Polemik Rancangan RUU HIP, Mau Kemanakah Pancasila

Sitti Hartanti

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sempat bergulir di DPR memicu kontroversi. Penolakan muncul dari berbagai pihak. Mulai dari lembaga dan organisasi keagamaan seperti MUI, GP Ansor, NU hingga Muhammadiyah beserta sejumlah ormas lainnya. Kelompok purnawirawan TNI sampai partai oposisi pemerintah. Mereka kompak menyuarakan penolakan.

Penolakan dipicu oleh banyak faktor, diantaranya pembahasan RUU HIP tidaklah urgent di era pandemi Covid-19 saat ini. DPR harusnya fokus kepada penanganan pandemi yang hingga hari ini belum menuai hasil positif lenyap.

Iklan ARS

Tak hanya itu, beberapa pakar hukum dan politikus memaparkan, aroma komunisme begitu terasa dalam RUU HIP, mengingat tidak dicantumkannya Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran komunisme dan leninisme-marxisme. Juga perihal Trisila dan Ekasila yang lekat dengan Soekarnoisme. Hal-hal semacam ini sangat mudah terbaca oleh siapa saja walau seorang awam sekalipun.

RUU HIP menurut sebagian pihak, akan merendahkan martabat Pancasila. Yang harusnya menjadi Sumber Hukum, diturunkan statusnya menjadi sekadar Undang-undang. Juga menurut para Ulama, RUU ini menistakan Agama. Sebab sila ketuhanan dijadikan sila ketiga dalam Trisila dengan narasi Ketuhanan yang Berkebudayaan. Bahkan dalam konsep Ekasila, sila ketuhanan dihilangkan sama sekali. Artinya, nilai-nilai ketuhanan (baca: Agama), tidak diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan harus disesuaikan dengan kebudayaan Nusantara.
Akibat sejumlah penolakan dan aksi demo penolakan disahkannya RUU HIP ini, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengumumkan penundaan pembahasan Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila.

Namun, tidak bisa dipungkiri masih ada kemungkinan RUU HIP berjalan kembali karena penundaan Presiden belum mengeluarkan surat Presiden (Jawapos.com).

Dan benar saja, DPR khususnya dari kalangan PDIP malah ingin mengubah RUU HIP menjadi RUU PIP. Dilansir dari BBC News.com, RUU PIP disebut akan menjadi instrumen hukum dalam memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang ketua dewan pengarahnya dijabat oleh ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Melalui fakta tersebut, mengapa DPR dan pemerintah begitu getol membentuk BPIP berikut menetapkan Haluan Ideologi Pancasila melalui RUU HIP ataupun RUU PIP ?

Ada Apa dibalik Penetapan Haluan Ideologi Pancasila?
RUU HIP disebut sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hal itu dinilai perlu untuk menerapkan kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan. Hal ini bermakna mendudukkan RUU HIP sebagai rujukan dalam mengontrol seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Artinya, bahwa RUU HIP merupakan bagian dari upaya untuk menafsirkan kembali pancasila dan mengarahkannya pada arah tujuan tertentu. Sebagaimana dibentuknya BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), penetapan GBHIP (Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila) yang dinilai banyak pihak adalah hal yang tidak urgent bahkan dinilai “menghabiskan uang negara saja”, padahal ada begitu banyak problem yang paling urgen dan harus segera diselesaikan, misalnya pandemi ataupun hutang negara yang kian menumpuk.

Kalangan ahli hukum dan politikus juga menilai dalam penetapan Haluan Ideologi Pancasila berpotensi memunculkan tafsir tunggal pancasila. Hal yang bisa dijadikan “alat gebuk” bagi penguasa terhadap oposisi dan para pengkritik kebijakannya sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru.
RUU HIP sejatinya hanyalah satu diantara fakta sejarah dalam dinamika perjalanan Penetapan Dasar Negara. Bila kita kembali menengok sejarah, pancasila ternyata masih merupakan gagasan yang belum selesai.

Dahulu, Indonesia lahir ditengah percaturan politik dunia. Perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidak terjadi begitu saja. Melainkan terjadi tawar menawar antara tokoh tokoh pengusung ideologi berbeda.
Bila kita telisik lebih lanjut lagi, polemik penetapan haluan ideologi pancasila hari mengulang kisah lama, yakni adanya pertarungan ideologi antara Islam, Kapitalisme dan juga Komunisme).

Dimasa sidang BPUPKI hingga PPKI terjadi pertarungan ideologi. Pada 1 Maret 1945 sampai 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan alot antara tokoh Islam dan tokoh nasionalisme. Tokoh Islam menghendaki landasan negara adalah syariat Islam namun dibantahkan oleh kalangan nasionalisme.
Dimasa orde lama, pancasila yang diklaim sebagai kesepakatan bersama justru dimaknai nasakom (nasional komunis) bahkan negeri ini sampai berada dibawah kendali komunis.

Pancasila sendiri justru diarahkan kepada paham komunisme bahkan lucunya ada istilah komunisme religius.
Hingga kini, pancasila masih terus ditafsirkan, ditengah dengungan “pancasila sudah final” terus digencarkan. Ini membuktikan bahwa pancasila bukan harga mati, melainkan harga yang bisa ditawar. Sejarah sudah memperlihatkan bahwa Pancasila ditawarkan berbeda dalam setiap rezim di negeri ini.

Prof. Suteki, dalam ILC memaparkan, Pancasila ibarat kertas kosong yang warnanya tergantung rezim yang berkuasa. Hal ini dikarenakan pancasila hanyalah nilai nilai/ norma yang bersifat umum dan terbuka, mengundang multitafsir dari rezim yang berkuasa dan sangat berpotensi dikendalikan oleh ideologi ideologi besar yang ada. Sebab sebagai falsafah hidup, pancasila sangat bergantung kepada under lying sistem ideologi apa yang mampu mewarnainya.

Maka tak heran, dari rezim ke rezim, negeri ini tidak pernah beranjak lebih baik. Hal ini dikarenakan kedua idelogi kufur masih diterapkan. Sementara pancasila digunakan sebagai kedok untuk melanggengkan ideologi komunisme dan kapitalisme.
Saatnya Ideologi Islam Sebagai Haluan Pancasila.

Pancasila bukanlah ideologi. Kajian Literatur Ideologi pun memaparkan bahwa ideologi didunia hanya ada tiga, yakni Islam, Kapitalisme dan Komunisme. Sebab, ideologi adalah gabungan daripada fikroh (pemikiran) dan thoriqoh (metode penerapan). Ideologi merupakan akidah yang melahirkan sistem peraturan. (Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam bab Qiyadah Fikriyah).
Artinya, suatu pemikiran disebut ideologi apabila memiliki konsep aturan yang komprehensif dan juga metode penerapan konsep tersebut.

Islam adalah ideologi. Sebab, islam memiliki konsep yang komprehensif dan metode penerapan yang paripurna bahkan teladan sempurna, yakni manusia mulia Rasulullah saw. Sementara, pancasila tak punya itu, sehingga ia sangat mudah ditarik ulur oleh ideologi yang ada. Pun pancasila tidak memiliki role model manusia paling pancasilais sebagai teladannya.

Hal ini salah satunya dikarenakan upaya penggabungan ideologi yang dilakukan oleh Soekarno, padahal ketiga ideologi yang ada tidak bisa digabungkan satu sama lain. Masing- masing saling bertentangan fikroh dan thoriqohnya.

Oleh karena itu, bukan saja RUU ini yang mesti ditolak, bukan pula hanya berfokus pada ancaman komunisme walaupun banyak data yang menunjukkan adanya upaya mengembalikan eksistensi ideologi komunisme. Namun, kita tak semestinya terlena dengan bahaya dan ancaman dari Kapitalisme sekulerisme yang tengah mencengkram kita diberbagai aspek kehidupan.

Sekularisme jelas -jelas juga bertentangan dengan Islam. Tapi masih belum banyak disadari oleh umat. Sekularisme mutlak harus ditolak oleh umat Islam karena mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan dan negara (fashl ad-din an al-hayah wa ad-dawlah). Ideologi Sekularisme-kapitalisme menolak syariah Islam dijadikan undang-undang dalam kehidupan.

Padahal Allah SWT telah berfirman:
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50).
Maka ketika komunisme merusak aqidah dan kapitalisme-sekularisme merusak hingga ke sendi-sendi kehidupan berbangsa bahkan dunia, yang dibutuhkan umat sejatinya adalah Islam. Islam dengan syariahnya yang kaffah mencakup segala aspek kehidupan saat diterapkan selama kurang lebih 13 abad, kiranya satu-satunya yang layak diperjuangkan agar kehidupan umat Islam dan manusia umumnya kembali tercatat dengan tinta emas sebagai peradaban paling luhur dan agung sepanjang sejarah peradaban manusia. Wallahu a’lam bii sawwab

Oleh Sitti Hartanti