Kebijakan Miris Beraroma Kapitalis 

Roni Pabeta

Kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok di bumi Anoa, yang dikabarkan sebanyak 500 orang telah menuai protes dari masyarakat. TKA ini akan dipekerjakan di PT. Virtue Dragon Nickel Indonesia (VDNI) dan PT Obdsidian Stainless Steel (OSS), Morosi kabupaten Konawe. Sebanyak 156 orang TKA pada hari Selasa, 23 Juni lalu telah tiba. Dikabarkan kedatangan para Tenaga Kerja Asing (TKA) ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama kedatangan TKA asal Cina ini, sebagaimana dilansir oleh media dikawal ketat oleh aparat di Bandara Haluoleo Kendari. Mereka bertolak dari Bandara Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara. Setiap enam orang TKA dikawal ketat satu personel polisi. Mereka bak orang ternama disambut dan dikawal, dan langsung naik mobil carteran yang telah disediakan.

Kepala Bandara Haluoleo Kendari, Safrudin mengatakan, protokol kesehatan tetap diterapkan kepada TKA itu. Kata dia, tidak ada perlakuan khusus bagi mereka seperti penumpang pada umumnya (zonasultra.com, 23 Juni 2020). Sementara pada hari yang sama juga, terjadi aksi demo penolakan terhadap kedatangan 500 TKA asal Cina. Akibat demonstrasi menolak kedatangan 500 orang tenaga kerja asing di provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk bekerja membangun smelter di PT VDNI dan OSS Morosi, Konawe, mengakibatkan jalan menuju ke Bandara Haluoleo terganggu. Ratusan pengunjuk rasa mencoba menuju ke Bandara Haluoleo, namun ditahan oleh brigade keamanan dari pihak kepolisian. Pihak kepolisian menurunkan dua unit water canon hingga dua ekor anjing pelacak untuk mengamankan para pengunjuk rasa (m.republika.co.id, Selasa 23/06/2020).

Sebelumnya, terdapat sejumlah penolakan terhadap kedatangan para TKA asal Cina ini, mulai dari masyarakat, mahasiswa, LSM hingga para pejabat termasuk Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi. Seperti dilansir oleh Antara, Rabu (29/04/2020), Gubernur Sultra Ali Mazi mengatakan bahwa, meskipun rencana kedatangan TKA tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat dan sudah melalui mekanisme protokol COVID-19, namun suasana kebatinan masyarakat di daerah belum ingin menerima kedatangan TKA (detiknews, Rabu 29/04/2020). Bahkan wakil ketua DPRD Sultra menegaskan semua pimpinan DPRD siap membuat pernyataan resmi yang akan ditandatangani Gubernur dan Forkopimda Sultra, guna meminta Presiden Joko Widodo membatalkan kebijakan tersebut.

Tarik ulur kedatangan 500 TKA ini dimulai sejak bulan April lalu, pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan bahwa 500 TKA ini diperbolehkan masuk di Sultra, setelah sebelumnya PT VDNI yang merupakan perusahaan perekrutan TKA Cina ini mengancam bahkan telah memutuskan hubungan kerja (PHK) beberapa karyawan penduduk lokal dengan alasan pandemi. Hal ini kemudian dikuatkan lagi dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bahwa para TKA ini sudah mulai minta izin, karena proses minta izin ini bukan sehari. Ia mengatakan dengan tegas bahwa para TKA ini akan mulai masuk bulan Juni.

Kebijakan miris ini pun akhirnya dilaksanakan oleh Pemda, yang sebelumnya berdiri di sisi rakyat. Padahal sehari sesudah pernyataan Menteri LBP, staf khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono memberikan pernyataan bahwa pemerintah pusat menunda seluruh perizinan TKA ini, dengan alasan bahwa pemerintah bertekad memutus mata rantai penyebaran COVID-19 antara lain dengan membatasi arus kedatangan manusia dari luar. Dan kebijakan ini berlaku hingga situasi normal dan dinyatakan aman (tirto.id, 25/06/2020).

Mirisnya kebijakan ini karena dibuat saat gelombang besar PHK besar-besaran terjadi di negeri ini, termasuk di Sulawesi Tenggara akibat pandemi COVID-19. Awalnya, rakyat Sultra berharap bahwa kebijakan ini bisa dicabut atau setidaknya ditunda. Karena selain masih dalam masa pandemi, hal ini juga akan menjadi kontras dengan nasib yang melanda sebagian rakyat karena di PHK dan masih banyaknya pengansgguran (para pencari kerja). Menurut data BPS Provinsi Sultra jumlah penduduk Sultra per 20 Maret 2020, sekitar 2.243.587 orang, sementara jumlah pengangguran update per 03 Januari 2019 angkatan 2003-2017 sekitar 39.631 (sultra.bps.go.id, 03/01/2019). Jumlah ini kemungkinan besar bertambah karena banyak faktor, salah satunya karena pandemi ini. Nampak bahwa kebijakan ini terasa miris, setelah akhirnya para TKA asal Cina ini masuk ke Sultra dan didukung penuh oleh Pemda yang sebelumnya menolak kedatangan para TKA ini.

Alasannya lebih kepada faktor ekonomi. Menurut Bupati Konawe, Kery Saiful Konggoasa bahwa industri smelter (pemurnian dan pengolahan nikel) di PT VDNI dan OSS di kecamatan Morosi itu harus tetap beroperasi. Sebab, keberadaan perusahaan itu memberikan sumbangsih besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Konawe. Industri harus jalan, setengah mati keuangan kita sekarang, jelasnya saat diwawancarai di kediamannya, Kamis 4 Juni 2020.

Sungguh, alasan faktor ekonomi ini jelas tidak bisa diterima oleh masyarakat. Buktinya mereka dengan terang-terangan tetap menolak kedatangan para TKA tersebut. Jika kita melihat, kebijakan ini sangat kental dengan aroma kapitalis. Pemda dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan “rasa” yang akan dialami oleh penduduk lokal. Bahkan terkesan “menjilat ludah sendiri”. Mengapa, hanya karena faktor ekonomi dengan alasan PAD yang melilit maka keselamatan dan kesejahteraan jutaan penduduk lokal dikesampingkan. Sebenarnya kemana arah berpikir para penentu kebijakan di negeri ini?

Kapitalisme adalah paham yang lahir dari sekuler (memisahkan antara kehidupan dan agama). Kapitalis sendiri adalah sebutan pada orang yang memiliki modal besar dalam ekonomi perdagangan. Prinsip para kapitalis tentu adalah mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Hari ini, demikianlah fakta yang terjadi. Saat Islam tak lagi menjadi pedoman kehidupan para penganutnya, maka mereka secara sadar atau tidak, telah mengambil paham kapitalisme ini. Fakta bahwa kebijakan yang diambil terkait dengan diizinkannya para TKA Cina ini datang di Sultra adalah kebijakan yang sarat dengan aroma kapitalis. Hal ini nampak dari pernyataan Bupati Konawe bahwa keberadaan PT VDNI dan OSS tersebut memberi sumbangsih besar terhadap pendapatan daerah konawe khususnya. Dilansir dari suara.com bahwa salah satu dari sumber PAD yang diambil dari PT VDNI dan OSS ini adalah retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Menurut Kepala Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Konawe, Burhan menyampaikan bahwa hampir 300% naik PAD dengan adanya retribusi IMB dari PT VDNI ini, belum lagi pajak yang akan dipungut dari bangunan-bangunan yang ada di sekitar perusahaan.Memang sekilas ini akan menguntungkan bagi Pemda Konawe.

Tetapi jika kita melihat lebih dalam, bahwa banyak dampak negatif yang akan terjadi jika perusahaan smelter milik perusahaan aseng ini tetap bercokol di sana. Pertama, bisa kita lihat dari dampak lingkungan yang diakibatkan karena beroperasinya perusahaan smelter tersebut. Limbah perusahaan tidak bisa dikelola dengan baik sehingga berdampak buruk bagi lingkungan asli penduduk lokal, yang pada umumnya bekerja sebagai nelayan. Kedua, dampak sosial yang terjadi karena kulturisasi budaya. Sebagian besar dari karyawan perusahaan adalah orang Cina, yang tentunya memiliki kultur budaya dan agama yang berbeda. Sementara penduduk lokal sebagian besar umumnya beragama Islam. Sehingga ketika terjadi kulturisasi budaya maka terjadi banyak penyimpangan sosial. Ketiga, dampak ekonomi yang sangat dirasakan masyarakat lokal. Bahwa sebagian besar dari mereka harus merelakan tanah dan tambak mereka digusur untuk kepentingan perusahaan membangun kawasan mega industri. Sebagian besar penduduk lokal di dua kecamatan yaitu kecamatan Kapoiala dan kecamatan Bondoala, serta beberapa desa sekitar perusahaan yang menggantungkan harapan hidup pada perusahaan juga tidak menerima kompensasi apapun. Hal ini karena pihak perusahaan memiliki aturan yang menjadi syarat dalam menyerap tenaga kerja. Sementara rata-rata klasifikasi dari masyarakat sekitar tidak sesuai ekspektasi dari perusahaan.

Seharusnya PT VDNI dan OSS ini tidak diizinkan berdiri di bumi Sultra ini, jika tujuannya hanya ingin menguras kekayaan alam dan mengeruk keuntungan yang berlipat ganda. Jelas sekali ada kepentingan para investor, yang notabene bukan dari pemerintah pusat apalagi daerah. Kita tentu harus bisa mengambil pelajaran berharga dari kasus penambangan PT Freeport di Tembaga Pura Irian Jaya, yang menorehkan banyak cerita pedih dan duka yang dalam. Dikuasainya perusahaan oleh pihak asing, yang didapat pemerintah pusat dan daerah hanya dari pajak yang tidak seberapa dibanding dengan omzet trilyunan dollar yang diperoleh perusahaan. Akibatnya ada gelombang ketidakpuasaan masyarakat Papua terhadap pemerintah karena kesejahteraan tidak mereka dapatkan sementara mereka hidup di tempat tambang yang kadar emasnya menempati peringkat ketiga di dunia.

Dalam hal ini, peran negara harus signifikan dalam mengelola sektor-sektor ekonomi yang merupakan salah satu penopang kestabilan negara. Sumber-sumber pendapatan negara harus dikelola langsung oleh negara, bukan malah diserahkan kepada pemilik modal/individu.
Dalam Islam, seorang pemimpin tugasnya adalah meri’ayah (mengurus) rakyat. Sebagaimana dalam hadits Al-Bukhari, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”.
Islam sangat paripurna dalam mengatur urusan manusia, termasuk bagaimana seharusnya seorang pemimpin dalam mengatur pemerintahan dan rakyatnya. Pemimpin sama sekali tidak boleh mengambil langkah atau kebijakan yang nantinya akan berakibat fatal dan merugikan kepentingan umum. Dia akan mengambil setiap kebijakan dengan tolok ukurnya pada Alqur’an dan Assunnah, agar diperoleh kebijakan yang membawa kepada kemaslahatan bersama. Bukan didasarkan pada kepentingan sebagian atau individu saja, apalagi hanya untuk segelintir pemilik modal. Wallahu ‘alam bishowwab.

Oleh: Ronita Pabeta, S. Pd. (Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial)
Baruga, Sulawesi Tenggara