Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memulai gerakan ‘Pernikahan Massal’ atau penyelarasan antara pendidikan vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja (DUDI). Tujuan utama dari gerakan ini agar program studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja.
Inilah yang sekarang kita lihat. Negara begitu concern mendorong tumbuhnya institusi-institusi pendidikan vokasi. Atau gencar menggagas pendidikan berbasis link and match dengan industri. Begitu pula, negara nampak begitu bersemangat memfasilitasi berbagai kerjasama penelitian antara institusi pendidikan dan korporasi.
Walhasil arah pendidikan dalam sistem berparadigma rusak yang diterapkan hari ini, memang tak lebih dari mesin pensuplai kebutuhan pasar tenaga kerja bagi industri raksasa milik negara-negara adidaya. Bukan sebagai pilar membangun peradaban cemerlang. Dan dampaknya akan terus membuat negeri ini terposisi sebagai objek penjajahan. Tak berdaulat dan jauh dari kemandirian.
Program Vokasi Minim Visi
Memang, program pendidikan vokasi terkesan menjanjikan. Karena setelah lulus SMK atau perguruan tinggi, peserta didik bisa langsung bekerja. Menjamurnya sekolah vokasi atau sekolah kejuruan yang menjanjikan lulusannya bisa langsung disalurkan ke perusahaan bonafit, meyakinkan orang tua dan peserta didik lebih tertarik memilih SMK dari pada SMA. Hal ini terjadi karena saat ini rakyat terutama orang tua tidak punya pilihan lain.
Sekolah umum mengharuskan siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas atau perguruan tinggi. Sayangnya, untuk mengenyam pendidikan perkuliahan, orang tua harus mengeluarkan biaya yang fantantis.
Kenyataan juga berbicara bahwa menyandang gelar sarjana tidak menjamin seseorang meraih masa depan yang lebih cerah dengan mendapat penghidupan yang mapan secara materi. Banyaknya lulusan perguruan tinggi atau universitas saat ini justru menambah jumlah angka pengangguran di usia produktif. Hal tersebut terjadi akibat sistem pembelajaran yang hanya mengejar nilai tinggi tanpa ada karya nyata.
Pemikiran pragmatis juga memiliki andil besar mencetak masyarakat yang jumud (statis) dan utopis. Pendidikan hanya dipandang sebagai jalan mendapatkan masa depan yang lebih baik secara finansial dengan cara yang instan. Berangkat dari sinilah program vokasi dianggap sebagai langkah tepat. Sistem vokasi diharapkan membentuk SDM lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang lebih memiliki kompetensi dalam mendapatkan lapangan pekerjaan.
Kebijakan bagi perguruan tinggi negeri atau swasta yang bebas membuka program studi baru ternyata hanya diperuntukkan bagi perguruan tinggi vokasi atau institut teknologi, bukan untuk jurusan yang bersifat keilmuan murni atau sains. Arah dari program studi yang ada dalam kurikulumnya juga ditujukan bukan untuk kepentingan umat melainkan untuk kemakmuran para korporat. Tidak heran jika produk pendidikan yang dihasilkan adalah kaum intelektual yang tidak peka terhadap problematik umat.
Fenomena di atas menegaskan bahwa orientasi pendidikan tinggi vokasi bukanlah untuk menghasilkan intelektual yang menjadi tonggak perubahan menuju peradaban cemerlang melainkan untuk bersinergi dengan keinginan kaum kapitalis guna memperbesar gurita bisnis.
Sistem Pendidikan Islam Memiliki Visi Besar
Pendidikan yang semestinya bervisi membangun kepribadian utuh manusia sebagai hamba Allah telah dikerdilkan dengan hanya mencetak manusia bermental buruh.
Dalam Islam, penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan untuk membantu negara dalam menyelesaikan problem masyarakat. Visi pendidikan adalah untuk mencetak output yang dapat mengabdikan ilmunya untuk rakyat. Kebermanfaatan ilmu kaum intelektual semata untuk rakyat. Difasilitasi oleh negara, para intelektual akan berinovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuannya dalam rangka merespon seluruh kebutuhan rakyat. Kehadiran mereka senantiasa ditunggu masyarakat karena sejatinya ahli ilmu adalah penerang atas gelapnya kebodohan.
Sistem pendidikan Islam ini tegak di atas asas akidah Islam yang sahih lagi kokoh. Yakni berupa keyakinan bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta adalah ciptaan Allah Ta’ala. Dan bahwa apa yang ada sebelum kehidupan dunia, serta apa yang ada setelahnya, berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia di dunia. Yakni dalam bentuk hubungan penciptaan dan pertanggungjawaban (hisab).
Maka dalam konteks sistem pendidikan, akidah ini mengarahkan visi pendidikan Islam sebagai washilah untuk melahirkan profil generasi terbaik yang paham tujuan penciptaan. Yakni sebagai hamba Allah yang berkepribadian Islam dan sebagai khalifah yang punya skill dan kecerdasan untuk pembangun peradaban cemerlang.
Visi inilah yang kemudian diturunkan dalam kurikulum pendidikan Islam di setiap tingkatannya, berikut metoda pembelajarannya. Yang dalam penerapannya di-support penuh oleh negara dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang. Termasuk para pendidik yang punya kapasitas dan kapabilitas mumpuni.
Bahkan support negara sedemikian maksimal. Hingga para guru, para ilmuwan dan peneliti diapresiasi dengan gaji dan insentif yang tinggi. Begitupun dengan para siswanya. Merekapun diberi fasilitas serba gratis, yang membuat mereka benar-benar fokus dalam tugasnya masing-masing. Baik sebagai pendidik dan arsitek generasi, maupun sebagai pembelajar yang siap berkhidmat untuk umat saatnya nanti. Kondisi ideal ini sangat niscaya. Karena sistem pendidikan Islam didukung oleh sistem-sistem lain yang menjamin tercapainya visi pendidikan.
Yang terutama adalah penerapan sistem politik Islam, yang menetapkan bahwa negara atau penguasa adalah pengurus dan penjaga umat. Negara Islam seperti inilah yang akan menerapkan seluruh aturan Islam, yang dipastikan akan mensupport penuh sistem pendidikan Islam.
Misalnya sistem ekonomi dan keuangan Islam, yang salah satunya mengatur soal kepemilikan. Bahwa sumberdaya alam yang ada merupakan milik umat. Dan negara wajib mengelolanya untuk kepemaslahatan umat.
Bahkan ada sumber-sumber keuangan lain yang ditetapkan oleh syariat, yang membuat negara memiliki dana nyaris tak berbatas untuk mensejahterakan rakyatnya. Termasuk mensupport sistem pendidikan gratis lagi berkualitas bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Support system pun datang dari penerapan sistem lainnya, seperti sistem sosial islam, sistem informasi dan kemedia-masaan islam, serta sistem sanksi islam yang menjamin tujuan pendidikan terealisasi dengan maksimal.
Inilah rahasia di balik tegaknya peradaban Islam yang demikian gemilang. Belasan abad, umat Islam mampu tampil sebagai umat terbaik dan menjadi trensetter dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari aspek pemikiran, sains, teknologi, seni, budaya dan sebagainya.
Bahkan saat itu, sistem pendidikan Islam yang disupport oleh penerapan syariah kaffah oleh institusi khilafah, mampu tampil sebagai mercusuar kebangkitan pemikiran di dunia Barat. Padahal kala itu Barat sedang diliputi kejahiliyahan akibat dominasi kejumudan dan doktrinasi agama yang menjauhkan umat dari tradisi berpikir cemerlang.
Dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki, ilmuwan Muslim sangat berkontribusi pada perkembangan banyak ilmu pengetahuan modern seperti fisika, kimia, kedokteran, matematika, dan juga astronomi. Contohnya adalah Al-Khawarizmi. Penemuan matematikanya merupakan yang pertama memperkenalkan konsep “nol”, penyederhana perkalian dan pembagian. Ia juga menemukan sebuah perhitungan sistematis dari aljabar dan geometri untuk memecahkan masalah astronomi dan navigasi praktis.
Sehingga satu-satunya jalan untuk mengubahnya adalah dengan mencampakkan sistem pendidikan sekuler berikut sistem politik yang menerapkannya. Dan di saat sama, menerapkan sistem pendidikan Islam berikut sistem politik yang menaunginya. Yakni sistem khilafah Islam. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Ratna Handayani (Aktivis Muslimah Dakwah Jambi)