Jerat Rentenir di Tengah Pandemi

Ooy Sumini

Ibarat menyapu lantai dengan sapu yang kotor, bukannya bersih yang ada kotoran makin meluas. Itulah peribahasa yang menggambarkan keadaan yang menimpa sebagian warga Kabupaten Bandung. Pemkab Bandung berencana membebaskan warga dari jeratan bank emok dengan mengucurkan dana 10 miliar.

Fenomena bank emok/praktik rentenir di Kabupaten Bandung masih marak. Salah satunya yang terjadi di wilayah Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali. Gara-gara terlilit utang, seorang warga harus kehilangan rumah dan warga lainnya tidak bisa mempertahankan rumah tangganya karena sering cekcok soal utang kepada rentenir. Bank emok ini meskipun bunganya mencekik leher, tapi dianggap menjadi solusi cepat bagi warga yang butuh uang tanpa persyaratan rumit. “Tapi dampak negatifnya lebih besar ketimbang manfaatnya,” ujar Awan Rukmawan, Kepala Desa Alamendah. (Inilahkoran, 30/6/2020).

Iklan KPU Sultra

Saat memasuki pandemi Covid-19, pemerintah dari pusat sampai daerah mengeluarkan peraturan agar para rentenir ini tidak melakukan penagihan kepada para nasabahnya. Dan hingga saat ini aturan larangan penagihan dan larangan beroperasi belum dicabut. Kebijakan tersebut memang menuai pro dan kontra di masyarakat. Karena memang kehadiran bank emok di tengah masyarakat ini bisa dikatakan dibenci tapi dirindukan.

Selain memberlakukan larangan, pemerintah juga mencarikan jalan keluar untuk menyelamatkan warganya yang kadung terjerat utang oleh rentenir dan warganya yang membutuhkan bantuan keuangan. Bupati Bandung Dadang M. Naser, mengungkapkan sudah bertemu dan berdiskusi dengan para kepala desa, camat dan pihak BPR Kerta Raharja. Pemberian kredit lunak bagi masyarakat yang terjerat rentenir sudah menjadi program Pemkab Bandung.

Tahap awal pihaknya menyiapkan dana Rp 10 miliar. Selain dari BPR Kerta Raharja, bantuan kredit lunak juga bersumber dari BJB dan dari zakat center. “Intinya, bagaimana masyarakat menolak bank emok,” kata Dadang saat wawancara di Soreang. (Pojok Bandung, 1/7/2020).

Tekniknya bisa melalui Bumdes, koprasi atau langsung kepada warga yang membutuhkan bantuan kredit lunak. Untuk persyaratannya, yakni memiliki tunggakan utang ke bank emok atau rentenir, memiliki penghasilan dan ada kesanggupan untuk membayar cicilan. “BPR Kerta Raharja melunasi utang (take over) warga ke rentenir dan selanjutnya warga ini menjadi nasabah BPR Kerta Raharja dengan suku bunga kredit yang rendah,” demikian ujar Awan Rukmawan.
Demikianlah solusi yang diambil untuk mengatasi masalah di era kapitalis.

Solusinya tidak tuntas, masalah sesungguhnya tetap ada, hanya berkurang. Dengan menghentikan utang yang berbunga mencekik leher, kemudian mengalihkan ke utang yang berbunga rendah, sebenarnya tidak menuntaskan masalah. Dalam Islam bunga/riba dilarang dan termasuk dosa besar, meskipun bunga itu rendah.

Riba secara bahasa artinya tambahan. Definisi secara syar’i adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran tanpa ada pengganti, atau riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu. (Abdul Aziz Al-Khayyath, Asy-Syarikat fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah wa Al-Qonun Al-Wadh’i, 2/168)
Perbankan, riba dan mata uang adalah pilar penting dalam ekonomi kapitalis. Sebagai lembaga intermediasi, cara kerjanya adalah dengan menarik dana masyarakat kemudian menyalurkan kembali dengan sistem bunga.

Agar bank mendapat untung, maka suku bunga yang disalurkan harus lebih besar dari suku bunga yang dibayarkan kepada nasabah. Hanya saja, pada saat pandemi seperti ini banyak orang usahanya mandek atau terkena PHK sehingga tidak memiliki penghasilan untuk membayar pinjaman ke bank.

Islam sebagai agama yang kamil dan syamil atau sempurna dan menyeluruh, selalu punya solusi untuk setiap masalah. Tak terkecuali dengan masalah utang ke rentenir yang menjerat ini. Bukan dengan melunasi utang yang berbunga besar dengan utang yang berbunga kecil. Inilah langkah-langkah untuk melunasi utang riba. Pertama, taubat dari riba, dengan taubat nasuha.

Agar mudah mendapat pertolongan Allah Swt. harus mengakui bahwa berutang dengan cara riba adalah dosa. Bahkan pelakunya atau nasabah utang riba akan terkena laknat. ”Rasul Saw melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba dan dua orang saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau “semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim no 1598).

Kedua, perbanyak istigfar, karena memohon ampun kepada Allah Swt. akan memudahkan rizki. Ketiga, jual aset tanah, rumah atau kendaraan. Sebagian orang sebenarnya punya aset yang berharga dan itu bisa digunakan untuk melunasi utang riba. Namun karena saking hasratnya tetap harus memiliki harta, jadi utang tersebut terus ditahan. Bagi yang enggan melunasi, padahal punya aset dan mampu tentu akan jauh dari pertolongan Allah.

Keempat, jika tidak punya aset, maka harus berusaha meminjam pada orang lain atau saudaranya untuk melunasi utang riba. Tentu saja pinjaman tersebut bisa diperoleh jika punya sifat amanat dan bisa mendapatkan kepercayaan dari orang.

Solusi ini bisa dipraktekkan pada saat ini, jika pemahaman syariat Islam tentang riba ini sudah sampai pada pelaku riba. Walaupun sulit melepaskan diri dari riba, dengan upaya yang sungguh-sungguh, orang bisa saja lepas dari riba. Tentu yang lebih baik adalah mencegah terjadinya transaksi riba. Dan hal itu hanya bisa terjadi di negara khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Negara khilafah akan memberantas riba sampai ke akar-akarnya dengan panarapan sistem ekonomi Islam yang bisa menyejahterakan rakyat, dan terintegrasi dengan sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pemerintahan Islam dan lain-lain. Sungguh kita perlu segera menerapkan syariah, menegakkan khilafah.
Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh : Ooy Sumini
Ibu Rumah Tangga, Cileunyi Kabupaten Bandung