Berbenah Kurikulum Agama, Ada Yang Tersakiti?

Opini1612 Dilihat
Sitt Rokaya

Keputusan Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi, untuk menghapus konten radikal dalam buku pelajaran agama menuai beragam pendapat. Berdasar hasil identifikasi, terdapat 155 buku pelajaran agama Islam yang memuat konten radikal. Karena itu, Menag memutuskan untuk memangkas materi tersebut.

Meskipun demikian, materi kontroversial seperti materi tentang Khilafah tetap ada di buku-buku tersebut. “Dalam buku agama Islam hasil revisi itu masih terdapat materi soal khilafah dan nasionalisme” ujar Menag lewat keterangan tertulisnya, Kamis, 2 Juli 2020 seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Kendati demikian, Menag memastikan bahwa penjelasan yang termuat dalam buku tersebut akan bahwa Khilafah tak lagi relevan di Indonesia. Lalu, penjelasan mengenai muatan apa yang tepat bagi bangsa ini akan terjawab dengan materi mengenai moderasi Islam. Hal ini adalah untuk menguatkan program penguatan moderasi Islam yang dicanangkan oleh Kementrian Agama.

“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” kata Fachrul dalam keterangan resminya. (makassar.terkini.id, 2/7/2020)

Islam Wasathiyah Jadi Solusi?

Hasil revisi kurikulum yang telah dilakukan tersebut akan digunakan pada kurikulum tahun ajaran 2020/2021. Sebelumnya, Menag melakukan revisi terhadap ratusan buku yang berasal dari lima mata pelajaran, yakni Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Al Qur’an dan Hadis serta Bahasa Arab.

Program moderasi Islam pada dasarnya telah dijalankan selama ini. Program yang telah berjalan adalah pembangunan rumah moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) serta penguatan bimbingan perkawinan. Dalam sektor bimbingan perkawinan, Fachrul menitikberatkan pada persoalan kesehatan dan moderasi beragama. Ia berharap lewat program ini kepala keluarga bisa mengajak anggotanya bersikap moderat.

“Presiden menggarisbawahi penguatan bimbingan perkawinan pada upaya membangun generasi sehat, kita perkuat lagi dengan moderasi beragama,” ujarnya.(idtoday.co,3/7/2020).

Selain melalui perkawinan, moderasi Islam juga dilakukan dengan melaksanakan pelatihan bagi guru dan dosen, penyusunan modul pengarusutamaan Islam wasathiyah, serta madrasah ramah anak juga sedang digalakkan oleh Kemenag guna memaksimalkan program moderasi beragama.

Wacana Islam Moderat memang telah lama digaungkan dan dianggap sebagai solusi bagi persoalan bangsa. Pada Mei 2018, puluhan ulama dan cendekiawan Muslim dunia hadir di tanah air. Kehadiran mereka bukan sekedar untuk berkumpul. Namun, mereka menghadiri KTT Ulama dan Tokoh Intelektual Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam.
Mereka menyakini bahwa kemajuan Islam dan juga dunia bisa dicapai dengan moderasi Islam.

Menurut Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan kerja sama Antaragama dan Peradaban, Din Syamsudin, terdapat dua hal yang membuat Wasathiyah Islam adalah hal yang penting. Terdapat dua hal yang membuat Wasathiyah Islam menjadi penting. Pertama, realitas Islam yang tidak menunjukkan corak yang moderat. Kedua, kehidupan manusia yang mengalami kerusakanan, ketidakteraturan, dan ketidakpastian secara global.

Pertemuan tersebut akhirnya menghasilan Bogor Massage atau Pesan Bogor yang berisi 4 poin. Pertama, mengaktifkan kembali Paradigram Wasathiyah Islam sebagai paradigma Islam. Kedua, menjunjung tinggi nilai-nilai paradigma Islam sebagai budaya hidup individu dan kolektif. Ketiga, memperkuat tekad untuk membuktikan kepada dunia bahwa umat Islam sedang mengamati paradigma Wasathiyah Islam.

Kelima, mendorong negara-negara Muslim dan komunitas untuk mempromosikan Wasathiyah Islam.

Dalam hal ini, Indonesia memposisikan diri dengan sangat jelas. “Posisi Indonesia sangat jelas. Kami mndorong dan berkomitmen lairnya poros Wasathiyah Islam dunia” ujar Presiden Jokowi (pinterpolitik.com, 3/5/2018). Pernyataan ini tentu sudah menunjukkan bahwa Indonesia terus menapaki jalan menuju Islam moderat yang lebih kuat.

Islam Memandang

Penghapusan materi yang dianggap radikal tersebut tidak lazim bagi beberapa pihak. Ada yang memandang bahwa hal tersebut adalah bentuk penyesatan sistematis terhadap ajaran Islam. Kebijakan ini diduga berpotensi menghasilkan kurikulum pendidikan sekuler anti Islam. Kurikulum yang menjadi rujukan mengarahkan anak umat memperjuangkan tegaknya Islam diganti materi yang mendorong mereka mengganti Islam dengan sistem buatan manusia.

Lalu bagaimana Islam menyikapi Islam moderat? Istilah islam moderat adalah upaya untuk mewujudkan umat islam sebagai “umat pertengahan”. Namun, hal ini tentunya bukan berarti mengambil jalan tengah bagi akidah.

Islam bukan pula agama yang mengajarkan tindakan yang bar bar. Kedamaian, keutuhan dan toleransi juga senantiasa dipelajari dalam khazanah ilmu Islam. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non muslim. Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka. Allah SWT berfirman “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai kaum yang berlaku adil (QS al-Muntahanah [60]:8).

Ajaran-ajaran kebaikan dalam Islam juga tertuang dalam konsep pendidikan. Sementara itu saat ini, pendidikan Islam dipojokkan dan dianggap sebagai salah satu pintu lahirnya radikalisme. Padahal, Pendidikan adalah hal penting dalam Islam, hal ini ditunjukkan dengan ditinggikannya orang-orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu satu derajat bahkan mereka dimasukkan dalam golongan pewaris para nabi. Rasullullah saw bersabda “Dan keutamaan orang yang berilmu atas orang yang beriman adalah seperti keunggulan bulan atas seluruh benda langit sungguh para ulama adalah pewaris para nabi satu-satunya warisan para ulama adalah pengetahuan, sehingga siapapun yang mengabil hal itu maka sungguh ia telah mengambil bagian yang paling cerdas” (HR. Qais bin katsir).

Di sisi lain, pendidikan di dalam kondisi saat ini memberikan generasi muda pikiran liberal dan individualis. Nilai tersebut menjauhkan generasi dari nilai-nilai agama yang melekat di dalam dirinya sebagai muslim. Karenanya tidak heran, generasi yang dihasilkan adalah generasi yang materialistik, egoistik yang pemahamannya diisi oleh karakter universal atau karakter yang tidak dibatasi oleh norma-norma agama.

Pendidikan Islam adalah hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat oleh negara. Dalam pendidikan Islam juga wajib berlandaskan pada aqidah Islam. Mata pelajaran serta metedologi penyampaian seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dari asas tersebut.

Politik pendidikan adalah membentuk pola piker dan pola jiwa islami maka seluruh mata ajaran disusun berdasarkan strategi tersebut. Tujuan pendidikan di dalam Islam adalah membentuk manusia yang (1) memliliki kepribadian Islam; (2) handal menguasai pemikiran Islam; (3) menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (ilmu, pengetahuan, dan teknologi); (4) memiliki keterampilan tepat dan berdaya guna. Semua ini dalam kepemimpinan Islam yang di sebut juga Khilafah.

Islam memandang ilmu bukan komoditas dan produksi akan tetapi dia adalah jiwa kehidupan dan desain riset negara. Hal ini selaras dengan politik dalam dan luar negeri negara yang mensejahterakan manusia. Sejarah Islam membuktikan dan meniscayakan lahirnya ilmuan-ilmuan unggul salah satunya Labana dari Kordoba yaitu seorang ahli dalam matematika dan sastra di abad ke 10 Masehi. Ia mampu memecahkan masalah geometri dan aljabar yang paling kompleks. Dia juga memiliki pengetahuan yang luas dari literatur umum yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai sekertais Khalifah Al hakim II.

Dengan semua bukti keberhasilan Islam ini, berusaha untuk mengkompromikan Islam dengan hal lain yang berpotensi tidak relevan, juga tidak tepat. Menghapus atau merevisi penjelasan tentang suatu konteks istilah dalam Islam perlu dikaji kembali. Bukan tentang rekevansinya terhadap zaman, tetapi bagaimana ajaran Islam yang otentik. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Oleh: Siti Rokaya
(Relawan Media dan Opini)