Mencari Perisai yang Hilang

Yeni Marlina

Hakikat sebuah bangunan yang kuat, mestilah ditopang oleh penyangga yang memadai. Rumah yang kuat dibangun dari seluruh perencanaan, bentuk rancang bangun yang cocok serta bahan-bahan yang berkualitas. Dimulai dengan sistem kerja yang bertarget menjadi sebuah bangunan yang diinginkan. Setelah berdiri kokoh dijaga dan dirawat dari segala bentuk kerusakan. Penjagaan ini membutuhkan berbagai bentuk upaya supaya bangunan tetap berdiri kokoh. Dan tidak mudah rusak sekalipun ada badai-badai kecil menghampiri.

Demikian pula gambaran sebuah tatanan kehidupan bernegara. Menjadi sebuah bangunan besar tempat rakyat berlindung di bawah payung besarnya, bernaung dari berbagai nestapa kehidupan. Hidup, tertata dengan rapih karena percaya bangunannya akan selalu berdiri kuat.

Rancangan negara Islam yang sudah dibangun Nabi sejak penancapan tonggak pertama di Madinah dan berlangsung sangat panjang setelah masa itu, lebih dari 1300 tahun mempu membuktikan bahwa rancang bangun dan sistem berdirinya sebuah negara bagi kaum muslimin mampu sebagai payung pelindung bagi rakyat yang hidup di bawahnya. Payung lebar menaungi hingga 2/3 dunia ini tidak diragukan kemampuannya sanggup menjadi mercusuar dunia. Serpak terjang para pemegang payung ini berdiri kokoh bak kesatria yang tak terkalahkan. Badai-badai yang berhembus ingin mematahkan tiang-tiang penyangganya mampu dihalau oleh jiwa-jiwa amanah dan bertanggung jawab. Di zamannya umat Islam pernah punya rumah besar ini hingga luas mencapai sebagian besar peta dunia.

Sistem yang di representasikan oleh Rasulullah saw dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Sungguh adalah sistem tuntunan syariat yang diturunkan oleh zat yang maha Agung Allah SWT. Khalifah adalah kepala negara bagi seluruh umat Islam, di tangannya menggenggam kekuasaan yang bijaksana. Menjadi orang-orang pilihan dari masa ke masa berdasarkan kapabilitasnya. Junnah itulah kata yang disematkan kepada setiap khalifah.

Sebagaimana Rasululkah saw bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan beliau:

”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”( ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqat al-Mafatiih Syarh Misykat al-Mashabiih, juz VI, hlm. 2391).

Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”

Sedangkan makna (yuqaatilu min waraa’ihi) yakni: kaum Muslimin akan berperang bersama dengannya (al-Khalifah) dalam memerangi orang-orang kafir, para pemberontak, khawarij dan seluruh kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezaliman secara mutlak. Begitulah yang disampaikan al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Bagaimana implementasinya?, fungsi junnah dari Khalifah ini tampak ketika ada Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan Rasulullah Saw, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim.

Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.
Pun demikian dengan Sultan Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina.

Semua ini adalah representasi dari fungsi junnah para Khalifah di era kekhilafahan Islam yang berhubungan dengan perlindungan kepada rakyatnya. Dan banyak lagi kesuksesan era khalifah dalam mengemban amanah sebagai perisai. Baik dalam tatanan mensejahterakan, memfasilitasi lembaga pendidikan yang siap mencetak generasi unggul di masanya, sarana kesehatan yang memadai dan lain sebagainya. Direalisasikan dengan sungguh-sungguh, karena ditopang oleh pengelolaan berbagai aset yang ada.

Demikianlah gambaran pemimpin Islam dalam sebuah payung negara yang bernama khilafah. Kekuasaan seorang khalifah dipandu oleh agama. Benar yang dikatakan
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad hlm. 128 mengumpamakan diin dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان). Beliau berkata :

“Al-Diin itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”

Kini, sejak seabad tahun hijriyah yang yang lalu bangunan tersebut runtuh, menyisakan puing-puing sejarah dan agama sebatas ruhiyah. Agama dipakai oleh individu-individu yang masih kuat i’tiqadnya dalam menghamba. Namun bangunan penopang dan penyangga sebagai negara telah punah. Keberhasilan musuh-musuh agama berabad-abad silam telah mampu mengikis kekuatan umat. Perlahan tapi pasti karna rekayasa tipu muslihat. Menghalalkan segala cara adalah tabi’at jahat sistem peradaban barat. Hingga mampu melenyapkan sang perisai sampai hilang tak berfungsi.

Sejak itu lautan darah kaum muslimin tak kering-keringnya terus mengalir, pandanglah wilayah Palestina, tengok derita di Rohingya dan Uighur, alihkan mata ke myanmar dan segenap penjuru negeri muslim. Tak tersisa tentara gagah berani atas komando sang perisai yang ada hanya ungkapan kemanusiaan dan penyesalan tanpa pertolongan. Sementara air mata terus mengalir dari wajah-majah tulus sedang berjuang dibawah kecaman yang menyiksa. Tak rela melepaskan keyakinan karena berharap surga. Mati syahid dan hidup mulia menjadi cita-cita yang terus membara.

Hidup tanpa perisai membuktikan, umat Islam hidup tanpa penjaga. Siang malam siap diintai untuk dimangsa, tidak ada yang menjaga harta, nyawa, kehormatan, bahkan keyakinan (aqidah) pun entah kemana.
Imam atau perisai, sungguh bak mutiara barang berharga. Kilauannya hilang bersama eksistensinya.

Sesuatu yang hilang bisa ditemukan kembali apabila dicari. Menemukan sang khalifah saat ini menjadi tugas bersama umat. Kewajiban yang tidak bisa ditunda, bahkan menjadi mahkota kewajiban. Saling bahu membahu, fokus menyusuri cara untuk bisa menemukannya. Cara yang tepat dan membawa keberhasilan, telah di contohkan oleh baginda yang mulia, yaitu berdakwah menyadarkan umat. Mengenalkan umat dengan sosok perisai yang dimaksud, kilauan cahayanya yang mampu menerangi gemerlap dunia. Metode dakwah yang nabi ajarkan akan mampu menghantarkan hingga perisai tersebut kembali ke pangkuan umat, insyaAllah.

Yeni Marlina, A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Sosial dan Aktivis Muslimah)