TKA Datang, Pekerja Lokal Tak Dipandang

Lisa Aisyah Ashar

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Abdurrahman Saleh tiba-tiba melunak menyikapi rencana kedatangan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di Bumi Anoa, melalui Bandara Halu Oleo Kendari, Senin (23/6/2020).

Pernyataan keras menolak dengan tegas dan akan memimpin demontrasi tiba-tiba berubah. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini kini tak mau lagi memimpin demonstrasi, namun hanya ingin melakukan inspeksi mendadak (Sidak) saat 500 TKA ini tiba di Bandara Halu Oleo. “Bukan persoalan jadi atau tidak (pimpin demontrasi), tetapi saya selalu berada di garda terdepan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat,” ucap Abdurrahman Saleh saat rapat bersama PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di gedung DPRD Sultra, Jumat (19/6/2020).

Iklan KPU Sultra

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN Sultra ini mengajukan sidak untuk memastikan visa yang digunakan oleh ratusan pekerja asing asal negeri tirai bambu itu. Pihaknya meminta segera dikirimi dokumen visa yang sama sebagai bahan pemeriksaan nantinya. Menurut dia, pihaknya tak mau kecolongan lagi seperti kedatangan 49 TKA yang telah masuk pada Maret sebelumnya dengan menggunakan visa kunjungan. ARS pun mendesak dokumen itu diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Sopyan paling lambat, Minggu (22/6/2020).

Dia mengklaim, permintaan itu adalah bagian tugasnya sebagai wakil rakyat yakni memastikan TKA itu datang dengan menggunakan visa yang benar. Sehingga, setelah dokumen itu dipenuhi maka mereka boleh masuk. “Kita tidak menolak tenaga asing, tetapi selagi mereka mengikuti aturan dan mekanisme. Jangan kita sumir, selagi mereka menyetujui aturan, mekanisme yang benar, tapi kita harus uji petik,” tegas dia.
Kakanwil Kum HAM Sopyan mengaku bakal segera mengirimkan dokumen yang diminta Abdurrahman Saleh. “Iya. Segera saya kirimkan,” kata dia di hadapan sejumlah anggota DPRD yang hadir.

Ilusi Kesejahteraan dalam Kapitalisme
Masa pandemi saat ini seyogianya mampu mengetuk kesadaran pemerintah utnuk sedikit berempati kepada rakyat yang tengah menghadapi ekonomi sulit akibat pemutusan hak kerja (PHK) massal di berbagai tempat. Namun faktanya, harapan masyarakat harus pupus, sebab pemerintah lebih memilih untuk membuka lapangan kerja bagi TKA China. Sikap pemerintah daerah yang tadinya gusar, bahkan berniat untuk memimpin demonstrasi untuk menolak kedatangan TKA tiba-tiba melunak, seolah TKA tidak lagi menjadi masalah.

Dengan melihat fakta yang terjadi dari tahun ke tahun, tidak bisa dipungkiri masukannya TKA China kian meresahkan, meskipun ada seruan penolakan dari sejumlah tokoh nyatanya hal itu tidak menyurutkan langkah TKA untuk kembali mengais rezeki di negeri ini. Padahal, angka pengangguran terus merangkak naik tidak terkendali terlebih saat pandemi.

Sejatinya memberi peluang masuknya ratusan TKA asal China tidak memberi keuntungan kepada rakyat sedikitpun, penggangguran meningkat dan aksi kriminal semakin banyak. Keuntungan hanya diperoleh pada segelintir oknum yang ikut andil memuluskan masuknya TKA China. Besar harapan rakyat dapat bekerja di negeri sendiri hanya sebatas angan, sebab minimnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia mengakibatkan tidak sedikit penduduk asli yang harus mengadu nasib ke Negara tetangga karena sukarnya memperoleh pekerjaan di negeri sendiri.

Belum lagi upah yang diperoleh pekerja asing jauh lebih besar jumlahnya dari pada rakyat, perlakuan demikian terkesan pilih kasih. Jikalau beranggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan TKA China sesuai dengan keahlian yang mereka miliki dan rakyat Indonesia belum mampu diserap industri karena rendahnya kualitas, bukankah lebih baik untuk berjuang menjadi bangsa yang mandiri melalui peningkatan skill para pekerja lokal agar Negara tidak lagi bergantung kepada asing?.

Dalam Kapitalisme, sungguh alasan itu hanya alibi. Penampakan bengis sistem Kapitalisme menguasai dunia tidak pernah mempertimbangkan baik serta buruknya bagi kemaslahatan umat. Amat sukar mengais keadilan di sistem Kapitalisme, sebab tolak ukur hanya terletak pada materi, rakyat dibiarkan berjuang sendiri, membiarkan para ayah tak mampu memberi nafkah bagi anak dan istri hingga kelaparan dan kemiskinan harus kita lihat setiap hari.

Islam Solusi Unggul

Sudah menjadi hal yang tidak tabu lagi di sistem Kapitalisme, keadilan dan kesejahteraan hanya sebatas khayal. Bertolak belakang dengan Islam yang tidak tebang pilih dalam hal perlakuan kepada rakyat, sebab keadilan sesuatu yang mutlak dilaksanakan. Sebagaimana Islam hadir tidak sekadar sebagai agama yang mengatur aspek spiritual semata, melainkan seperangkat aturan yang mengatur segala aspek kehidupan.

Pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, papan, sandang) Islam menetapkan agar dijamin oleh negara melalui mekanisme tak langsung dengan sejumlah langkah. Negara wajib menyediakan lapangan kerja agar rakyat dapat memenuhi kebutuhannya melalui pembuatan proyek pembangunan dan sebagainya agar dapat menyerap tenaga kerja. Selain itu Negara wajib memberikan bekal kepada para pekerja dengan peningkatan skill, pendidikan agar kualitas pekerja tidak kalah saing dengan pekerja asing.

Dalam kontrak kerja ini juga harus dijelaskan besaran upahnya. Dalam Islam negara tidak boleh mematok tingkat upah minimum sebab hal itu adalah haram. Besaran upah itu ditentukan berpatokan pada nilai manfaat yang diberikan oleh pekerja, bukan berpatokan pada kebutuhan hidup minimum seperti dalam kapitalisme. 

Alhasil menyelesaikan permasalahan masukannya ratusan TKA China di Indonesia akan sukar jikalau masih teguh menggantungkan harapan di sistem Kapitalisme. Seluruh kesejahteraan dan keadilan hanya dapat diperoleh melalui penerapan syariah Islam dalam naungan Khilafah. Wallahua’lam bi ash shawab.

(Oleh: Lisa Aisyah Ashar – Mahasiswa USN Kolaka)