Polemik reklamasi di Teluk Jakarta masih terus bergulir. Kasusnya ibarat bola salju yang meluncur cepat dan semakin kuat. Pergantian pemimpin tidak membuat masalah semakin mengerucut, tapi justru semakin melebar.
Dilansir dari laman tirto.id., 3/07/2020, “Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan izin reklamasi di Jakarta Utara lewat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020. Ia mengizinkan perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) seluas lebih kurang 35 hektare dan Taman Impian Jaya Ancol lebih kurang 120 hektare.
Selain itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan akan membuat museum sejarah Nabi Muhammad SAW terbesar setelah Saudi Arabia. Museum itu akan dibangun di area seluas tiga hektare di atas daratan buatan (reklamasi) di kawasan Ancol, Jakarta Utara. (CNNIndonesia.com., 11/07/2020)
Kepgub tersebut spontan mendapat beragam respon publik. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), melalui Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati menegaskan keputusan ini adalah ironi karena salah satu janji Anies dalam pilkada lalu adalah menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Selain itu, menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah wacana pembangunan museum nabi dan masjid apung merupakan upaya dari Anies Baswedan merayu warga Jakarta agar setuju reklamasi.
(CNNIndonesia.com., 11/07/2020)
Namun, Anies berkilah bahwa reklamasi Teluk Jakarta dan Ancol berbeda. Anies mengatakan dia “tidak pernah menolak reklamasi [Teluk Jakarta], tapi menghentikannya”. Realisasinya dengan mencabut 13 izin reklamasi dicabut, yang lantas memunculkan gugatan hukum dari para pengembang. Terakhir Anies menang di Mahkamah Agung (MA) atas gugatan pengembang Pulau H, PT Taman Harapan Indah.
Gubernur Anies Baswedan juga menyebut target pembuatan museum nabi tersebut ialah untuk mendatangkan turis mancanegara. Selain museum sejarah nabi, Pemprov DKI Jakarta juga berencana untuk membuat masjid terapung di lahan buatan tersebut.
Tidak puas dengan sanggahan Anies, Kiara menilai Gubernur DKI saat ini tengah mengakali hukum dengan mendasarkan kepgubnya dengan tiga Undang-Undang (UU) cherry picking alias pilih-pilih.
Selain itu, reklamasi hanya akan memperkuat praktik komersialisasi kawasan pesisir, dan itu tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2010.
Senada dengan Kiara, Nelayan Teluk Jakarta menegaskan sangat menolak reklamasi kawasan Ancol karena diyakini akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Nelayan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Nelayan Jakarta menyebut reklamasi kawasan Ancol juga akan membunuh penghidupan nelayan. (Detiknews.com., 12/07/2020)
Proses pengerukan dan pemadatan tanah di wilayah reklamasi menyebabkan ikan-ikan di pesisir Ancol mati. Sehingga, walau di sekitar wilayah reklamasi tidak ada perkampungan nelayan. Aktivitas tersebut akan sangat berdampak pada mata pencaharian nelayan yang masih mencari penghidupan di pesisir Teluk Jakarta.
Bagi kalangan yang pro terhadap proyek reklamasi, kegiatan pengerukan disebut merupakan salah satu upaya mengurangi banjir di Jakarta karena akan memperlancar aliran air ke laut. Kemudian, pemadatan tanah berfungsi memecah gelombang dan dapat mengurangi abrasi. Adanya perluasan wilayah dinilai memberikan manfaat ekonomi bagi warga Jakarta, menyerap banyak tenaga kerja dan menyediakan kebutuhan primer yaitu papan bagi masyarakat Jakarta.
Namun, dalih tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan. peraturan yang saling tumpang tindih justru mematikan yang penghidupan warga sekitar. Alasan memfasilitasi kebutuhan perumahan bagi warga nyatanya hanya untuk dijadikan sebagai kawasan khusus komersial dengan harga fantastis. Kenyataan yang terjadi juga menambah masalah serius terkait urbanisasi.
Fakta di atas sejatinya mengungkap bagaimana gurita oligarki masih mencengkram pemangku kebijakan saat ini. Meski banyak yang menentang, proyek strategis jangka panjang yang sudah terlanjur diteken dan disepakati nyatanya terus melenggang. Tidak yang menjaminan kesejahteraan bagi masyarakat Jakarta setelah reklamasi dilaksanakan. Karena rencana reklamasi tersebut adalah mega proyek para kapital.
Kekuasaan oligarki di negeri yang kuat mengadopsi sistem kapitalisme liberal membuat penguasa bertekuk lutut di hadapan para pemodal. Pastinya kenyataan memalukan seperti itu membuat pembuat kebijakan tidak punya kuasa membuat kebijakan pro rakyat. Oleh sebab itu, perubahan struktur pemerintahan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perbaikan nasib rakyat. Yang ada, kedaulatan negara semakin melemah karena deras investasi asing.
Janji-janji manis saat kampanye hanya sebagai lips service. Sudah lazim rezim atau pejabat lupa dan ingkar janji setelah kekuasaan diraih. Penguasa yang mengkhianati kepercayaan, dan mengedepankan kepentingan pihak asing daripada kepentingan rakyatnya sendiri adalah watak asli pemimpin yang lahir dari rahim sistem rusak kapitalisme.
Keluh kesah rakyat tidak membuat penguasa bergeming. Alih-alih menyejahterakan rakyat, penguasa justru mengorbankan kepentingan umat dengan dalih investasi. Segencar apapun rakyat menolak proyek reklamasi ini, tidak mampu membuat pemerintah bergeser sejengkal tanahpun merubah kerjasama yang sudah disahkan. Hal itu dikarenakan awamnya pengetahuan penguasa terhadap hukum Al Quran dan assunah. Hasilnya, produk kebijakan yang dihasilkan malah menyengsarakan rakyat sebagai pemilik sebenarnya sumber daya negeri. Tentunya ini merupakan mimpi buruk bagi rakyat yang tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Islam memandang wilayah reklamasi yang berada di pesisir Teluk Jakarta merupakan bagian dari lahan milik publik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Apabila merujuk pada ketentuan syariah, harta milik umum tidak boleh dikuasai atau dikuasakan kepada individu, kelompok individu atau korporasi.
Hanya negara yang berhak mengelola agar hasilnya bisa didistribusikan secara merata untuk kemaslahatan publik. Kenyataan yang terjadi, kepgub yang memberi izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi Dufan (Dunia Fantasi) seluas lebih kurang 35 hektar (ha) dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol seluas lebih kurang 120 hektar sarat kepentingan para kapital. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan aturan Islam.
Komersialisasi lahan untuk rekreasi tidak gratis. Rakyat harus membayar. Jadi, perluasan Ancol dikatakan bisa memberi dampak positif khususnya pada sektor pariwisata adalah kamuflase untuk mendongkrak bisnis para bos besar. Pariwisata dalam pandangan Islam adalah fasilitas tidak berbayar yang disediakan negara. Berwisata menurut Islam bukan semata-mata rekreasi melepas penat tapi juga membuat manusia semakin bertambah iman dan takwanya.
Mewujudkan kesejahteraan masyarakat memang bukan perkara mudah. Tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin. Karena Allah Swt. akan memampukan siapa saja yang berkuasa untuk menyejahterakan yang dipimpinnya dengan syarat taat pada aturanNya. Sayangnya, saat ini tidak ada satupun negeri yang diatur sesuai syariat Islam. Sehingga, tiada satupun keberkahan yang datang bagi manusia dan semesta.
Dengan begitu, kesejahteraan rakyat hanya mampu direalisasikan hanya dengan aturan Islam. Negara bisa benar-benar menerapkan syariat Islam secara kaffah apabila sistem Islam ditegakkan. Wallahualam.
Oleh: Anggun Permatasari