Hagia Sophia dan Upaya Mengubah Narasi Khilafa-Isme

Endartini Kusumastuti

Hagia Sophia kembali menjadi sorotan dunia. Tanggal 11 Juli lalu bertepatan dengan tragedi berdarah Srebrenica pada tanggal yang sama 25 tahun lampau. Dan qodarullah, sehari sebelumnya yakni 10 Juli 2020, adalah tanggal ditetapkannya kembali Hagia Sophia menjadi masjid (dieja Aya Sofya dalam bahasa Turki), setelah 86 tahun lamanya menjadi museum.

Peristiwa pengembalian Hagia Sophia menjadi masjid ini sungguh langkah bersejarah. Tak ayal, ini membuat benak kaum muslimin di seluruh dunia mendadak terinstal penuh dengan ghirah kebangkitan.
Mencermati secara jauh lebih mendalam, di sana ada jejak sejarah berupa visi jihad Islam yang tak bisa diabaikan. Hagia Sophia (di Konstantinopel) dan Srebrenica (yang berlokasi di Bosnia) sama-sama buah tangan perjalanan jihad Sang Penakluk, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II). Ma syaa Allah. Tercatat, Konstantinopel jatuh ke pangkuan Islam pada 1453 M. Berjarak 10 tahun kemudian, yakni pada 1463 M, Sang Sultan menaklukkan Bosnia.

Iklan KPU Sultra

Rekam jejak keberkahan pelaksanaan sistem Islam di Konstantinopel dan Bosnia ini bukan kaleng-kaleng. Yang mengabadikan dalam tinta emas sejarah bukan hanya sejarawan muslim, tapi juga sejarawan nonmuslim. Semua tak bisa mengelak akan bukti keberkahan ini, meski segala polemik turut mewarnai demi mengingkarinya.

“Hanya menghidupkan” Ayasofia saja, dunia meradang. Kecaman hingga kutukan yang dilontarkan AS, Uni Eropa, Yunani, para pemimpin Kristen Ortodoks, Paus Fransiskus, dan lain-lain adalah sikap kuno yang melekat pada keluarga Kristen Eropa yang tak pernah ridha pada Islam –termasuk hanya pada simbolnya-.Artinya, semua makar kafir dan munafik untuk mendiskreditkan Islam tak pernah hendak surut.

Di tanah air, upaya mendiskreditkan Khilafah yang tampak lewat ujaran kebencian petinggi partai penguasa, klarifikasi pembacaan sumpah setia NKRI di DPRD Cirebon, ataupun ulangan kalimat Wapres Ma’ruf Amin yang menyatakan paham Khilafah melanggar kesepakatan masyarakat Indonesia, bakal terus dideraskan.

Ancaman terhadap siapa pun yang memperjuangkan Khilafah, termasuk pemecatan aparatur sipil negara (ASN) akan menjadi tupoksi yang terus dimainkan para penguasa demagog, para penghasut rakyat yang siap menjual agama demi mempertahankan kekuasaan yang direstui tuan-tuannya: para penjajah dunia Islam.
Tentu tak bisa mengubah narasi kebencian atas Islam dari dalam sistem demokrasi yang terlahir dari rahim sekularisme.

Sistem ini pasti melahirkan penguasa hipokrit yang hanya melahirkan kebijakan pro-Islam jika momentumnya tepat. Jalan satu-satunya untuk menghilangkan narasi kebencian atas ajaran Islam dan umatnya adalah melalui perlawanan. Perlawanan tanpa senjata, hanya dengan dakwah via lisan dan tulisan dengan menggunakan segala platform media. Mungkin banyak umat yang tak sabar dan terus mempertanyakan efektivitas dakwah seperti ini. Namun hendaknya mereka mengerti, dakwah seperti inilah yang diajarkan oleh Rasulullah.

Keimanan, kepatuhan atas jalan dakwah yang dituntun Rasulullah, kesabaran dan istikamah menetapi jalan dakwah itu adalah kunci keberhasilan. Yang bakal mampu mengantarkan perjuangan pada nashrullah, pertolongan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Meskipun saat ini Allah belum berkenan memberikan pertolongan-Nya secara paripurna, namun perkembangan dakwah telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Allah memberikan kegembiraan itu melalui kesadaran umat untuk tak ragu menyuarakan Khilafah sebagai ajaran Islam, bangga mengibarkan Ar Royah dan Al Liwa sebagai simbol kemenangan Islam, ataupun berani “melawan” narasi busuk rezim dan kroni-kroninya yang mendiskreditkan Islam dan pejuangnya.

Dengan demikian, kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid, semestinya memberikan motivasi bagi kaum muslimin khususnya pejuang Islam, bahwa narasi Khilafah-isme di era demokrasi tentu akan selalu menegasikan Islam. Tidak akan pernah bisa Islam disandingkan dengan demokrasi, anak buah kapitalis sekuler. Kembalinya Hagia Sophia tak sekedar euphoria muslim Turki, tapi juga harus mampu menjadi momentum bagi kaum muslim seluruh dunia untuk menghapuskan Islamophobia, terkhusus Khilafahphobia.

Oleh : Drg Endartini Kusumastuti
(praktisi Sosial Politik Masyarakat Kendari)