Antara Seleksi Zonasi Wilayah, Umur dan Solusi

Opini1212 Dilihat
Amilatus Saidah

Pandemi Covid-19 bukan penghalang bagi dunia pendidikan untuk tetap bergerak. Tahun ajaran baru 2020/2021 harus tetap berjalan meski kegiatan pembelajaran dilakukan secara online. Sesuai maklumat presiden, program “new normal” sudah diberlakukan sejak awal juni dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Namun PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) DKI Jakarta tahun ini memicu terjadinya polemik di tengah masyarakat. Pasalnya PPDB DKI Jakarta dilakukan berdasarkan seleksi usia siswa. Banyak siswa yang tidak lolos hanya karena terkendala usia. Sementara dari sisi akademik, nilai mereka lebih tinggi.

Para orang tua murid pun beramai-ramai memprotes sistem seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tersebut. Hal ini membuat orang tua dan siswa beranggapan tidak penting untuk menjadi pintar, namun yang terpenting umur tua sudah bisa masuk sekolah.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020-2021 di Jakarta karena dinilai tidak sesuai dengan Permendikbud No. 44 tahun 2009. LBH meminta proses penerimaan siswa baru dijadwal ulang.

PPDB pada tahun-tahun sebelumnya pun menyisakan polemik. Selain seleksi umur yang menimbulkan pro kontra, seleksi berdasarkan wilayah atau yang disebut zonasi wilayah pun menimbulkan perdebatan dan ketidakpuasan wali murid terhadap sistem pendidikan negeri ini.

Dari sekian kebijakan-kebijakan pendidikan yang diambil negeri ini, faktanya pendidikan Indonesia masih berada dalam posisi eksperimen. Metode trial-error selalu digunakan, mencoba dan terus mencoba formula pendidikan yang pas. Tidak bisa dipungkiri, pendidikan Indonesia masih mencari jati diri.

Pemberlakuan jumlah kuota karena terbatasnya kemampuan menyediakan fasilitas pendidikan melahirkan sistem zonasi penghantar kisruh setiap tahunnya. Sampai detik ini pun, pendidikan Indonesia masih mencari jalan ke arah pendidikan ideal dan terbaik untuk negeri ini. Namun, kita lupa bahwa pernah ada sistem pendidikan terbaik yang sukses mencetak generasi terbaik di dunia. Sistem pendidikan terbaik tersebut lahir dari sistem Islam kaffah.

Produk dari sistem pendidikan Islam di dalam sistem Islam melahirkan ilmuwan besar dan terkenal seperti  Ibnu al-Haytham (Alhacen) (965-1039), seorang Jenius universal Arab atau Persia, bapak optik, pelopor metode ilmiah, penemu psikofisik dan psikologi eksperimental, dan ilmuwan pertama. Selain itu, juga Ibnu Khaldun – (1332 – 1406), Polymath Arab, sejarawan, dan bapak demografi, historiografi, filosofi sejarah, sosiologi, dan ilmu sosial. Tak ketinggalan Muhammad bin Ismail al-Bukhari bin ahmad – (810 – 870), Orang Persia, Hadis, kolektor hadis Sahih Bukhari yang paling dipercaya dalam Islam. Serta masih banyak lagi cendekiawan muslim yang mengantarkan dunia menjadi lebih baik dalam hal sains dan agama. Mereka bukan hanya ilmuwan, tapi merangkap sebagai seorang ulama. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan rabbul Alamin, Allah SWT.

Jika dunia pendidikan Indonesia benar-benar fokus berbenah diri dalam mendidik generasi. Maka negara ini wajib memahami peran hakiki sistem pendidikan. Pertama, sistem pendidikan harus menjamin bahwa seluruh sekolah memiliki fasilitas yang sama antara negeri ataupun non negeri sehingga tidak adanya gelar sekolah favorit dan non favorit dan meratanya siswa di sekolah baik negeri dan swasta.

Kedua, menjamin setiap pendidikan yang didapat oleh masyarakat secara gratis baik itu orang mampu ataupun tidak mampu. Pendidikan secara gratis yang didapat oleh masyarakat diambil dari baitul mal yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah yang akan dipergunakan untuk membiayai pendidikan umat baik muslim maupun non muslim. Pendapatan semacam ini hanya ada di dalam negara dengan sistem Islam kaffah.

Ketiga, jenjang pendidikan yang diterapkan di dalam sistem islam dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

  1. jenjang pertama (ibtidaiyah)
  2. jenjang kedua (mutawasithah)
  3. jenjang ketiga atau terakhir (tsanawiyah)
    Dalam setiap jenjang terdapat kriteria usianya dan terdiri dari 36 periode dauroh dan dilaksanakan secara berurutan. Lama masing masing setiap periode adalah 83 hari bukan 1 tahun. Sehingga murid dapat menyelesaikan pendidikannya saat usianya genap 15 tahun. Sehingga, tidak mengherankan dalam negara dengan sistem Islam banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang menemukan cikal bakal teknologi dan pengetahuan yang dikembangkan pada zaman sekarang.

Kelima, sistem pendidikan tersebut harus mampu membentuk pola pikir intelektual dan pola sikap Rabbani. Negara bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pendidikan untuk memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa manusia, memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan memelihara negara.

Jika kelima fokus pendidikan tersebut dilakukan, maka akan tercetak generasi muda unggul yang mampu membangun peradaban emas dengan akhlak tinggi dan kecerdasan intelektual yang melangit.
Wallahu’alam bis shawab.

Oleh: Amilatus Saidah (Aktivis Muslimah)