Khilafah dan perang, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kaum Muslim. Namun, mengapa untuk sekedar membahasnya menjadi polemik di negeri mayoritas Muslim ini? Bahkan halnya dikatakan ajaran radikal?.
Seperti diketahui bahwa Menag memastikan telah merevisi buku-buku pelajaran agama Islam. “Dalam buku agama Islam hasil revisi itu masih terdapat materi soal khilafah dan nasionalisme,” ujar kemenag lewat keterangan tertulisnya, Kamis, 2 Juli 2020 seperti dikutip dari CNN Indonesia. Kendati demikian, Menag memastikan buku-buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak relevan lagi di Indonesia. “Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran.
Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah” demikian tambah Fachrul Razi (Terkini.id, 2/7/2020).
Kebijakan yang mengundang polemik demikian sejatinya program lanjutan dari tahun sebelumnya. Dimana seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (LSKK) Madrasah pada Kementrian Agama (Kemenag), Umar, menjelaskan yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi yang berbau ke kanan-kananan atau ke kiri-kirian dihilangkan. Dia mengatakan, setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan. “Karena kita mengedepankan pada Islam wasathiyah,” kata Umar pada Republika.co.id, Sabtu (7/12/2019 silam).
Demikianlah kebijakan yang tidak berpihak pada kebenaran, namun lebih berpihak pada ‘sutradara’ yang tidak menyukai ajaran Islam. Ini menjadi bukti bahwa kurikulum pendidikan dapat berubah sesuai kepentingan pihak tertentu. Arah vissi-missi pendidikan sudah tidak murni lagi. Semua itu berjalan sistematis dan menyesatkan.
Bagaimana tidak, pelajaran khilafah dan jihad yang merupakan bagian dari ajaran Islam dianggap sebagai paham radikal yang berbahaya. Semakin nampak jelas bukan, bahwa kurikulum pendidikan di negera kita kian hari kian sekular. Semakin menjauh dan mengabaikan ajaran Islam yang murni dan paripurna.
Khilafah dan jihad adalah ajaran Islam. Keduanya telah membawa manusia pada cahaya peradaban. Didalamnya terdapat konsep yang paripurna dalam menata sebuah negara agar menjadi negara yang tangguh. Menjadikan kaum Muslim ditakuti oleh musuh. Juga disegani oleh lawan. Maka sungguh aneh dan menyalahi fakta sejarah, jika ada pihak yang mengatakan bahwa khilafah dan jihad adalah paham radikal.
Karena faktanya, di negara dengan beragam kepercayaan ini, kaum Muslim tidak pernah mengintimidasi umat yang lain agama.
Dakwah Islam juga tidak mengajarkan kekerasan fisik sebagaimana yang ditakutkan, tetapi lebih kepada penyampaian pemikiran. Juga tidak mengajarkan merusak tempat ibadah umat lain. Tetapi justru kaum Muslim yang selalu terpojokan dan tertuduhkan atas kekacauan yang terjadi. Umat Islam dianggap tidak toleransi dan sebagainya. Mengapa Islam dan umatnya selalu dicitra burukan? Bahkan ajarannya dicurigai.
Sebagai kaum Muslim, kita harus mengambil Islam secara keseluruhan, termasuk ajaran khilafah dan jihad. Sebagaimana firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara kaffah (sempurna) dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan.
Karena sesungguhnya, syetan adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al Baqarah: 208)
Lantas, siapa sebenarnya ‘sutradara’ dibalik layar itu? Jauh sebelumnya, al Qur’an telah mengingatkan, Allah Swt berfirman yang artinya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setalah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS. Al Baqarah: 120).
Wallahu ‘alam.
Oleh: Siti Maisaroh, S. Pd. (Pemerhati Pendidikan)