Indonesiaku Sayang Rakyatnya Malang

Ita Harmi

Tak putus dirundung malang. Itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan keadaan rakyat Indonesia saat ini. Dalam meluasnya wabah Covid 19 sejak awal semester tahun ini, bertubi-tubi derita kehidupan yang ditanggung rakyat.

Ervina Yana, seorang ibu hamil di Makassar, Sulawesi Selatan, ikhlas atau tidak harus merelakan bayi yang dikandungnya telah meregang nyawa didalam perutnya. Di musim Covid 19 ini, ternyata ibu hamil yang hendak melahirkan, apalagi melahirkan dengan jalan operasi, diwajibkan untuk mengikuti tes Covid 19 terlebih dahulu. Ini bertujuan untuk menekan penyebaran virus milinial tersebut. Namun apa daya, karena kurangnya biaya untuk melakukan tes, ia sampai ditolak oleh tiga rumah sakit. Akhirnya, sang bayi yang dikandungnya telah tiada karena keterlambatan penanganan. “Prediksi dokter, menurut hasil USG, bayi itu kurang atau lebih dari 20 jam sudah tidak bergerak. Sekarang Ervina sudah di RSUP Wahidin Sudirohusodo untuk operasi,” kata pendamping Ervina yang juga seorang aktivis perempuan, Alita Karen. (BBC, 18/06/2020)

Kewajiban melakukan tes Covid 19 juga di berikan kepada calon penumpang pesawat udara dan kapal laut. Jadi bagi masyarakat yang hendak melakukan perjalanan keluar kota atau keluar negeri, harus memiliki bukti berupa hasil tes bebas virus Covid 19.

Tentu saja ini sangat memberatkan rakyat. Selain hasil tes yang dijalani baru keluar setelah tiga hari lamanya, biaya untuk melakukan tes ini juga tidaklah murah. biaya tes Covid-19 secara mandiri relatif mahal. Di salah satu rumah sakit swasta, untuk rapid test, misalnya, biayanya sekitar Rp 400.000 sementara tes swab PCR berkisar Rp1,5 juta dengan hasil test keluar dalam 10 hari, Rp 3,5 juta dalam jangka waktu 7 hari, hingga Rp 6,5 juta dalam 3 hari. Hasil tes juga hanya berlaku untuk 3 sampai 7 hari, dan akan kadaluarsa setelahnya, sehingga perlu dilakukan pengetesan ulang untuk data yang akurat lagi. Bagaimana tidak membebani rakyat? Selain biayanya yang mahal, juga menyita waktu, sehingga tidak setiap saat setiap orang bisa bergerak dengan leluasa. (Sindonews, 12/06/2020)

Betapa malangnya nasib rakyat. Bahkan ditengah bencana global seperti sekarang ini pun menjadi ajang komersial atas rakyat. Jangankan untuk melakukan tes Covid 19, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pun rakyat sudah “ngos-ngosan” seiring meroketnya harga sembako dipasaran.

Sampai hari ini pemerintah masih minus empati terhadap rakyat. Alih-alih mau menggratiskan biaya tes Covid 19 seperti di Korea Selatan dan Singapura, untuk memurahkan harga tes pun pemerintah tak bergeming. Padahal Korea Selatan dan Singapura dibanding Indonesia, adalah negara kecil dengan sumber daya yang terbatas, tidak melimpah seperti di Indonesia.

Inilah akibat dari kapitalisme yang diemban oleh negara. Dimana negara dan rakyat bukan berada pada posisi sebagai pelindung dan yang dilindungi. Tetapi laksana penjual dan pembeli. Setiap kebutuhan rakyat, apalagi kebutuhan pokok semisal kesehatan, menjadi ladang bisnis menggiurkan bagi negara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Bila rakyat memang harus menanggung seluruh kebutuhannya, termasuk kebutuhan dasarnya, lalu apa fungsi negara? Bukankah harusnya negara hadir sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya yang lemah? Atau setidaknya dimana rasa kemanusiaan? Etiskah mengeruk keuntungan disaat rakyat sedang ditimpa kesusahan yang tak berkesudahan?

Inilah akar permasalahan negeri ini. Kesalahan dalam pemilihan aturan kehidupan mengakibatkan dampak yang mengerikan dalam segala bidang kehidupan. Dan dari sinilah harusnya solusi dicari.

Pengetahuan yang sempurna mengenai seluk beluk masalah kehidupan manusia, pastinya hanya pencipta manusia itu sendiri yang mengetahuinya. Dialah Allah Azza Wa Jalla. Maka wajar dan berhak jika Allah menciptakan manusia ke dunia bersamaan dengan ‘resep’ kehidupan itu sendiri. Sehingga ketika manusia melewati kehidupannya dengan resep kehidupan tersebut, ia akan mendapatkan kehidupan yang sempurna sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Islam sebagai agama yang langsung disempurnakan oleh Allah Ta’ala, mengatur segala bidang kehidupan, tak terkecuali bidang kesehatan. Disinilah letak sempurnanya Islam, bahwa ia bukan sekedar agama untuk ritual ibadah semata.

Islam memandang bahwa kesehatan adalah salah satu dari tiga kebutuhan dasar yang mekanismenya wajib dipenuhi oleh negara. Sebab negara menurut konsep Islam berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat dan penguasa, dalam hal ini pemerintah, adalah sebagai pelaksana negara. Mereka akan diminta pertanggungjawabannya kelak atas kepengurusan rakyatnya dihadapan Allah.

“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al –Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.)”

Karena kesehatan adalah tanggung jawab negara, maka pihak lain tidak boleh mengambil alih tanggung jawab ini. Rakyat pun tidak dibebani dengan biaya apapun atas nama iuran kesehatan. Biaya operasional kesehatan ini akan diambil dari Baitul Mal, kas negara. Dimana sumber pendapatannya adalah dari hasil kekayaan alam yang dimiliki oleh negara. Juga dari hasil pungutan para wajib zakat, serta dari harta yang didapatkan saat penundukkan wilayah kekuasaan oleh Islam, seperti ghanimah, kharaj, dan fa’i. Inilah yang dimaksimalkan oleh negara untuk memenuhi dua kebutuhan, kebutuhan dasar rakyat dan kebutuhan negara sebagai penanggung jawab hajat rakyat.

Pengadaan dana kesehatan ini juga merupakan salah satu anggaran wajib yang harus ada dalam kas negara. Bila kas negara defisit atau bahkan kosong, maka barulah pajak berlaku terbatas pada kalangan konglomerat saja dalam negara. Jadi bukan rakyat yang membiayai urusan kesehatannya sendiri sebagaimana yang berlaku hari ini, sedangkan negara lepas tangan atau bahkan memfasilitasi pihak ketiga (swasta) untuk menguras dompet rakyat melalui legislasi Undang-undang.

Jaminan kesehatan dalam konsep Islam memiliki tiga ciri khas. Pertama, berlaku umum untuk seluruh golongan rakyat, artinya tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya, rakyat tidak boleh dikenakan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh Negara. Ketiga, seluruh rakyat harus diberi kemudahan akses untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh Negara.

Bukankah hal seperti inilah yang diimpikan oleh seluruh rakyat selama ini? Maka tidak ada alasan untuk menolak aturan kehidupan oleh Pencipta Kehidupan, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam beberapa riwayat dituturkan, bahwasanya Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pun (dalam kedudukan beliau sebagai kepala Negara) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi SAW mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir. Beliau pun menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum bagi seluruh warganya.

Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas ra. Bahwa serombongan orang dari Kabilah Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam selaku kepala Negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh. Semua itu menjadi dalil shohih bahwa pelayanan kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat yang wajib disediakan oleh Negara secara gratis dan tanpa diskriminasi. Tentunya hal-hal seperti ini akan dicapai bila aturan yang dipakai sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Pemilik Kehidupan.
Wallahu a’lam bishowab.

Oleh : Ita Harmi
Pengamat Sosial dan Politik