang direkomendasi dari Rakortas adalah 1 juta hingga 1,5 juta ton. Saat ini CBP di Bulog 1,485 juta ton, dan akan terus bertambah seiring panen raya yang masih berlangsung di sejumlah daerah.

Secara rinci, stok beras di masyarakat berada di Bulog, penggilingan, pedagang, Horeka, dan rumah tangga. Data terbaru stok beras minggu ke 1 Juni 2020 adalah, Bulog 1,48 juta ton, penggilingan 1,36 juta ton, pedagang 0,73 juta ton, dan stok cukup besar ada di Horeka dan rumah tangga. Sementara itu, data pengadaan beras Bulog per tanggal 8 Juni 2020, juga masih terus berlangsung. Setidaknya ada 21.667 ton beras telah terserap. (Republika.co.id, 09/06/20)

Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa gejolak permainan para mafia pasar saat ini masih membayangi masyarakat. Mengapa demikian? Sebab, kita tentu tahu bahwa kebutuhan pangan merupakan bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Harga murah maupun mahal masyarakat akan tetap membelinya. Dari sinilah para kartel maupun mafia pasar beraksi memainkan harga pangan dipasaran. Hal ini dilakukan dengan cara menimbun lalu menjualnya dengan harga mahal.

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Sharkawi Rauf menyebutkan, melonjaknya harga pangan di Indonesia karena ulah para mafia atau para kartel pangan yang memainkan harga pangan dipasaran yang mana ulah mereka membunuh para petani, peternak, dan pedagang kecil di pasar. “Praktek memainkan harga pangan itu ada dipasaran, itu semua ulah para mafia atau kartel pangan,” tegas Sharkawi kepada wartawan saat menghadiri diskusi yang mengangkat tema “Kartel Pangan” di Jakarta. (Neraca.co.id,27/02/16).

Dalam hal ini, sambung Sharkawi, ada dua hal yang dapat mempengaruhi harga pangan di pertama adalah ada penguasaan pasar dan praktek monopoli. Penguasaan pasar dilakukan oleh para mafia atau kartel pangan yang mencari keuntungan berlebih, dan praktek monopoli biasanya dilakukan oleh para perusahaan raksasa yang ingin menghancurkan pengusaha kecil terutama para petani, peternak, dan pedagang traditional.

Disisi lain, pemerintah masih membuka kran impor pangan. Sekalipun mengalami surplus, nyatanya pemerintah tetap melakukan impor. Dilansir dari Detiknews.com, (19/02/19) tercatat sejak 2014 sampai 2018, pemerintah selalu melakukan impor beras. Jumlah impor beras pada rentang 2014-2018 secara berturut-turut sebanyak 844 ribu ton, 861 ribu ton, 1,28 juta ton, 305 ribu ton, dan 2,25 juta ton.

Bahkan hampir tiap tahunnya pemerintah masih melakukan impor hingga ditahun 2020. Padahal jika dilihat saat ini Indonesia tengah mengalami musim panen yang bisa dipastikan mampu memenuhi kebutuhan konsumen apalagi ditengah pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, langkah pemerintah saat ini untuk mengatasi agar beras tetap stabil dimasyarkat adalah:
Pertama, pemerintah harus menjaga ketersediaan stok pangan (beras) dengan memperhatikan harga komoditas dipasar. Dengan begitu para petani maupun masyarkat tidak akan mengalami kerugian.

Kedua, pemerintah harus menindak tegas para kartel pangan atau mafia pasar yang hendak menimbun dan menaikan harga pangan. Pemerintah pun harus menjatuhkan hukuman yang mampu memberi efek jera bagi para mafia pasar.

Ketiga, pemerintah seyogyanya menghentikan impor pangan yang menyebabkan kerugian besar bagi para petani lokal. Hal ini pun merembes pada harga produk lokal yang kalah saing dengan produk luar. Jika hal ini tetap diteruskan keputusan impor beras yang tidak tepat waktu seperti yang dilakukan Kementerian Perdagangan sebelumnya tentu akan berdampak kontraproduktif bagi upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Sementara didalam Islam, meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah perkara yang paling utama. Dalam hal ini, khilafah tidak akan gegabah melakukan kebijakan impor jika merugikan rakyat apalagi jika pasokan stok pangan melimpah ruah.

Disisi lain, Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan sumber ekonomi suatu negara. Sehingga ketika sumber ekonomi ini menjadi masalah dan tak kunjung ada penyelesaiannya maka negara tersebut akan menggantungkan sumber ekonominya kepada negara lain.

Oleh karena itu, negara khilafah sangat memperhatikan dominasi produk-produk asing yang masuk. Tak hanya itu negara khilafah pun akan sangat memperhatikan ketahanan pangan demi kesejahteraan rakyat bukan hanya sekedar mementingkan hasil produksi seperti dalam sistem kapitalisme liberal.

Karenanya dibutuhkan peran negara dalam memobilisasi stok pangan agar terpenuhinya kebutuhan rakyat. Selain itu, peran negara ini pula yang akan menghentikan para kartel maupum mafia pasar yang kerap berbuat curang. Dan tentunya hal ini jika negara menjalankan aturannya sesuai dengan koridor syariat Islam. Maka kesesuaian dalam mensejahterakan rakyat pun akan terpenuhi tentunya sesui dengan kesejahteraan dalam Islam.
Wallahu A’lam Bishshowab

Oleh : Hamsina Halisi Alfatih